Seseorang yang Selalu Ingin Pergi
Sekali lagi, ia ingin pergi.
Sebagaimana biasanya, ia tak melakukan persiapan apa-apa saat akan meninggalkan kehidupannya di sini, selain menelepon Hamir dan bilang, ini waktunya aku memilih sebuah tempat yang benar-benar kuinginkan.
Hamir berkata, sebaiknya kau menyelesaikan segala sesuatu dulu di sana sebelum pergi.
Ia memang kerap lupa tentang itu. Karenanya Hamir menjulukinya ’makhluk paling tidak peka’. Kadang-kadang, ia merasa tidak perlu pamitan dengan teman-teman kerja. Ia cukup mengajukan surat pengunduran diri dan segera menghilang. Ia juga merasa tidak harus mengadakan pesta perpisahan dengan beberapa kenalan dekat, orang-orang yang selama ini membantunya atau sekadar menemaninya. Karena itu Hamir memberikan julukan lain: egois, tidak punya hati, sombong, absurd.
Anehnya, Hamir mengaku mencintainya.
Ia terharu saat Hamir menyatakannya—sebab ia tak bisa sebaliknya. Tak bisa jatuh cinta pada Hamir yang paling memahaminya itu. Yang paling mau menunggu. Sampai kapan pun, kata Hamir. Ia tidak percaya, tapi Hamir membuktikannya. Hamir yang selalu ada untuknya. Yang tidak pernah mengabaikan telepon-telepon daruratnya. Yang pertama kali datang tiap ia membutuhkan bantuan. Yang menemaninya saat ia terbangun dari mimpi buruk sampai mereka sama-sama tertidur dengan telepon terus tersambung. Lalu, apa yang ia cari? Tidak tahu. Ia sungguh tidak pernah tahu. Aku ingin terus pergi, katanya kepada Hamir. Seolah-olah ada sesuatu yang menunggunya dan ia tidak dapat berhenti. Baik itu tentang cinta maupun tempat-tempat di dunia ini.
Sekarang, Hamir datang jauh-jauh untuk menemuinya. Itu yang selalu dilakukan Hamir. Seolah-olah Hamir sudah terbiasa menanti kabar keinginannya untuk pergi lagi dan Hamir akan mengadakan pesta kecil melepasnya. Di mana pun Hamir berada atau sedang mengerjakan proyek sepenting apa pun, lelaki itu memastikan akan datang kepadanya.
Kata Hamir, kita bisa pergi minum.
Ia tidak mau minum. Terakhir teler ia terpaksa berurusan dengan polisi karena mobilnya menabrak pembatas jalan dan kakinya sedikit pincang dan tidak pernah normal lagi. Padahal, kaki itu yang paling ia sukai dari dirinya. Namun, kata Hamir, tidak apa-apa dengan kaki itu. Tidak tampak cacat sama sekali. Hamir mungkin saja buta, pikirnya. Lelaki yang jatuh cinta mungkin memang tak benar-benar bisa melihat.
Hamir bilang, lalu apa yang bisa kita lakukan?
Mereka punya alternatif, semisal main catur sampai pagi atau main monopoli dan berlomba siapa yang paling cepat mengumpulkan kekayaan (dan Hamir pastilah pemenangnya). Dulu mereka sering melakukannya. Namun, kini semua itu tak terlalu menarik baginya. Semua berubah, pikirnya. Satu per satu waktu mengambil sesuatu dari jiwa seseorang dan tahu-tahu ia menjadi kosong. Itu yang pernah Hamir bilang kepadanya. Karena itu, kata Hamir, orang-orang melakukan segalanya untuk kembali memenuhkan diri.
Ia sudah melakukan segalanya itu. Dan ia tetap tak pernah penuh.
Hamir bertanya kembali, lalu apa yang bisa kita lakukan?
Hamir masih di penginapan. Mungkin ia sedang berendam dalam air panas sambil menulis pesan. Mungkin juga ditemani secangkir kopi kegemarannya. Atau bahkan sepiring pisang crispy hangat. Hamir bisa melakukan hal-hal itu. Seperti Hamir bisa tetap mencintainya selama sepuluh tahun ini—dengan segala yang telah terjadi dalam hidup Hamir dan dirinya dan semua seolah tanpa masalah.
Aku mau makan yang banyak, katanya membalas Hamir.
Sebentar lagi aku menjemputmu, kita cari tempat makan paling enak, kata Hamir.
Aku tidak mau ke mana-mana, katanya, aku menunggumu di sini dan jangan lupa bawa makanan yang banyak.
Dan Hamir membalas dengan cepat: Baik, tunggu aku di sana.
