Mewabahnya Covid-19 yang saat ini tersebar ke 64 negara dan wilayah serta menginfeksi lebih dari 87.000 orang di seluruh dunia telah mengirim gelombang kejut bagi komunitas global.
Oleh
·2 menit baca
Mewabahnya Covid-19 yang saat ini tersebar ke 64 negara dan wilayah serta menginfeksi lebih dari 87.000 orang di seluruh dunia telah mengirim gelombang kejut bagi komunitas global. Globalisasi seolah menjadi tidak berarti. Batas-batas kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dulu dilibasnya kini seakan-akan terbentuk lagi.
Demi mencegah penularan lebih lanjut, sejumlah negara—pada awal-awal merebaknya penyakit yang pertama kali merebak di Wuhan, China—membatasi penerbangan langsung ke area terdampak. Ketika virus korana baru yang memicu Covid-19 tersebar ke negara lain, seperti Korea Selatan dan Iran, sejumlah maskapai pun membatasi penerbangan ke wilayah itu.
Pasar global pun bergidik karena wabah Covid-19 memicu kecemasan. Meskipun sejumlah analis meragukan wabah Covid-19 akan menjerumuskan kinerja ekonomi dunia ke dalam krisis, Dana Moneter Internasional (IMF) justru telah merevisi perkiraan pertumbuhan China. Pertumbuhan negara dengan kekuatan ekonomi nomor dua terbesar di dunia itu diprakirakan turun dari 6,0 persen menjadi 5,6 persen.
Dampaknya tentu akan dirasakan oleh negara lain, terutama yang menjadikan China sebagai mitra dagang utama mereka. Kantor berita AFP menuliskan, negara seperti Jerman yang banyak mengekspor ke China mungkin akan terpukul keras dan beberapa negara lain dapat jatuh ke dalam resesi.
Ketika Covid-19 merangsek masuk ke Iran, Presiden Hassan Rouhani, Rabu (26/2/2020), mengatakan, penyakit itu tidak boleh menjadi ”senjata musuh” yang dapat merongrong kinerja ekonomi Iran. Mencecapi apa yang dikatakan Presiden Rouhani dan catatan yang dikemukakan IMF, tidak dapat dimungkiri, Covid-19 memiliki dampak atau kekuatan sedahsyat ”senjata”.
Kehadirannya menguji ketahanan—tidak hanya dalam bidang kesehatan, tetapi juga ekonomi dan sosial—suatu negara. Negara-negara dengan kemampuan tinggi dan telah memiliki mekanisme ”bertahan” yang memadai tentu relatif lebih mudah mengerahkan daya yang mereka miliki untuk mengantisipasi dampak lanjut penyebaran Covid-19.
Italia, misalnya, akan mengucurkan dana senilai 3,6 miliar euro atau setara dengan 0,2 persen besaran ekonomi negara itu untuk sektor-sektor yang terdampak epidemi Covid-19. Negara lain seperti Australia bahkan telah menyiapkan semua yang mereka miliki untuk menghadapi Covid-19 sebagaimana jika penyakit itu ditetapkan sebagai pandemi.
Dengan kemampuan terbatas, negara-negara dengan kekuatan di bawah negara-negara maju itu tentu memiliki cara tersendiri untuk menanggapi ancaman Covid-19. Kemampuan itu tidak hanya terkait dengan teknologi dan dana, tetapi juga terkait dengan bagaimana cara warga dan komunitas di setiap negara menanggapi penyebaran Covid-19.
Cara dan sikap menghadapi ancaman sebagaimana dipicu oleh kehadiran Covid-19 itulah yang membedakan antara persoalan terkait isu pertahanan (defence) dan ketahanan negara (state security). (B Josie Susilo Hardianto/AP/AFP/Reuters)