Di era Perang Dingin, perlombaan senjata nuklir menjadi momok. Dunia begitu cemas dengan kemungkinan terjadinya perang nuklir antardua kekuatan saat itu.
Oleh
·2 menit baca
Di era Perang Dingin, perlombaan senjata nuklir menjadi momok. Dunia begitu cemas dengan kemungkinan terjadinya perang nuklir antardua kekuatan saat itu.
Setelah Perang Dingin berakhir pada awal 1990-an yang ditandai dengan bubarnya Uni Soviet, perlombaan senjata nuklir rasanya tidak lagi mengambil porsi besar dalam surat kabar atau pemberitaan di televisi. Meskipun demikian, senjata nuklir tetap menjadi andalan bagi negara yang ingin memiliki kekuatan penggentar nan menakutkan.
Sejumlah negara, di tengah keterbatasan yang dimiliki mereka akibat sanksi, bahkan ikut meningkatkan kemampuan senjata nuklir. Negara-negara ini melihat, dengan senjata nuklir, mereka memiliki posisi tawar lebih kuat saat menghadapi kekuatan utama di dunia.
Bagi kekuatan militer di dunia, seperti Amerika Serikat (AS) dan Rusia (penerus negara Uni Soviet), senjata nuklir harus dipertahankan karena merupakan alat pertahanan sekaligus penggentar. Meski tak lagi mendominasi media seperti dahulu, ”persaingan” kedua negara dalam mengembangkan senjata nuklir terus terjadi. Harian ini, Jumat (28/2/2020), menulis, Menteri Pertahanan AS Mark Esper telah menyampaikan rencana pembaruan kekuatan nuklir untuk mengimbangi Rusia dan China. Proyek ini bernilai miliaran dollar AS.
Agar lebih leluasa mengembangkan senjata nuklir, Washington mundur dari Traktat Rudal Nuklir Jarak Menengah (INF) yang ditandatangani AS dan Uni Soviet (sekarang Rusia) pada 1987. Padahal, perjanjian itu melarang AS dan Uni Soviet untuk menguji, memproduksi, atau memiliki rudal balistik serta rudal lain berjangkauan 500-5.500 kilometer yang diluncurkan dari darat. Dalam konteks saat itu, peran penting Traktat INF adalah menyelamatkan Eropa dari ancaman sebagai medan konflik senjata nuklir di era Perang Dingin. Persaingan pengerahan senjata nuklir tidak lagi berpusat di Eropa berkat traktat itu.
Saat mundur dari Traktat INF, AS beralasan Rusia sudah melanggarnya terlebih dahulu. Namun, ada faktor lain yang diduga menjadi penentu langkah AS itu, yakni keinginan untuk memasukkan China dalam perjanjian pengaturan senjata nuklir. Namun, hal tersebut ditolak China. Bagi AS, China telah menjadi kekuatan yang perlu diperhatikan, termasuk dalam hal persenjataan nuklir.
Dalam situasi inilah, Direktur Perlucutan Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa Izumi Nakamitsu menyampaikan keprihatinannya. Menurut dia, perlombaan senjata nuklir tidak hanya berkaitan pada jumlah, tetapi juga kualitas. Persenjataan nuklir tengah dikembangkan menjadi jauh lebih cepat, kuat, serta akurat.
Senjata nuklir selalu mencemaskan karena kehancurannya luar biasa. Sementara radioaktif yang ditimbulkan membuat kerusakannya meluas. Atas dasar itulah, masyarakat dunia, termasuk Indonesia, perlu selalu gigih, mendorong pembatasan, bahkan penghapusan senjata nuklir.