Hamir kemungkinan buru-buru keluar dari bak mandi. Menyesap kopi cepat-cepat. Menghabiskan potongan terakhir pisang crispy sambil mengeringkan badannya dengan handuk, lalu segera memilih stelan terbaiknya. Memakai parfum. Menyisir rambut dan memberinya minyak rambut. Sepintas Hamir mematut dirinya di cermin. Memastikan cukurannya benar-benar bersih.
Sementara, ia tak menyiapkan diri secara khusus untuk menyambut Hamir. Ia cuma membersihkan kuku. Merapikan poni dengan gunting kecilnya dan sebuah cermin. Mengenakan dres selutut motif bunga kecil-kecil. Menggosok gigi sebanyak dua kali. Segala sesuatu yang biasa ia lakukan sebagai bagian dari caranya mencintai diri sendiri.
Mereka sudah cukup lama tidak bertemu. Satu tahun. Mungkin lebih sedikit. Ketika itu ia juga menelepon Hamir dan memberi tahu bahwa ia akan pergi lagi ke tempat yang lain. Hamir mengambil penerbangan pagi dan mereka sarapan bersama di bandara (sebab Hamir minta dijemput). Setelah itu mereka bicara seharian (dan rasanya selalu itu yang mereka lakukan) di sebuah tempat yang jauh dari keramaian. Kali ini, Hamir tidak mau dijemput di bandara. Aku mau langsung ke penginapan dan mandi dulu baru bertemu kamu, begitu kata Hamir kemarin.
Ia tidak tahu seperti apa Hamir sekarang. Wajahnya. Berat badannya. Rambutnya. Ia bisa saja dengan mudah menemukan foto-foto Hamir di media sosial atau menerima panggilan video dari Hamir. Ia tak tahu kenapa tidak melakukannya. Namun, Hamir bilang, kita tak perlu memaksakan diri untuk memberi alasan pada apa yang ingin kita lakukan atau tidak. Itu yang paling ia sukai dari Hamir. Cara ia menjalani kehidupan ini. Tidak ada yang berat. Tidak ada masalah. Semua berjalan baik-baik saja.
Sementara, ia sebaliknya. Semuanya masalah dan masalah—bahkan saat ia tidak punya masalah sekalipun. Dan karena itu ia selalu berpikir ingin pergi. Selalu berpikir ingin meninggalkan tempat yang sekarang untuk kemudian berada di tempat lain. Membuang apa-apa yang dimiliki untuk mendapatkan yang baru. Merasa seharusnya hidupnya bukan di sini, melainkan di tempat yang jauh, yang ia tak tahu pasti di mana. Ia merasa ada di kehidupan yang salah. Juga dengan orang-orang yang salah. Ia terus mencari-carinya—tempat yang tepat itu. Lalu, minggu kemarin, ia menemukan percakapan dalam sebuah novel tipis karya Haruki Murakami berjudul Dengarlah Nyanyian Angin, halaman 112:
”Apakah Tokyo menyenangkan?”
”Di mana pun sama saja.”
”Sepertinya begitu. Semenjak Olimpiade Tokyo diselenggarakan, aku belum pernah meninggalkan kota ini lagi.”
”Kamu menyukai kota ini?”
”Seperti yang kamu bilang. Di mana pun sama.”
Sekarang, ia menunggu Hamir. Menunggu lelaki itu memberitahunya bahwa ia sudah tiba di gedung apartemennya. Ia akan segera turun. Menjemput Hamir. Ia ingin melihat wajah Hamir yang satu tahun tidak dilihatnya itu. Ia ingin tahu—setelah mereka masuk ke ruang apartemennya—apakah mereka akan lebih dulu menghabiskan makanan atau Hamir langsung menciumnya dan ia sungguh tidak mau memikirkan kejadian selanjutnya. Ia membuka tirai jendela. Ia mau saat Hamir datang, semua cahaya di luar sana menyambutnya. Merayakannya. Hamir selalu suka cahaya; lampu-lampu. Apa yang akan dikatakan Hamir nanti?
***
Dan Hamir datang. Hamir kini berdiri di hadapannya—sungguh tidak ada yang berubah darinya, kecuali potongan rambut yang lebih rapi dan pendek. Ia membawa tentengan berbagai jenis makanan. Jadi kau akan pergi ke mana lagi? tanya Hamir tidak sabaran begitu mereka naik dan masuk ke ruangan dan pintu ditutup.
Ia tak menjawab pertanyaan Hamir. Ia menyandarkan tubuhnya pada pintu dan memandangi Hamir yang sibuk mengurus makanan yang dibawanya. Hamir pasti saja berpikir ia lapar sekali. Kau harus menghabiskan semua ini, kata Hamir. Ia hanya mau memandangi Hamir dan memikirkan kapan waktu yang tetap menyampaikan ke kota mana lagi akan pergi.
