Mimpi Calon Penyangga Ibu Kota Baru dan Bayang-bayang Krisis Air
›
Mimpi Calon Penyangga Ibu Kota...
Iklan
Mimpi Calon Penyangga Ibu Kota Baru dan Bayang-bayang Krisis Air
Di tengah perkembangan Kota Balikpapan dan wacana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, banyak warga Balikpapan sulit mengakses air bersih. Warga berkorban tenaga dan biaya untuk mendapat air bersih tiap hari.
Oleh
Sucipto
·6 menit baca
Februari 2020 ini Kota Balikpapan genap berusia 123 tahun. Dalam sejumlah baliho di pusat kota, Pemerintah Kota Balikpapan memasang jargon ”Balikpapan Nyaman, Penyangga Ibu Kota Negara”. Meski ibu kota negara belum resmi pindah ke Kalimantan Timur, Balikpapan merayakan wacana pemindahan ibu kota tanpa embel-embel ”calon” di depan frasa ”penyangga ibu kota negara” dalam jargon itu, seolah-olah ibu kota memang resmi pindah dan Balikpapan menjadi penyangganya.
Jika dicermati lebih detail, Presiden Joko Widodo tak pernah menyebutkan bahwa ibu kota negara resmi pindah ke perbatasan Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Bisa kita tengok pernyataan Jokowi saat mengumumkan pemindahan ibu kota di Istana Negara, Jakarta. Pernyataan itu bisa dilihat di banyak akun Youtube.
Jika ditulis verbatim, begini perkataan Jokowi, ”Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur”. Jokowi hanya menyebutkan ”lokasi yang paling ideal”. Bahkan, sampai saat ini, undang-undang pemindahan ibu kota sebagai landasan hukumnya belum selesai dibahas.
Namun, wajar saja jika wacana pemindahan ibu kota disambut gegap gempita, apalagi oleh pemerintah daerah di sekitar calon lokasi ibu kota baru itu. Banyak proyek strategis nasional akan dibangun di Kalimantan Timur. Tak terkecuali Balikpapan yang berbatasan langsung dengan Penajam Paser Utara. Bahkan, setelah pengumuman lokasi calon ibu kota negara baru, berbagai seminar dan diskusi bertema pemindahan ibu kota dilaksanakan di hotel-hotel Balikpapan.
Balikpapan akan kebagian cuan dari megaproyek ini. Ditinjau dari jarak, Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, yang dikunjungi Jokowi pada Desember lalu, berjarak sekitar 100 kilometer dari Balikpapan. Untuk menuju ke sana, orang luar kota pasti melewati Balikpapan karena pasti turun di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sepinggan, Balikpapan.
Posisi strategis itu bisa mendatangkan pemasukan daerah melalui okupansi penginapan, kunjungan wisatawan, dan berbagai proyek pembangunan untuk mendukung ibu kota negara.
Sulit air
Di tengah entah kabar baik atau kabar buruk pemindahan ibu kota itu, ada warga Balikpapan yang masih dipusingkan dengan akses ai bersih. Dahlan (59), warga RT 010, Kelurahan Baru Ulu, Balikpapan Barat, tak peduli apakah ibu kota negara resmi pindah atau tidak ke Kalimantan Timur.
”Saya memikirkan air saja susah. Harus begadang setiap malam untuk mengecek apakah air mengalir atau tidak,” katanya, sambil melongok tandon air 1.200 liter di belakang rumahnya, Rabu (26/2/2020) siang.
Hari itu, Dahlan bisa bernapas lega sebab tandon airnya terisi penuh oleh air yang disalurkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Namun, keesokan harinya, ia harus tetap begadang untuk memastikan apakah ada air untuk keluarganya esok hari. Sebab, air PDAM baru bisa mengalir ke rumahnya pukul 01.00-04.00 Wita.
Hal itu disebabkan rumahnya berada di kawasan tinggi, yang dikenal sebagai Gunung Bugis. Kawasan itu merupakan kawasan berbukit, sekitar 30 meter di atas permukaan laut, di sisi barat Balikpapan, dan terletak di tepi Teluk Balikpapan bagian tengah.
Posisi tersebut membuat air sulit mengalir ke rumahnya. Selain itu, sebelum air sampai di rumahnya, air PDAM sudah keluar lebih dulu melalui keran milik orang-orang yang bermukim di kawasan rendah dan dekat dengan sumber air. Praktis, Dahlan dan lima anggota keluarganya hanya bisa menikmati aliran air kala orang-orang di tengah kota sudah terlelap dan tak menyalakan keran air.
Namun, menunggu aliran air PDAM setiap malam juga tak pasti dapat. Dahlan kerap begadang sia-sia. Saat hujan tak turun hingga sebulan di Balikpapan, ia dan sekitar 200 keluarga di kawasan Gunung Bugis tak teraliri air sama sekali. Jika kondisi seperti itu, warga di sana terpaksa harus membeli air tangki yang dijajakan pihak swasta dan PDAM.
