Modifikasi cuaca untuk mengatur hujan biasanya dilakukan dengan menabur garam dapur di awan yang berpotensi hujan. Kini, suar pun digunakan. Hasilnya jauh lebih efektif dibanding garam dapur.
Hujan lebat masih akan terjadi di sejumlah wilayah Indonesia hingga Maret 2020. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengingatkan untuk mewaspadai banjir, khususnya di Sumatera bagian selatan, Jawa, serta sebagian Sulawesi dan Papua.
Jakarta dan sekitarnya berpeluang menghadapi banjir. Karena itu, modifikasi cuaca untuk mencegah banjir di Jabodetabek akan terus dilakukan guna memindahkan lokasi turunnya hujan, mengurangi intensitas atau curah hujan, hingga memperpanjang waktu turunnya hujan.
Seiring selesainya perbaikan pesawat Piper Cheyenne milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), modifikasi cuaca juga dilakukan dengan suar (flare), tak hanya memakai garam dapur atau natrium klorida (NaCl) seperti dilakukan selama ini.
Penggunaan suar dalam modifikasi cuaca bukan hal baru di Indonesia meski relatif terbatas. ”Flare sepenuhnya diimpor, sedangkan garam dapur murni produksi lokal,” kata Kepala Bidang Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Balai Besar TMC BPPT Budi Harsoyo, di Jakarta, Jumat (28/2/2020).
Selain asal material, suar dikategorikan sebagai bahan peledak. Pemakaian dan pengangkutannya butuh perizinan ekstra dan kehati-hatian. Pada 2010-an, suar digunakan untuk menurunkan hujan di area pertambangan nikel Soroako, Sulawesi Selatan, yang dilakukan perusahaan asal Amerika Serikat. Beberapa tahun terakhir, suar digunakan untuk menurunkan hujan guna mengatasi kebakaran hutan dan lahan di Sumatera.
Untuk pencegahan banjir Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, penggunaan suar relatif baru, sejak Rabu (26/2) atau setelah banjir di sejumlah wilayah di Jakarta dan Bekasi awal pekan lalu. Terlebih, suar juga digunakan tidak hanya untuk mempercepat turunnya hujan, tetapi juga mencegah hujan dengan merusak awan yang berpeluang jadi hujan.
Mengganggu awan
Budi menjelaskan, suar yang dipakai untuk modifikasi cuaca dan dipasang di bagian belakang sayap pesawat Piper Cheyenne memiliki dua jenis, yakni suar higroskopik dan suar perak iodida (AgI). Suar higroskopik juga berisi garam, tetapi dari jenis kalsium klorida (CaCl2). Sejumlah bahan kimia lain juga ditambahkan dalam suar yang memiliki panjang 30,5 cm dan diameter 6,35 cm itu.
Suar ini dibakar di bawah lapisan awan, umumnya awan kumulus bergulung-gulung mirip bunga kol, di ketinggian 3.000-4.000 kaki atau 9001.200 meter dari tanah. Begitu suar ditembakkan, material suar naik dan masuk ke awan. Partikel suar itu bekerja mirip garam dapur, yaitu menambah inti kondensasi di awan sehingga hujan lebih cepat turun dibanding kondisi normal.
Untuk mencegah banjir Jakarta, awan hujan itu akan dijatuhkan sebelum memasuki Jakarta. ”Efektivitas membakar suar lebih tinggi dibanding menabur garam dapur. Membakar 1-2 suar sama hasilnya seperti menabur 1 ton garam,” kata Budi. Pencegahan banjir juga bisa dilakukan dengan membuat inti kondensasi di awan berlebih (overseed) dengan membakar suar sebanyak-banyaknya.
Berlebihnya inti kondensasi membuat pertumbuhan awan terhambat dan hujan tak terjadi karena inti kondensasi saling berebut uap air. Namun, metode ini berisiko gagal. Jika itu terjadi, proses terjadi awan hujan akan melambat dan hujan bisa turun semakin deras. Untuk meminimalkan risiko itu, awan yang disasar adalah awan yang bergerak ke luar Jakarta. Dengan demikian, kalaupun gagal, hujan turun di luar Jabodetabek yang potensi banjirnya lebih rendah.
Selain suar higroskopik, jenis suar yang digunakan adalah suar perak iodida. Sesuai namanya, suar ini tak berisi garam, tetapi senyawa perak iodida. Suar jenis ini sebelumnya tak pernah digunakan di Indonesia, tetapi di negara lintang tinggi untuk memecah hujan es batu menjadi salju atau butiran air.
Di Indonesia, lanjut Budi, karena potensi hujan es batu rendah, suar ini digunakan untuk membuyarkan awan sehingga tak terjadi hujan. Selain itu, suar ini juga digunakan untuk memperlama durasi hujan dan memberi kesempatan air hujan mengalir ke sungai atau laut sehingga tidak menimbulkan banjir.
Jika suar higroskopik menyasar awan kumulus, suar perak iodida digunakan untuk awan kumulonimbus, yakni awan kumulus amat besar dan menjulang tinggi. Ketinggian awan ini bisa lebih dari 20.000 kaki atau 6.000 meter dan suhunya mencapai minus 6 derajat celsius. Awan ini berpeluang menghasilkan hujan sangat lebat dan lama.
”Flare perak iodida dibakar pada awan-awan target yang telanjur tumbuh di atas wilayah Jakarta,” katanya. Selama ini, modifikasi cuaca hanya bisa dilakukan saat hari terang demi keselamatan. Dengan suar ini, awan hujan yang tumbuh di pagi hari diharapkan cepat ditangani sehingga tak memicu banjir.
Kepala Bidang Pelayanan Teknologi Balai Besar TMC BPPT Sutrisno menambahkan, sejak Rabu (26/2) hingga kemarin 34 suar higroskopik dan 8 suar perak iodida sudah digunakan. Meski kini ada suar, modifikasi cuaca dengan garam dapur dilanjutkan. Sejak 3 Januari 2020 hingga kemarin, total garam dapur yang disemai 228 ton dan ditabur memakai pesawat CN 295 dan Cassa 212-200 milik TNI Angkatan Udara.
Kepala BBTMC Tri Handoko Seto mengatakan, penggunaan suar untuk modifikasi cuaca yang ditembakkan dengan pesawat Piper Cheyenne itu diharapkan membuat operasi modifikasi cuaca lebih efektif. Meski tak bisa mengatasi awan yang tumbuh di malam hari, tambahan armada itu membuat modifikasi cuaca lebih efektif.