Manchester City terus menambah koleksi trofi dengan menjuarai Piala Liga Inggris musim ini. Namun, sulit membayangkan mereka tetap mempertahankan dominasi di level domestik itu pada musim-musim berikutnya.
Oleh
DOMINICUS HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
London, Senin - Manajer Manchester City, Pep Guardiola, mempersembahkan trofi kedelapan bagi timnya usai mengalahkan Aston Villa, 2-1, pada laga final Piala Liga Inggris di Stadion Wembley, London, Senin (2/3/2020) dini hari WIB. Namun, di balik kesuksesan besar itu tersembunyi tanda akhir sebuah era, khususnya bagi City, mulai terlihat.
Kemenangan ini memang semakin mengukuhkan Guardiola sebagai manajer terbaik yang pernah dimiliki “The Citizens”. Sejak bergabung pada tahun 2016, manajer asal Spanyol itu telah mempersembahkan dua trofi Liga Inggris, satu trofi Piala FA, dua trofi Community Shields, dan tiga trofi Piala Liga Inggris dalam tiga musim beruntun.
Jika ditambah dengan pencapaian Guardiola semasa melatih Barcelona dan Bayern Muenchen, ia telah mengoleksi total 30 trofi. Kesuksesan terbesar terjadi ketika ia melatih Barcelona dan meraih dua trofi Liga Champions serta dua trofi Piala Dunia Antarklub. Sebanyak 14 trofi atau hampir separuh dari koleksinya saat ini diraih bersama Barcelona.
Tidak mengherankan jika pemilik City, Sheikh Mansour bin Zayed Al-Nahyan, kemudian sangat menginginkan Guardiola untuk memberikan kesuksesan yang sama di City. The Citizens kemudian menjelma menjadi tim yang tampil atraktif dengan pakem penguasaan bola yang kental ala Barcelona.
Dengan raihan delapan trofi dalam waktu empat musim, Guardiola sudah mampu memenuhi harapan sang pemilik klub setidaknya pada level kompetisi domestik. Ambisi untuk meraih trofi di kompetisi Eropa masih belum berhasil karena perjalanan mereka di Liga Champions selalu kandas di tengah jalan.
Usai final Piala Liga Inggris di Wembley kemarin, Guardiola mengingatkan kembali prinsip klub. “Bagi klub, ini bukan lagi soal memperebutkan sebuah gelar juara melainkan tentang bagaimana kami ingin setiap laga menjadi berarti dan kami ingin selalu menang,” katanya.
Artinya, City berkomitmen untuk mendominasi semua kompetisi yang mereka ikuti. Komitmen ini sangat serius karena untuk bisa tetap fokus dan memaksimalkan kekuatan di semua kompetisi pada prakteknya sangat sulit. Bagi tim elite di Inggris seperti City, mereka harus berhadapan dengan jadwal yang terkadang tidak manusiawi karena saking padatnya.
City selama ini cukup berhasil melalui jadwal-jadwal padat itu karena memiliki kedalaman skuad. Guardiola diperkuat dengan para pemain pelapis yang mumpuni sehingga mampu merotasi pemainnya dengan baik. Hasilnya pun memuaskan karena dipadu dengan keahliannya meracik taktik.
Kemampuan merotasi pemain itu terlihat jelas pada dua laga terakhir ketika City mengalahkan Real Madrid, 2-1, pada laga pertama babak 16 besar Liga Champions, dan saat mengalahkan Aston Villa. Di hadapan Real, Guardiola menyimpan pemain kunci seperti Sergio Aguero, Raheem Sterling, dan Fernandinho. Sebaliknya, pada laga kontra Aston Villa, ketiga pemain itu diturunkan. Hasilnya sama-sama positif.
Namun, Aston Villa sukses mengungkap celah yang dimiliki City. Setelah bisa unggul 2-0 berkat gol Aguero dan Rodri Hernandez, Villa tetap bisa membalas satu gol melalui Mbwana Samatta. Aston Villa sebagai tim peringkat kedua dari bawah klasemen Liga Inggris itu masih bisa menyulitkan City pada babak kedua.
Celah City terjadi di lini belakang yang dipresentasikan oleh Oleksandr Zinchenko dan John Stones. Meski kembali dipercaya tampil setelah lama absen karena cedera, Stones tetap melakukan kesalahan yang membuat Samatta bisa mencetak gol.
Manajer Aston Villa, Dean Smith, pun sampai merasa timnya telah menjalani laga terbaiknya dan merasa optimistis bisa keluar dari zona degradasi di Liga Inggris. “Jika kami tetap memperagakan permainan seperti tadi (saat lawan City), maka kami akan baik-baik saja,” ujar Smith dikutip BBC.
Masa transisi City
Kesulitan City menghadapi Aston Villa pada laga itu bisa menjadi sebuah tanda bahwa masa-masa indah mereka meraih begitu banyak trofi bersama Guardiola bakal berakhir. “Pada tahun-tahun berikutnya, fans City mungkin akan melihat tim-tim lain yang akan mengumpulkan trofi, sedangkan klub kebanggaan mereka memasuki masa transisi yang sudah tidak bisa dihindari,” tulis jurnalis ESPN, Mark Odgen.
Beberapa indikator sudah terlihat seperti menurunnya performa atau ketidakjelasan masa depan yang membayangi para pemain. Ilkay Gundogan merupakan salah satu pemain yang performanya menurun. David Silva sudah memastikan untuk meninggalkan City pada akhir musim ini sementara kontrak Aguero akan habis pada akhir musim depan.
Opsi untuk pindah semakin menggoda bagi para pemain karena City menjalani sanksi larangan tampil di ajang Liga Champions pada dua musim mendatang karena melanggar aturan Financial Fair Play. Sterling pun sudah menyatakan secara tersirat kekagumannya terhadap Real Madrid dalam wawancara dengan tabloid AS.
Kepastian mengenai sanksi dari UEFA itu memang masih akan diputuskan oleh Pengadilan Arbitrasi Olahraga karena City sudah mengajukan banding. Namun, pemberian sanksi itu sudah jelas memberikan pukulan telak bagi para pemain karena tidak bisa tampil di kompetisi Eropa. Mereka bisa memilih pergi dan jika terjadi, City akan membutuhkan perombakan skuad dan memasuki tahap transisi.
Hal terbaik yang bisa dilakukan City saat ini adalah memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memburu dua trofi lagi yang tersisa, yaitu trofi Piala FA dan Liga Champions. Mereka akan segera menghadapi Sheffield Wednesday pada laga putaran kelima Piala FA, Kamis (5/3/2020) dini hari WIB. (AFP/REUTERS)