”Omnibus Law” dan Pertanian
Jika pemerintah mau mendorong sektor pertanian seperti yang terlihat dari pemudahan investasi dan izin usaha pertanian, pemerintah juga harus memperhatikan isu konversi lahan untuk memastikan produksi pangan meningkat.
Pemerintahan Presiden Jokowi terus mendorong implementasi omnibus law untuk menarik investasi di berbagai sektor, termasuk di sektor pertanian.
Pembangunan di sektor pertanian, yang merupakan sumber pangan utama manusia selama ini, cenderung terbengkalai karena prioritas di sektor manufaktur atau jasa. Padahal, pertanian perlu mendapat perhatian khusus untuk bisa memenuhi kebutuhan populasi Indonesia dan populasi dunia yang semakin bertambah.
Pada 2045, populasi Indonesia diperkirakan akan mencapai 320 juta orang. Di saat yang bersamaan, kinerja sektor pertanian semakin menurun dari tahun ke tahun dan bahkan semakin ditinggalkan. Kontribusi pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia menurun dari sekitar 50 persen tahun 1960 menjadi hanya 12,72 persen tahun 2019.
Omnibus law pun hadir dengan maksud untuk menjawab masalah tersebut dengan penyederhanaan perizinan berusaha serta kemudahan dan persyaratan investasi. Implementasi omnibus law berpotensi untuk memodernisasi sektor pertanian dengan investasi dan inovasi yang sangat dibutuhkan.
Namun, ada beberapa hal yang patut diperhatikan lebih lanjut. Berikut adalah beberapa dampak positif dari implementasi undang-undang yang juga disebut UU Cipta Kerja ini di sektor pertanian jika jadi disahkan.
Mengundang modal asing
Sesuai tujuannya, RUU Cipta Kerja menghapus peraturan-peraturan yang selama ini dinilai memberatkan masuknya investasi. Menurut Bank Pembangunan Asia (ADB), investasi pertanian di Indonesia kebanyakan masih berasal dari kelompok petani sendiri. Sementara nilai investasi swasta masih sangat rendah. Total investasi asing hanya 0,01 persen dari total investasi swasta yang dikucurkan untuk pertanian.
Peraturan yang selama ini memberatkan investasi di pertanian, salah satunya di subsektor hortikultura, di mana UU No 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura di Pasal 33 membatasi penggunaan sarana hortikultura dari luar negeri dan mensyaratkan keharusan mengutamakan sarana yang mengandung komponen hasil produksi dalam negeri.
Pasal 100 UU yang sama pun membatasi penanaman modal asing hanya untuk usaha besar hortikultura dengan jumlah modal paling besar 30 persen. Penanam modal asing juga wajib menempatkan dana di bank dalam negeri sebesar kepemilikan modalnya. Peraturan-peraturan ini tentunya membuat investor berpikir dua kali untuk masuk ke subsektor hortikultura Indonesia.
Di RUU Cipta Kerja, peraturan-peraturan ini diganti dengan peraturan yang lebih ramah terhadap masuknya investasi. Pasal 34 RUU Cipta Kerja merevisi UU Hortikultura Pasal 33 untuk mengundang sarana hortikultura dari dalam dan/atau luar negeri. Pasal 100 kini menyatakan bahwa pemerintah mendorong penanam modal dalam usaha hortikultura. Hal serupa didapati di sektor perkebunan dan pertanian lebih umumnya.
Selain mengundang modal asing masuk, RUU Cipta Kerja juga mempermudah perizinan usaha yang sebelumnya harus melewati lapisan birokrasi yang berlipat-lipat, dari meminta rekomendasi Menteri Pertanian dulu untuk kemudian meminta izin Menteri Perdagangan. Kini proses ini disederhanakan menjadi satu Perizinan Berusaha dari pemerintah pusat.
Baca Juga: Digitalisasi Jadi Magnet Investasi Sektor Pertanian
Dengan semakin terbukanya Indonesia terhadap investasi dan sarana luar negeri, pertanian bisa memanfaatkan modal dan teknologi yang sudah ada untuk mendorong produktivitas dan efisiensi. Hal ini akan mendukung cita-cita Indonesia untuk menjadi lumbung pangan dunia pada 2045.
Pembebasan distribusi benih
Masalah perbenihan merupakan isu fundamental di sektor pertanian. Selama ini, distribusi benih sangatlah dibatasi sehingga petani sering kali kesusahan mengakses benih yang bermutu. Pasal 63 di UU Hortikultura membatasi pemasukan benih hanya ketika benih itu tak dapat diproduksi di dalam negeri atau jika kebutuhan dalam negeri belum tercukupi dan itu harus melalui proses perizinan yang rumit. Peraturan ini direvisi di RUU Cipta Kerja sehingga proses pemasukan dan pengeluaran benih bisa semakin mudah.
Pemasukan benih dan bibit di sektor peternakan juga dipermudah melalui Pasal 35 RUU Cipta Kerja yang merevisi UU No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (yang kemudian diubah dengan UU No 41 Tahun 2014). Pasal 13 di UU Peternakan membatasi penyediaan dan pengembangan benih dan/atau bibit peternakan untuk mengutamakan produksi dalam negeri dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi kerakyatan.
