Diksi ”Kampus Merdeka” mencuat seiring program Merdeka Belajar, yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim. Program itu bakal direalisasikan dalam empat kebijakan: kemudahan re-akreditasi kampus, pemberian hak belajar kepada mahasiswa di luar program studinya selama tiga semester, otonomi kampus untuk membuka program studi baru, dan perubahan status perguruan tinggi berbadan hukum.
Gagasan ini pada dasarnya adalah memberikan ruang kebebasan kepada kampus untuk lebih mengembangkan potensi sumber daya manusianya dalam mengantisipasi kompetisi global. Beberapa kalangan menilai program ini sarat dengan kepentingan pragmatisme pasar bebas.
Terlepas dari pro-kontra itu, ”Kampus Merdeka” tidak boleh kehilangan konteks terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Program ”Kampus Merdeka” tidak boleh menjadi ”Menara Gading”, tetap peduli dan berorientasi kepada masyarakat sebagai lingkungan sosialnya.
Dharma ketiga pengabdian kepada masyarakat mengamanatkan, hasil pendidikan, pengajaran, dan penelitian harus memberi nilai tambah, kontribusi, dan sumbangsih sebesar-besarnya bagi masyarakat lingkungan. Di sisi lain, Kemendikbud harus mempertimbangkan pula alokasi waktu pelaksanaannya, yakni sejalan dengan masa kerja Kabinet Presiden Jokowi Jilid II. Tidak ada jaminan program ini bisa berlanjut pasca-2024.
Oleh karena itu, selayaknya Kemendikbud mempunyai GBHPT, Garis-Garis Besar Haluan Perguruan Tinggi, agar tidak selalu terjadi perubahan kebijakan di setiap pergantian rezim pemerintahan. Program ”Kampus Merdeka” tak boleh pula hanya berbeda (dari yang sebelumnya), tetapi harus memiliki misi substansial, yakni membangun sumber daya manusia Indonesia seutuhnya.
Kampus, sekolah, adalah basis atau wahana untuk membangun peradaban bangsa, tak sekadar ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga watak atau karakter. Inilah yang tidak boleh ditinggalkan meski tuntutan dunia pasar kerja global selalu berubah.
Budi Sartono Soetiardjo Cilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat
Asuransi Ditutup
Kalau di negara maju orang tak bisa hidup tanpa asuransi, di Indonesia pemegang polis masih hidup tetapi asuransinya mati duluan. Gonjang- ganjing asuransi jiwa beberapa hari ini menyadarkan saya. Atas prakarsa istri yang tergiur rayuan agen untuk bersedia payung sebelum hujan dan terpesona nama besar Bakrie, pada tahun 2003 saya gadaikan jiwa saya pada asuransi Bakrie Life.
Saya pensiunan karyawan BUMN Perkebunan, usia menjelang 67 tahun, pemegang dua polis asuransi Bakrie Life: Executive Assurance UP-36.2003.00455 tanggal 4 Februari 2003 (jatuh tempo pada 21 Juli 2018) dan All Life Assurance UP-41.2003.04108 tanggal 6 Juni 2003. Semua kewajiban pembayaran premi sudah lunas tepat waktu.
Ternyata harapan nasabah seperti yang tertulis pada rangkaian janji manis dalam buku polis terpenggal oleh kenyataan bahwa pada 15 September 2016 OJK mencabut izin Bakrie Life karena gagal bayar sejak 2008. Lalu, ke mana lagi para manula pemegang polis Bakrie Life seperti saya ini bisa berharap, sekadar memperoleh nilai rupiah yang jatuh tempo agar bisa menyambung hidup dengan pensiun yang jauh di bawah UMR?
Ataukah kami harus berharap menunggu datangnya malaikat maut agar ahli waris masih bisa memperoleh santunan sekadar biaya pemakaman dan ongkos tahlilan? Menurut Google Translate, bakrie life berarti ’hidup bakrie’. Semoga para penyandang nama ini memberi solusi.
AGUS TRIWIDJAYA Gunungsari, Rappocinni, Makassar, Sulawesi Selatan