Kau berada di tempat yang tepat, kata Hamir memperhatikan lampu-lampu di luar. Tidak juga, pikirnya. Hamir seharusnya tahu ia tidak terlalu suka berada di gedung tinggi dan saat ini ia hanya mau memandangi lelaki yang lebih ingin melihat lampu-lampu ketimbang dirinya—dan itu kemudian yang ia katakan dan Hamir tertawa mendengarnya.
Mereka berciuman begitu saja. Tidak tahu siapa yang memulai.
Kenapa kau jatuh cinta padaku, Hamir? bisiknya.
Ini pertama kali ia bertanya dan Hamir bilang, Haruskah kita membicarakannya sekarang? Hamir benar. Mereka seharusnya kembali berciuman. Dan itu yang mereka lakukan. Ciuman yang lebih dalam. Tahu-tahu mereka sudah berada di atas sofa dan seluruh cahaya di luar seolah berkumpul dan menungkupi mereka. Ia merasa ingin menangis. Sebab, dadanya menjadi penuh. Tapi, itu pasti saja bukan berisi kesedihan.
***
Mereka masih berada di atas sofa. Kulit Hamir yang cokelat berkilat-kilat ditimpa cahaya. Sekarang aku ingin mengatakan sesuatu, ujarnya sambil memainkan anak rambut yang basah di kening Hamir.
Kau jatuh cinta kepadaku? tanya Hamir setengah bercanda.
Tidak, katanya, aku tidak yakin soal itu.
Hamir mengecupi pergelangan tangannya, seakan-akan mau bilang kalau itu bukan masalah.
Tadi kau bertanya aku akan pergi ke mana, bukan? Ia memandang Hamir, lekat.
Hamir menggangguk, Katakan padaku nama sebuah tempat yang kau inginkan sekarang ini.
Ia menyebut sebuah kota dan bersamaan dengan itu panggilan masuk ke ponsel Hamir dan di layarnya ia membaca sebuah nama.
Kau boleh mengangkatnya, katanya setelah panggilan itu dibiarkan sekian lama.
***
”Apakah Tokyo menyenangkan?”
”Di mana pun sama saja.”
Sekali lagi, ia mengulang percakapan antara tokoh Aku dan Jay yang sudah sangat dihafalnya. Pada hari kedatangan Hamir ke apartemennya itu, ia telah menyebut nama sebuah kota tempat yang ia pikir akan membuatnya bahagia selamanya berada di sana. Namun, panggilan telepon telah mengubah segalanya pada saat yang tepat. Telepon dari istri Hamir—dan suara anak-anaknya yang ribut di dekat ibu mereka. Bagi Hamir, semua itu bukan masalah. Ia tetap bisa memilih sebuah apartemen di kota yang sama dengan Hamir dan mereka akan mengatur pertemuan demi pertemuan. Bagi Hamir, semua itu mudah saja. Ia, sebagaimana biasanya, kebalikan dari Hamir. Ia tahu sekali kalau itu tidak akan pernah mudah. Ia pasti agak gila ketika berpikir ingin tinggal di kota yang sama dengan Hamir dan menganggap di sanalah tempat paling tepat untuknya.
Ia telah memutuskan akan mencari kota yang lain.
Tokyo, gumamnya. Ia tidak pernah memikirkan kota itu sebelum menemukan percakapan dalam novel Haruki Murakami. Ia punya seorang teman yang pernah tinggal dan bekerja di sana dan banyak bercerita tentang kehidupan di kota itu. Namun, ia tidak pernah memikirkannya secara sungguh-sungguh seperti saat ini. Meskipun semua kota sama saja, mungkinkah Tokyo tempat yang tepat itu? Dan Hamir barangkali hanya berkata, Tak masalah ke mana pun kau pergi.[]
Rumah Kinoli, 2019
Yetti AKA, lahir dan besar di Bengkulu. Cerpen-cerpennya yang banyak mengangkat dunia perempuan dan psikologi tokoh, dimuat di media massa, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Majalah Femina, Tribun Jabar, Padang Ekspres, dan lain-lain. Sampai awal tahun 2019, ia telah menerbitkan sebelas buku, terdiri dari kumpulan cerita pendek dan novel, beberapa di antaranya Numi, Musim yang Menggugurkan Daun, Kinoli, Penjual Bunga Bersyal Merah, Basirah. Ia mendapat Anugerah Kebudayaan Tahun 2004 dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata atas cerpen Musim yang Menggugurkan Daun.
Saat ini, ia menetap di Kota Padang, Sumatera Barat. Sehari-harinya, selain menulis, ia bekerja di Yayasan Jortah Indonesia, sebuah yayasan nirlaba yang fokus melakukan penggalangan dana publik untuk membantu biaya sekolah anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Untuk kontak dan komunikasi, sila ke e-mail yettiaka27@gmail.com atau follow akun Twitter @yettiaka.