Daftar buron KPK yang belum berhasil ditangkap semakin panjang. Sejumlah pihak mempertanyakan belum ditangkapnya para buron tersebut, terutama bekas caleg PDI-P, Harun Masiku, dan bekas Sekretaris MA, Nurhadi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
Belum ditemukannya Harun Masiku dan Nurhadi yang sudah masuk dalam daftar pencarian orang menjadi sorotan sejumlah kalangan. Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangkap buron menjadi dipertanyakan.
Harun sudah ditetapkan sebagai DPO sejak Januari 2020 karena diduga menyuap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. Namun, jejak politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut seperti hilang ditelan bumi.
Hal serupa terjadi pada Nurhadi. Bekas Sekretaris Mahkamah Agung tersebut telah ditetapkan oleh KPK sebagai DPO pada pertengahan Februari 2020. Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2019 terkait dugaan penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar.
Penetapan Nurhadi sebagai DPO tak sendirian. Menantunya, Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto juga ditetapkan DPO oleh KPK. Namun, ketiganya tak kunjung berhasil ditangkap.
Berbeda dengan Harun, KPK mulai mencari Nurhadi di Jawa Timur. Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, tim penyidik KPK telah bergerak ke Surabaya dan Tulungagung.
”Tim bergerak ke Surabaya, kemudian Tulungagung di beberapa tempat, termasuk juga menyebar foto-foto para DPO di wilayah Jawa Timur. Namun, tim belum menemukan para DPO tersebut,” kata Ali di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (27/2/2020) malam.
Selain di Jawa Timur, KPK juga menindaklanjuti informasi keberadaan Nurhadi di Jakarta. Mereka menggeledah sebuah kantor di daerah Senopati, Jakarta Selatan.
”Penyidik KPK menemukan dokumen terkait perkara. Adapun keberadaan para DPO tidak ditemukan. Penyidik KPK akan tetap terus berusaha mencari dan menangkap para DPO tersangka Nurhadi dan kawan-kawan,” kata Ali pada Jumat (28/2/2020) siang.
Sulitnya menemukan keempat DPO tersebut membuat daftar panjang kegagalan KPK dalam menangkap para buron. Sebelumnya, mereka juga belum bisa menangkap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, yang menjadi tersangka serta telah ditetapkan DPO dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Padahal, keduanya telah ditetapkan sebagai DPO sejak September 2019. Saat itu, KPK telah meminta bantuan Polri untuk mencari Sjamsul dan Itjih. Keduanya merupakan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia. Dari perkara ini, kerugian negara mencapai Rp 4,58 triliun sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan pada 2017 (Kompas, 1/10/2019).
Belum ditangkapnya keenam DPO tersebut membuat pekerjaan rumah KPK untuk menangani kasus besar semakin banyak. Apalagi, mereka berkomitmen menangani kasus-kasus yang berdampak luas, strategis, dan melibatkan penyelenggara negara seperti yang diungkapkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada Kompas, kemarin.
Persoalan sulitnya KPK menangkap para DPO sempat dipertanyakan oleh mantan pimpinan KPK, Laode M Syarif.
”Kami pernah mengalami ada beberapa tersangka berstatus DPO, tetapi kami bisa menangkapnya. Bahkan, KPK sering membantu kejaksaan menangkap buronan,” ujar Laode (Kompas.id, 14/2/2020).
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, kepemimpinan KPK sekarang tidak mempunyai visi dan misi yang jelas. ”Tersangka DPO yang kasusnya mereka tangani, seperti Harun dan Nurhadi saja, tidak dapat ditangkap, apalagi Sjamsul serta Itjih,” kata Kurnia.
Ia menegaskan, KPK harus segera mencari Sjamsul dan Itjih yang kabarnya berada di Singapura. Selain itu, aset yang dimilikinya harus disita karena membuat kerugian negara yang besar.