Tindak pidana ekonomi cenderung menimbulkan kerusakan sosial yang besar, karena tidak hanya mencederai lembaga demokrasi tetapi juga merongrong sistem keuangan Negara dalam melaksanakan kebijakan publik.
Oleh
Muladi
·5 menit baca
Tindak pidana ekonomi, termasuk tindak pidana korupsi dilakukan oleh pelaku atas dasar pertimbangan rasional dalam memutuskan apakah pelaku akan melakukan tindak pidana atau tidak, dengan memperhitungkan untung ruginya, termasuk segala risiko apabila tertangkap dan dipidana (a crime of calculation, not passion). Hal ini berbeda dengan tindak pidana kekerasan yang dilakukan karena rangsangan atau gerak hati yang tiba-tiba tanpa pertimbangan untung rugi (Klittgaard, 1998).
Akhir-akhir ini para penegak hukum di Indonesia (Kejaksaan Agung dan Polri) sangat disibukkan dengan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan terjadinya beberapa tindak pidana ekonomi, yaitu terkait kasus PT Jiwasraya (Persero), kasus PT Asabri (Persero) dan kasus MeMiles. Kasus PT Jiwasraya di samping berkaitan dengan klaim gagal bayar nasabah berjumlah sekitar Rp 12,4 triliun, juga mengandung potensi kerugian negara Rp 13,7 triliun, akibat penyalahgunaan investasi pada aset-aset dengan risiko tinggi.
Kasus MeMiles PT Kam and Kam, berupa dugaan penipuan berkedok investasi (investasi ilegal atau bodong) tanpa izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kemungkinan erat kaitannya dengan tindak pidana yang melanggar UU Perdagangan dan UU Perbankan. Tak tertutup kemungkinan berkaitan pula dengan tindak pidana pencucian uang oleh para anggotanya. Sebelumnya terjadi pula kasus First Travel, penipuan jemaah umrah yang menghebohkan.
Menkopolhukam ditengarai pernah memperingatkan Kejagung agar jangan membelokkan kasus PT Jiwasraya menjadi perkara perdata atau semata-mata menganggapnya langkah bisnis semata-mata tanpa korban (not victimless).
Tanpa bermaksud melakukan intervensi terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang sedang berlangsung, kiranya perlu difahami makna dan hakikat serta dimensi tindak pidana ekonomi.
Tindak pidana ekonomi.
Tindak pidana ekonomi (economic crime/financial crime) adalah tindakan ilegal yang dilakukan seorang individu atau kelompok individu yang terorganisasi untuk memperoleh keuntungan finansial atau profesional. Dengan demikian motif utamanya bersifat keuntungan ekonomi. Pertimbangan atau keyakinan pelaku bahwa kecurangan akan sulit terdeteksi akibat kompleksitas perbuatan adalah motif yang lain.
Apalagi jika tindak pidana bersifat transnasional dengan yurisdiksi lintas batas negara dan menggunakan sarana internet (cyber) yang butuh kerja sama internasional untuk mengatasi. Ada semboyan “risiko kecil, untung banyak” (low risk, high profits). Termasuk di sini kecurangan investasi dan kecurangan asuransi (Europol, 2012).
Definisi tindak pidana ekonomi di atas masih memerlukan lebih lanjut suatu definisi operasional untuk membantu para penegak hukum membongkar secara akurat tindak pidana itu serta menghindari ambiguitas penafsiran.
Menkopolhukam ditengarai pernah memperingatkan Kejagung agar jangan membelokkan kasus PT Jiwasraya menjadi perkara perdata atau semata-mata menganggapnya langkah bisnis semata-mata tanpa korban (not victimless). Kerugian akibat tindak pidana ekonomi sangat besar seperti kemungkinan mengakibatkan destabilisasi sistem ekonomi dan industri keuangan non-bank secara sistemik. Belum lagi kerugian langsung yang diderita oleh korban terkait.
Kementerian Kehakiman AS (1976) dan Edelhertz (1970) menyatakan, “Tindak pidana ekonomi merupakan suatu aktivitas kriminal tanpa menggunakan kekerasan yang terutama bersangkutan dengan gagasan tradisional yang bersifat kebohongan (deceit), tipu muslihat (deception), penyembunyian fakta (concealment), kecurangan (manipulation), pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau penyimpangan tak sah (illegal circumvention).
Oleh US Bar Association (1977) definisi dimodifikasi dengan menambahkan dengan gagasan penjelasan yang salah (misrepresentation). Definisi operasional ini akan membantu menafsirkan unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan.
Bank Dunia (1997) juga menyatakan korupsi adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi (the abuse of public office for private gain).
Istilah tanpa menggunakan kekerasan (non-violent) menunjuk pada alat atau cara tindak pidana dilakukan dan bukan bermakud menggambarkan dampak terhadap korban yang sering kali eksesif dalam konteks kekerasan, seperti kehilangan harta atau kekayaan, penderitaan fisik dan mental orang banyak dan lain-lain.
Kejahatan korporasi
Khusus apabila tindak pidana ekonomi dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, Prof Robert Klitgaard (2000) dari Rand Graduate School, Santa Monica, California, menyampaikan suatu formula universal bahwa: C = M + D – A, yang artinya adalah bahwa : korupsi/Corruption (C) sama dengan monopoli/Monopoly (M) plus diskresi/Discretion (D) minus rasa tanggung jawab/Accountabilty (A).
Formula Klitgaard itu mengidentifikasikan tindak pidana ekonomi termasuk tindak pidana korupsi dengan skala besar, hanya bisa dilakukan orang-orang atau organisasi yang memiliki monopoli kekuasaan atas barang dan jasa baik di sektor publik, privat maupun yang bersifat non-profit, memiliki diskresi atau kemampuan memutuskan dalam peristiwa konkret tentang siapa saja yang akan menerima barang dan jasa itu, namun dilakukan secara tak bertanggung jawab.
Di sini kita teringat istilah “White Collar Crime” (Edwin Sutherland, 1939) untuk mendeskripsikan adanya kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang terhormat dan memiliki status sosial tinggi dalam jabatan atau pekerjaannya. Bank Dunia (1997) juga menyatakan korupsi adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi (the abuse of public office for private gain).
Berbagai tindak pidana ekonomi tersebut cenderung menjadi tindak pidana korporasi (crime for corporation atau corporate criminal) apabila tindak pidana itu juga menguntungkan korporasi dan dilakukan baik oleh orang-orang yang memiliki atau tidak memiliki jabatan fungsional di dalam korporasi, tetapi mampu untuk memberikan perintah terkait dengan tindak pidana dan memegang kendali atas perbuatan yang melawan hukum itu.
Contohnya dalam hal ini apa yang dinamakan pemilik manfaat (beneficial owner) korporasi, yaitu orang perorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina atau pengawas pada korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung atau tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham korporasi dan/atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan (Perpres No 13 Tahun 2018). RKUHP telah mengatur hal ini secara komprehensif.
CIPCE (Centro de Investigation y Prevencion de la Criminalidad Economica) Argentina menyatakan bahwa tindak pidana ekonomi cenderung menimbulkan kerusakan sosial yang besar, karena tidak hanya mencederai lembaga demokrasi tetapi juga merongrong sistem keuangan Negara dalam melaksanakan kebijakan publik, lebih-lebih apabila ada kolusi antara aktor ekonomi dan politik yang cenderung menghambat pengungkapan tindak pidana (structural impunity).