Untuk menjaga kualitas demokrasi, gerakan masyarakat sipil dibutuhkan guna membangun keseimbangan bagi jalannya pemerintahan. Publik masih menaruh harapan kepada gerakan mahasiswa dan kalangan LSM.
Oleh
Dedy Afrianto/ Litbang Kompas
·4 menit baca
Untuk menjaga kualitas demokrasi, gerakan masyarakat sipil dibutuhkan guna membangun keseimbangan bagi jalannya pemerintahan. Publik masih menaruh harapan kepada gerakan mahasiswa dan kalangan LSM.
Hasil jajak pendapat Kompas, pekan lalu, mencatat, sebanyak 86,3 persen responden menyatakan, masyarakat sipil yang kuat diperlukan untuk mengawal jalannya pemerintahan. Bagaimanapun, perjalanan politik bangsa ini tak bisa dilepaskan dari relasi antara kekuasaan yang mengelola pemerintahan dan masyarakat sipil yang mengawal jalannya kekuasaan itu.
Sejarah juga menunjukkan kuatnya relasi keduanya. Sejak era Orde Lama, masyarakat sipil yang diwakili mahasiswa telah melakukan gerakan untuk mengawal program dan kebijakan pemerintah. Salah satunya melalui gerakan mahasiswa pada 10 Januari 1966. Aksi itu melahirkan tiga tuntutan rakyat atau yang dikenal dengan Tritura.
Salah satu pendorong lahirnya gerakan ini adalah kondisi ekonomi yang tidak stabil dengan inflasi mencapai 650 persen kala itu. Hal yang sama terjadi di era Orde Baru. Sekali lagi, potret kekuatan masyarakat sipil identik dengan gerakan mahasiswa. Beberapa aksi mengkritik kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Soeharto, hingga akhirnya berujung pada tuntutan reformasi tahun 1998, juga tak lepas dari peran mahasiswa.
Dalam periode yang sama, keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mulai lahir dan bergerak di era Orde Baru ini. Beberapa isu, seperti pemerataan pembangunan dan investasi, turut menjadi fokus gerakan LSM sejak dekade 1970-an (Mahasin, 2000). Gerakan masyarakat sipil semakin menunjukkan tajinya di era Reformasi.
Mahasiswa dan LSM dengan berbagai latar kajian silih berganti mengisi peran dalam mengawal program pemerintah. Perbedaannya, jika gerakan mahasiswa menyorot persoalan umum yang berkaitan dengan kebijakan politis, gerakan LSM lebih menyoroti isu tertentu secara spesifik, seperti lingkungan, hak asasi manusia, dan korupsi.
Di era saat ini, gaung masyarakat sipil masih tetap terasa. Sepanjang satu tahun terakhir, dua dari tiga responden mengaku masih menemui aktivitas gerakan masyarakat sipil di daerah mereka, seperti unjuk rasa dan diskusi publik. Terakhir, salah satu isu yang memicu kemunculan kekuatan gerakan masyarakat sipil adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Stagnasi
Namun, ada satu penilaian menarik dari responden terkait kekuatan masyarakat sipil saat ini. Separuh responden (52,1 persen) menilai gerakan masyarakat sipil saat ini tidak lebih baik dibandingkan awal periode Reformasi. Penyebabnya beragam, seperti banyaknya kerusuhan dan gerakan yang tidak lagi memperoleh respons dari pihak yang dituju.
Potret stagnasi gerakan masyarakat sipil salah satunya terekam dari Indeks Demokrasi Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik, 2018. Pada bagian partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintahan, skor indeks yang diraih mencapai 54,28 atau masuk kategori buruk. Skor pada indikator ini terus menurun sejak 2016.
Selain itu, ada tiga faktor yang turut memengaruhi ruang gerak gerakan masyarakat sipil saat ini. Pertama, dari sisi pemanfaatan teknologi, derasnya informasi yang mengalir melalui media sosial dinilai 70,8 persen responden turut menyebabkan masyarakat mudah terpengaruh oleh suatu isu. Hal ini turut menurunkan daya kritis masyarakat dalam mengawal kinerja pemerintah.
Kedua, adanya keterbelahan sosial akibat pilihan politik yang berbeda. Lebih dari separuh responden menilai keberpihakan masyarakat saat Pemilihan Presiden 2019 turut memengaruhi publik dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Ketiga, figur ketokohan. Sebanyak 58,7 persen responden menilai masuknya aktivis dalam lingkaran pemerintahan turut melemahkan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
Harapan
Di balik kecenderungan stagnasi gerakan sipil, publik masih menaruh harapan cukup besar, khususnya terhadap gerakan mahasiswa dan kalangan LSM. Tiga dari empat responden meyakini gerakan masyarakat sipil mengawal jalannya pemerintahan akan tetap eksis di masa mendatang. Harapan utama mereka tertuju pada gerakan mahasiswa.
Sebanyak 41,5 persen responden meyakini gerakan mahasiswa paling efektif dan masih didengarkan pemerintah. Kasus penolakan revisi Undang-Undang KPK akhir tahun lalu bisa menjadi potret bagaimana kehadiran aksi-aksi mahasiswa turut memengaruhi dinamika politik kala itu. Meski demikian, publik menilai gerakan yang kini paling efektif mengontrol pemerintah dan menyuarakan pendapat tidak lagi didominasi unjuk rasa.
Diskusi yang berujung pada rekomendasi kepada pihak yang dituju dinilai separuh lebih responden menjadi gerakan yang paling efektif saat ini. Hal ini sejalan dengan sejumlah kegiatan mahasiswa atau LSM yang melakukan kajian dan advokasi untuk menyikapi sebuah isu. Harapan terhadap masyarakat sipil ini rasanya tak berlebihan.
Jajak pendapat juga menangkap, dua pertiga responden dari kelompok usia 17-30 tahun bersedia terlibat langsung dalam gerakan masyarakat sipil untuk mengawal kebijakan pemerintah. Respons serupa muncul dari responden berusia 31-40 tahun. Selain usia muda, tingginya minat ikut serta dalam gerakan masyarakat sipil juga ditunjukkan responden dari kalangan pendidikan tinggi.
Sebanyak 6 dari 10 responden dari kalangan berpendidikan tinggi mengaku tertarik terlibat dalam gerakan masyarakat sipil. Gerakan masyarakat sipil adalah salah satu kekuatan yang dapat mengawal kebijakan, sekaligus ”mitra” bagi pemerintah. Gerakan itu harus mengemban aspirasi publik, bukan kepentingan lainnya.
Karena itu, memperkuat gerakan masyarakat sipil menjadi sebuah keniscayaan guna membangun keseimbangan relasi antara negara dan rakyat sebagai bagian dari upaya membangun demokrasi yang berkualitas.