Pemerintah mesti duduk bersama pelaku usaha yang terlibat dalam perjalanan ibadah umrah untuk menginventarisasi masalah dan mencari solusi. Prinsip perlindungan konsumen mesti ditegakkan pada calon jemaah umrah.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Prinsip perlindungan konsumen mesti ditegakkan pada calon jemaah umrah yang tak jadi berangkat karena penutupan oleh pemerintah Arab Saudi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Namun, penegakan prinsip perlindungan konsumen itu membutuhkan keterlibatan sejumlah pihak.
Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Arief Safari menyatakan, pemerintah mesti duduk bersama pelaku usaha yang terlibat dalam perjalanan ibadah umrah untuk menginventarisasi permasalahan dan potensi masalah serta mencari solusi alternatif. "Hak-hak jemaah sebagai konsumen mesti dipulihkan," ujarnya di Jakarta, Senin (2/3/2020).
Arief mengimbau, pemerintah khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Luar Negeri memprioritaskan keberangkatan bagi jemaah yang sudah memiliki visa. Alternatif solusi penanggungan biaya visa yang hangus nantinya juga perlu dirumuskan.
Selain itu, jemaah membutuhkan kepastian penjadwalan ulang terkait keberangkatan umrahnya. Dalam hal ini, pemerintah mesti aktif mendekati Arab Saudi untuk mendapatkan kepastian maupun jaminan bagi jemaah.
Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Haji Umrah Indonesia (Sapuhi), Syam Resfiadi menyatakan, perlu ada solusi menang-menang (win-win) dalam mengedepankan kepentingan jemaah dan keberlangsungan usaha pelaku jasa perjalanan umrah. Dia mengkhawatirkan kontrak bisnis para pelaku usaha perjalanan umrah Indonesia dengan vendor-vendor Arab Saudi yang terdiri dari jasa penginapan, katering, dan sewa kendaraan untuk transportasi jemaah selama umrah.
Syam menyatakan, pelaku usaha jasa perjalanan telah melunasi vendor-vendor tersebut dan khawatir apabila uangnya tidak bisa diminta kembali. "Hingga saat ini, negosiasi kami berada di tahap penjadwalan ulang," katanya saat dihubungi.
Anggota Sapuhi diperkirakan mencapai 235 pelaku usaha. Perkiraan jumlah jemaah yang terdampak penutupan oleh Arab Saudi minimal sebanyak 50 orang per pelaku usaha.
Pemerintah Indonesia mesti berada di garda terdepan dalam meminta klarifikasi ke pemerintah Arab Saudi.
Selain itu, Syam memperkirakan, jemaah yang mengajukan pengembalian uang mencapai 10-15 persen akibat khawatir terdampak penyebaran Covid-19. Menurutnya, pengajuan ini berpotensi melemahkan usaha jasa perjalanan umrah apabila tidak memiliki dana yang siap cair.
Oleh karena itu, peneliti Haji dan Umrah sekaligus Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Dadi Marjadi menyatakan, pemerintah Indonesia mesti berada di garda terdepan dalam meminta klarifikasi ke pemerintah Arab Saudi berkaitan dengan kepastian berakhirnya penutupan perjalanan umrah. "Klarifikasi ini sangat penting untuk kepentingan jemaah dan kepastian usaha bagi pelaku industri umrah dalam negeri," katanya.
Tak hanya mendapatkan klarifikasi, Dadi menilai, Indonesia juga harus mendapatkan jaminan dari pemerintah Arab Saudi terkait kontrak bisnis perjalanan umrah dengan vendor-vendor terkait tak dibatalkan. Apalagi, tingkat kepemilikian vendor yang terlibat di Arab Saudi beragam, ada yang milik negara, swasta, dan individu.
Berdasarkan perhitungannya, Dadi menyebutkan, rata-rata nilai bruto dari industri perjalanan umrah Indonesia mencapai Rp 2 triliun per bulan. "Pemerintah juga perlu memikirkan puncak jumlah jemaah yang melakukan perjalanan umrah pada Ramadhan mendatang serta perjalanan haji tahun ini," katanya.