”Omnibus Law” dan Supremasi Korporasi?
Setelah membaca draf RUU ”sapu jagat” Cipta Kerja, saya teringat pada sebuah kisah masyhur tentang cincin yang hilang dari jenius nan jenaka Abu Nawas.
Setelah membaca draf RUU ”sapu jagat” Cipta Kerja, saya teringat pada sebuah kisah masyhur tentang cincin yang hilang dari jenius nan jenaka Abu Nawas.
Alkisah, pada suatu malam Abu Nawas dilihat oleh istrinya sedang sibuk mencari sesuatu di dalam rumah.
Ketika ditanya, ia lantas berkata, ”Cincinku hilang.” Lalu istrinya kembali bertanya, ”Hilangnya di mana?” Ia pun menjawab, ”Di pekarangan rumah.” Sang istri terheran-heran, bagaimana bisa cincin yang hilang di pekarangan lalu dicarinya di dalam rumah? Kemudian Abu Nawas berkata, karena di luar gelap, sedangkan di sini terang.
Kisah itu membawa kita pada suatu pemikiran mendasar yang mencoba untuk menggali latar belakang RUU sapu jagat ini. Ada sebuah keresahan yang meluas di tengah masyarakat kita tentang RUU ini, berbagai tafsir dan anasir dari berbagai dimensi keahlian mulai mewarnai, tetapi sedikit sekali yang mempersoalkan tentang salah satu akar persoalan ”sulitnya investasi karena regulasi”.
Hal ini memberi saya keyakinan bahwa RUU ini punya maksud baik, tetapi keliru dalam mengonstruksi solusi sehingga pro dan kontra yang terjadi menyebabkan publik berasumsi inilah ”supremasi korporasi” yang hakiki, di mana privilese diberikan tanpa mengindahkan kaidah dan norma yang terbangun selama ini. Meminjam istilah Dr Abdul Azis (kolega di FISIP UB), pemerintah tampak seperti sedang ”memberhalakan investasi”.
Sebuah patologi
Istilah patologi lebih populer digunakan di dunia medis. Namun, untuk diketahui, istilah ini juga sering digunakan untuk merujuk pada ilmu yang mempelajari penyakit-penyakit dalam tubuh birokrasi. Penyakit didefinisikan sebagai suatu gangguan sistem tubuh, baik fisik maupun fungsi yang mengakibatkan kerugian (Badizadegan dalam Amy, 2019).
Merujuk pada RUU Cipta Kerja yang menjadikan ”kemudahan dalam aturan” sebagai magnet untuk menarik investor sehingga pada akhirnya dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas, menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar. Kenapa selama ini dipersulit? Untuk apa dan siapa kesulitan itu dilakukan? Jika untuk melindungi kepentingan nasional, kenapa tidak? Pertanyaan ini memunculkan kekhawatiran, seumpama dokter, pemerintah dikhawatirkan salah mendiagnosis penyakit sehingga salah merumuskan resep obatnya.
Jika akar persoalannya ada pada birokrasi yang rumit, bertele-tele, kenapa yang diobati adalah client (pengusaha)-nya? Jika cincin yang hilang di pekarangan, kenapa mengobrak-abrik ruang tengah di dalam rumah? Atau malah situasi ini membuktikan apa yang disebut Thompson (2002) sebagai ”patologi birokrasi”, yakni perilaku administrasi dari orang-orang yang merasa posisinya tidak aman, kemudian mencari timbal balik dengan menggunakan kewenangannya untuk mendominasi dan mengontrol yang lainnya.
Apakah eksekutif declare bahwa sudah gagal mengendalikan aparaturnya sendiri? Apakah selemah itu kepemimpinan yang dijalankan selama ini sehingga harus membuat aturan yang memorakporandakan harapan dengan memberi pengusaha karpet merah sehingga abai pada isu HAM, lingkungan alam, bahkan keadilan dengan fungsi sosial lainnya?
Realitas ini disebutkan (oleh Biins dalam Amy, 2019) sebagai gejala patologi birokrasi, yakni patologi birokrasi dapat ditandai dengan adanya keprihatinan yang berlebihan dalam hal melindungi kepentingannya, dan timbulnya hubungan yang tidak harmonis dengan klien dan anggota organisasi lainnya.
Kondisi ini dapat menyebabkan birokrasi menjadi sangat tertutup, antikritik, dan cenderung abai pada kualitas layanan yang diberikan sehingga birokrasi hanya menguntungkan sekelompok orang yang dekat dengan sumber kekuasaan.
Budaya organisasi yang demikian itu yang kiranya menjadi resep dalam mengatasi kerumitan tumbuh kembang investasi, penyakit-penyakit birokrasi yang demikian itu yang seharusnya diobati agar niat yang (apabila) baik itu tidak dengan mudah ”diolah” menjadi senjata yang menghantam tuannya.
Ketidakmampuan mengendalikan tak dapat dipangkas dengan ”mem-bypass” aturan, ini seumpama mengamputasi tubuh sendiri, mengingat draf RUU ini masuk sebagai inisiasi pemerintah (eksekutif) yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah yang ada di dalam tubuh mereka (eksekutif) sendiri, aneh bukan?
Menuhankan pertumbuhan
Rendahnya angka pertumbuhan ekonomi yang diklaim 5 persen oleh sebagian pakar sebagai suatu hal yang biasa, yang bahkan dikatakan dapat dicapai secara alamiah (bahkan tanpa adanya pemerintahan sekalipun) boleh jadi memicu kemunculan gagasan RUU ini. Tajamnya kritik yang ditujukan kepada pemerintah memacu mereka untuk bekerja ekstra, boleh jadi mereka sedang berburu dengan waktu.
Daripada harus menghabiskan banyak waktu untuk memperbaiki birokrasi yang demikian rumitnya itu, dibuatlah RUU yang memangkasnya secara artifisial. Tindakan yang oleh beberapa pihak disebut ”ngawur dan tak terukur” ini sebagai manifestasi dari ”menuhankan pertumbuhan”, di mana setiap hal yang menghambatnya dapat dikatakan halal untuk dihapuskan.
Agregasi ekonomi yang (boleh jadi) menjadi motif dapat dengan mudah dibalik oleh opini publik yang menyebutnya sebagai agregasi elektoral, bahkan beberapa pihak tanpa sungkan-sungkan menyebutnya sebagai keputusasaan. Ada sebentuk keyakinan bahwa kemudahan investasi ini dilakukan untuk memperbaiki citra penguasa pada akhir periodenya.
Namun, secara sarkastis, ada pula yang berkeyakinan ini adalah instrumen untuk meraup sebesar-besarnya ”cuan” sebelum lengser keprabon. Opini liar nan sensitif ini menjadikan diskursus atas substansi omnibus law itu sendiri menjadi semakin subyektif, seumpama like and this like, tidak argumentatif (poor idea).
Sudah seyogianya pemerintah mempertimbangkan keresahan publik yang semakin masif, dan menunjukkan sikap yang terbuka atas kritik, agar tidak dikesankan sebagai upaya mengobati penyakit dengan penyakit. jika ingin menghadirkan birokrasi yang ”menyenangkan” (hybrid bureaucracy), kenapa harus dengan cara-cara yang radikal sehingga meresahkan?
Pertumbuhan ekonomi yang ingin dikejar sudah sepatutnya segera di-breakdown kepada publik agar segera bermetamorfosis menjadi common interest sehingga ide dan gagasan ini dapat menjadi kehendak kolektif. Bukankah seharusnya memang seperti itu cara memerintah di sebuah negara yang demokratis?
Muhammad Barqah Prantama Pengajar Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Brawijaya