Tansar (60), warga RT 038, membayar PDAM Rp 500.000 setiap bulan untuk lima rumah yang dikontrakkan. Di luar biaya itu, ia harus membeli air tangki yang dijajakan keliling Rp 250.000 untuk mengisi sekitar 5.000 liter tandon miliknya.
”Saat musim kemarau panjang, harga air tangki keliling bisa sampai Rp 100.000 untuk mengisi tandon kapasitas 1.000 liter. Padahal, kalau hari-hari biasa, harganya Rp 50.000-Rp 70.000,” kata Tansar.
Saat membeli air, Tansar juga harus bersusah payah. Jarak rumahnya dari tepi jalan raya sekitar 200 meter. Rata-rata rumah penduduk di Gunung Bugis terletak di gang-gang kecil yang tak bisa dilewati mobil. Sementara penjual air tangki keliling menggunakan mobil bak terbuka dan hanya bisa parkir di tepi jalan utama.
Akhirnya, pembeli air seperti Tansar harus menyediakan selang tambahan untuk mengalirkan air ke tandon-tandon di rumahnya. Sebab, penjual air tangki keliling hanya menyediakan selang sepanjang 100 meter saja. Selang harus ditarik melewati gang-gang kecil di tengah permukiman yang padat.
Hanya 12 jam
Penyaluran air bersih oleh PDAM Kota Balikpapan hanya mengalir rata-rata 12 jam dalam sehari ke 103.000 rumah warga. Dari sekitar 680.000 penduduk Balikpapan, sekitar 80 persen berlangganan PDAM. Beberapa perumahan mengandalkan water treatment plant yang dikelola pengembang perumahan. Sisanya, warga mengandalkan air tanah dengan membuat sumur bor. Itu pun sulit mendapatkan air yang benar-benar bersih.
Pada tahun 2019, dari kebutuhan air 2.000 liter per detik, PDAM hanya mampu memenuhi 1.600 liter per detik. Artinya, Balikpapan masih defisit air bersih 400 liter per detik. Air itu bersumber dari Waduk Teritip berkapasitas 250 liter per detik, Waduk Manggar berkapasitas 1.200 liter per detik, dan 23 sumur dengan kapasitas 150 liter per detik.
Waduk dan bendungan itu menampung air hujan sehingga saat musim kemarau, warga di perbukitan tak bisa mengakses air hingga berhari-hari. Sekretaris Daerah Kota Balikpapan Sayid MN Fadli mengatakan, pemerintah tengah membangun instalasi Embung Aji Raden berkapasitas 150 liter per detik yang saat ini dalam proses pembebasan lahan. Proyek itu ditargetkan selesai 2021.
Ia menyebutkan, untuk memenuhi kebutuhan air dalam jangka pendek, pemerintah akan memaksimalkan sumur bor yang ada sambil menunggu embung yang masih dalam proses pembangunan. Selain itu, Pemerintah Kota Balikapan dalam waktu dekat juga akan melelang proyek desalinasi air laut dengan kapasitas 50 liter per detik.
”Kita tetap mengandalkan sumur dalam karena Balikapan tidak ada sungai. Sementara waduknya mengandalkan air hujan. Itu dilakukan sambil menunggu sumber air baku yang terus kita kaji, kira-kira dari mana saja sumber air tanah yang bisa dimanfaatkan,” kata Sayid.
Untuk menekan harga air tangki keliling yang melambung saat musim kemarau, PDAM Kota Balikpapan melakukan intervensi dengan menyalurkan air tangki keliling dengan harga Rp 50.000 untuk 5.000 liter air.
”Itu harga untuk pelanggan PDAM. Kami sediakan berapa saja sesuai kebutuhan,” ucap Direktur Teknik PDAM Kota Balikpapan Arief Purnawarman.
Jika ditarik ke belakang, masalah air ini sudah terjadi sejak lama. Dahlan sudah bermukim di kawasan Gunung Bugis sejak 1980. Sementara Tansar bermukim di sana sejak 1975. Dulu, sebelum PDAM ada, mereka membuat sumur komunal di lokasi yang lebih rendah sebab puluhan kali membuat sumur di bagian atas tak pernah berhasil.
Untuk membawa air-air itu sampai ke rumah, mereka harus memikul bolak-balik. Saat PDAM masuk sekitar tahun 1991, mereka tetap harus memikul air dari sumur komunal karena air tak bisa mengalir 24 jam.
Pembiaran masyarakat yang bermukim di daerah-daerah sulit air berbuntut masalah yang semakin membesar saat ini karena semakin banyak yang tinggal di Gunung Bugis. Jika ibu kota kelak benar-benar pindah, bisa jadi banyak pegawai negeri sipil akan bermukim di Balikpapan karena memiliki berbagai fasilitas yang lengkap. Bisa jadi pula pembangunan di daerah sulit air akan terus terjadi.
Di tengah kebanggaan menjadi calon penyangga ibu kota negara itu, apakah pemindahan ibu kota negara kelak bisa membuat warga Balikpapan memperoleh hak dasar mendapatkan air bersih? Apakah penataan permukiman akan semakin baik? Tak ada yang tahu.