Pelecehan Seksual oleh ”Terapis”
Banyak orang terkejut, khawatir dengan adanya terapis, asli maupun palsu, yang melakukan pelecehan seksual. Kalangan psikologi juga sangat terkejut, khawatir dampak terhadap korban serta kepercayaan kepada psikolog.
Beberapa minggu belakangan media daring dan media sosial ramai membahas sang ”doktor psikologi” yang mencitrakan diri memiliki beragam kompetensi terapi atau penyembuhan. Seorang perempuan yang merasakan adanya kejanggalan mencoba menelusuri identitas dan aktivitasnya.
Akhirnya diperoleh cerita yang menghadirkan dugaan kuat bahwa si ”doktor psikologi” melakukan pelecehan seksual kepada klien-kliennya.
Banyak orang terkejut, khawatir dengan adanya terapis, asli maupun palsu, yang ternyata melakukan pelecehan seksual. Kalangan psikologi juga sangat terkejut, mengkhawatirkan dampaknya terhadap korban serta menurunnya kepercayaan kepada psikolog. Muncul pula keheranan, ”kok bisa sih, percaya begitu saja diajak ’ngamar’ dan berhubungan seksual?”
Berjualan citra
Profesional kesehatan mental yang asli akan cenderung berhati-hati dan tidak banyak menjual diri. Performanya mungkin ada di CV-nya dan dituliskan dengan formal saja, tidak disebarluaskan melalui media sosial secara masif. Dalam memberikan jasa atau melakukan kegiatan, ia juga akan berhati-hati, tidak ”mengklaim” berlebihan tentang kompetensinya.
Bagaimana dengan sosok ”doktor psikologi” yang kita umpamakan bernama XY itu? Akun Twitter yang bersangkutan sangat aktif, membahas berbagai hal, seperti bagaimana mengatasi adiksi gim pada anak, rahasia menjaga kestabilan jiwa, long distance marriage, dan sebagainya. Akun Instagram XY sudah tidak dapat dibuka, tetapi saya menemukan beberapa posting-an dari ”klien” atau pengguna.
XY sering menggelar kegiatan (disebut ”training”, tetapi dimaknai sebagai ”terapi dalam kelompok besar”?). Kegiatan didahului dengan acara swafoto, dengan antrean sangat panjang. Pelatihan membahas soal luka batin, penyembuhan inner child, dan bagaimana melakukan afirmasi diri.
Peserta mengaku memiliki banyak sejarah luka batin dan masalah psikologis, yang dapat disembuhkan melalui pelatihan dari XY. Testimoni peserta pelatihan yang demikian positif, dapat dimengerti, akan sangat menarik minat mereka yang memiliki masalah psikologis dan ingin penyembuhan instan, untuk mengikuti kegiatan yang digelar XY.
”Trust”
Persoalan trust atau kepercayaan adalah persoalan penting untuk memproses penguatan psikologis melalui konseling atau terapi. Saya sempat membuka Youtube XY yang masih dapat diakses. Jika diikuti dengan cermat, ia berulang-ulang menekankan soal trust, dan tampaknya telah amat sangat berhasil memainkan soal trust ini.
Berbasiskan pelatihannya yang sangat sukses di sejumlah kota, XY secara khusus membahas ”syarat khusus untuk terapi privat dengan XY”, yakni harus mengikuti dulu kegiatan training tadi. Mengapa? Karena, menurutnya, yang telah ikut pelatihan mengikuti semua proses, paham apa yang terjadi, ikut merasakan gerak batin penyembuhan dalam kelompok. Dengan demikian, akan memiliki trust pada proses yang nanti dijalani secara privat.
Ia menambahkan, trust itu amat penting. Kalau tidak ada trust, saya tidak bisa bantu kamu. Jika sudah ada trust, dalam pertemuan privat kamu akan benar-benar open heart. Ia juga membedakan dokter dengan konselor, terapis atau psikolog. Menurut dia, dokter memberi obat, dan itu tidak memerlukan trust, karena obat langsung menyebabkan tubuh bereaksi.
Menjadi catatan sangat penting: seorang profesional kesehatan mental yang asli dan bertanggung jawab akan berupaya membangun trust untuk dapat melakukan penguatan psikologis pada klien. Ia akan tetap menghormati batas-batas profesionalitas dalam bekerja dan tidak memanfaatkan trust itu untuk kepentingan pribadi.
Sementara itu, yang palsu berupaya kuat untuk memperoleh trust tidak untuk membantu, tetapi justru agar dapat memanipulasi dan mengeksploitasi kliennya.
Kompleksitas isu
Cukup banyak perempuan dalam masa hidupnya pernah mengalami pelecehan seksual. Sudah banyak penelitian mengungkap berbagai masalah kesehatan mental sebagai dampaknya. Mereka yang mengalami pelecehan seksual serius di masa kanak atau remaja akan menghayati berbagai perasaan negatif, seperti perasaan terhina, hilangnya rasa berharga diri, perasaan minder atau kecil hati, malu, serta rasa jijik dan menyalahkan diri sendiri.
Mungkin ia juga merasa bingung dan tak berdaya karena ada pula minat seksual (bukankah kita semua makhluk seksual?) selain perasaan terhina dan jijik itu. Ini membuat soal jadi makin kompleks. Satu hal penting adalah perlakuan buruk dan pelecehan seksual menghilangkan kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain.
Lalu hadirlah sosok ”terapis” atau sosok ”mumpuni” lain, yang mencitrakan kebaikan, penyembuhan, bahkan mungkin spiritualitas. ”Terapis” atau tokoh otoritas itu terus-menerus menekankan perlunya trust dan keberserahan untuk fully open heart menjalani proses penyembuhan. Maka, individu yang gamang dan hilang percaya diri bertekad menyembuhkan diri, dimulai dengan belajar untuk fully trust tokoh otoritasnya.
Meski proses terasa janggal dan tidak membuat nyaman, ia menekankan pada diri, ”memang begini kalau mau sembuh”. Dan terbayanglah apa yang akan dialaminya, yakni menjadi korban penipuan dan pelecehan seksual kembali. Kali ini dari terapis—entah asli atau palsu, ”orang pintar”\', dukun, wali, pemuka agama, guru, dosen pembimbing, atau yang lainnya, untuk kesekian kalinya.
Apakah XY sungguh telah melakukan pelecehan seksual? Yang pernah mengalami praktik privatnyalah yang dapat menjawabnya. Sayang bahwa umumnya korban akan sangat sulit membuka jati diri, bukankah trust-nya telah berulang dikhianati? Terbayang pula bagaimana media sosial akan menyebarluaskan kecaman yang dapat makin menghancurkan.
Yang pasti, XY telah membohongi publik mengenai identitas keilmuan dan profesionalitasnya. Selain itu, amat berlebihan menyetir orang-orang yang sedang bermasalah demi mendapat trust untuk memproses pertemuan privat, yang justru menghadirkan kecurigaan besar.