Masalah perbenihan merupakan isu fundamental di sektor pertanian.
Selain itu, Pasal 15 UU Peternakan menetapkan persyaratan pemasukan benih dan/atau bibit dengan proses yang harus melewati rekomendasi Menteri Pertanian, dan kemudian mendapat izin dari Menteri Perdagangan. Jika RUU Cipta Kerja disahkan, persyaratan ini akan dipermudah melalui Perizinan Berusaha.
Penurunan hambatan perdagangan pangan
RUU Cipta Kerja juga memudahkan masyarakat Indonesia mengakses pangan yang berkualitas dan terjangkau melalui impor. Sebuah studi dari Heufers dan Patunru (2018) mengestimasi, kebijakan-kebijakan perdagangan yang proteksionis selama ini mengakibatkan kerugian ekonomi ke Indonesia sebesar Rp 303 miliar per tahun. Kerugian ini karena harga pangan di Indonesia masih terus lebih mahal dari harga pangan internasional.
Contohnya, harga beras di Indonesia yang berada di kisaran Rp 12.000 per kilogram, dua kali lipat lebih mahal dari harga beras internasional yang sekitar Rp 6.000. Tingginya harga pangan menyebabkan 22 juta warga Indonesia menderita kelaparan dan berpotensi mengalami malnutrisi.
Keterbukaan impor melalui RUU Cipta Kerja menjadi suatu gebrakan yang penting bagi ketahanan pangan Indonesia. Impor selama ini dibatasi berdasarkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyatakan bahwa ketersediaan pangan merupakan kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional, dan impor hanya bisa dilakukan jika kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Di RUU Cipta Kerja, konsep ini diubah sehingga impor menjadi salah satu sumber ketersediaan pangan. Pasal 14 di UU Pangan pun diubah sehingga sumber penyediaan pangan berasal dari produksi pangan dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.
Selaras dengan ini, UU No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pun diubah sehingga Pasal 30 yang dulunya melarang orang untuk mengimpor jika komoditas pertanian dalam negeri dianggap sudah cukup kini menerima impor sebagai sumber kecukupan kebutuhan konsumsi.
Keterbukaan perdagangan pangan Indonesia merupakan berita bagus bagi konsumen Indonesia, bahkan kepada petani yang selama ini juga ikut menderita karena harga pangan yang mahal. Liberalisasi impor pangan dapat memperkuat ketahanan pangan dan juga memperbaiki tingkat nutrisi Indonesia.
Berdasarkan studi lintas negara di 116 negara berkembang, Smith dan Haddad (2015) menemukan bahwa akses impor merupakan salah satu faktor utama pengurangan angka stunting. RUU Cipta Kerja berpotensi memiliki dampak positif bukan hanya di investasi, melainkan juga pada kesehatan masyarakat.
Isu lingkungan
Di balik kemudahan investasi dan usaha, RUU Cipta Kerja membawa risiko terhadap keberlanjutan lingkungan. UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan menetapkan syarat-syarat lingkungan, seperti analisis dampak lingkungan, kesesuaian tata ruang wilayah dan kesesuaian rencana perkebunan untuk mendapatkan izin usaha perkebunan (Pasal 45).
Liberalisasi impor pangan dapat memperkuat ketahanan pangan dan juga memperbaiki tingkat nutrisi Indonesia.
Syarat ini diteruskan di Pasal 67 yang menetapkan bahwa Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan analisis dampak lingkungan hidup, upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, serta penyediaan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat untuk menanggulangi kebakaran.
Di RUU Cipta Kerja, pasal-pasal ini dihapus. Bukan berarti pemerintah tidak lagi menghiraukan lingkungan karena revisi Pasal 67 tetap berbunyi bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Isu lingkungan hidup ini patut dipantau lebih lanjut jika RUU Cipta Kerja disahkan oleh DPR. Keberlanjutan lingkungan di sektor agrikultur merupakan hal yang esensial.
Tanah pertanian
Salah satu tantangan terbesar pertanian Indonesia selama ini adalah konversi lahan menjadi area urban atau yang beralih ke sektor manufaktur. Konversi lahan ini bisa semakin memburuk karena RUU Cipta Kerja mempermudah pengalihfungsian lahan untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional.
Jika sebelumnya UU No 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan mewajibkan syarat-syarat melalui kajian strategis, penyusunan rencana alih fungsi lahan, pembebasan kepemilikan hak dari pemilik dengan cara ganti rugi, dan penyediaan lahan pengganti terhadap lahan budi daya pertanian, di RUU Cipta Kerja syarat-syarat tersebut dihapus.
Selain itu, lahan dengan fungsi jaringan pengairan lengkap yang dulu dikecualikan dari kemungkinan pengalihfungsian lahan kini dibolehkan untuk dialihfungsikan, dengan syarat wajib menjaga fungsi jaringan pengairan lengkap. Jika pemerintah mau terus mendorong sektor pertanian seperti yang terlihat dari pemudahan investasi dan izin usaha pertanian, pemerintah juga harus memperhatikan isu konversi lahan ini.
Lahan pertanian harus terus dimasukkan dalam prioritas pembangunan pemerintah untuk memastikan produksi pangan kita terus meningkat.
Felippa Amanta; Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS)