Berkas Paniai Belum Penuhi Syarat, Kejaksaan Tak Bisa Melengkapi
›
Berkas Paniai Belum Penuhi...
Iklan
Berkas Paniai Belum Penuhi Syarat, Kejaksaan Tak Bisa Melengkapi
Berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, tahun 2014, berpotensi dikembalikan kejaksaan ke Komnas HAM untuk dilengkapi. Kasus Paniai dikhawatirkan bernasib sama seperti kasus HAM lain.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung menilai berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, tahun 2014, yang diserahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, belum lengkap. Oleh karena itu, ada kemungkinan kejaksaan akan mengembalikannya. Melihat kondisi itu, masyarakat sipil khawatir kasus Paniai akan berakhir seperti kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu lainnya.
Belum lengkapnya berkas penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Ali Mukartono di Jakarta, Selasa (3/3/2020).
”Sementara hasilnya seperti itu, yakni berkas tersebut belum memenuhi syarat formil dan materiil. Nanti akan kami laporkan ke Pak Jaksa Agung mengenai sikapnya seperti apa dan akan memberikan petunjuk supaya dilengkapi lagi,” kata Ali.
Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan kasus Paniai kepada Kejagung pada 11 Februari 2020. Berdasarkan catatan Kompas, peristiwa Paniai terjadi pada 8 Desember 2014. Setidaknya lima warga tewas tertembak dalam bentrokan dengan aparat keamanan di Lapangan Karel Gobai, Distrik Madi, Kabupaten Paniai, Papua.
Menurut Ali, materi berkas penyelidikan merupakan tanggung jawab Komnas HAM, termasuk untuk kelengkapannya. Adapun tanggung jawab Kejaksaan Agung pada tahap penyidikan. Dengan demikian, jika ada kekurangan pada berkas penyelidikan, Kejaksaan Agung mesti memintanya kepada Komnas HAM.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM diberi wewenang sebagai penyelidik. Hasil penyelidikan tersebut lantas disampaikan kepada Jaksa Agung sebagai aparat negara yang berwenang menyidik berkas pelanggaran HAM berat, sebagaimana amanat UU tentang Pengadilan HAM.
”Maka, ketika kami butuh sesuatu, ya, harus minta ke penyelidik. Itu intinya, jadi kami tidak bisa melengkapi sendiri karena itu perintah undang-undang,” ujar Ali.
Itu intinya, jadi kami tidak bisa melengkapi sendiri karena itu perintah undang-undang.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Amirudin Al Rahab, saat dimintai tanggapannya terkait hal tersebut menolak berkomentar. Dia baru akan menjawab setelah menerima hasil penilaian dari Kejagung.
Jalan buntu
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar khawatir kasus Paniai akan bernasib seperti kasus dugaan pelanggaran HAM berat lainnya yang diselidiki Komnas HAM.
Dalam kasus-kasus tersebut, Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan ke Kejagung, tetapi kejaksaan menilai berkas belum lengkap. Berkas penyelidikan pun bolak balik Komnas HAM-Kejagung, tanpa ada ujungnya.
”Hampir pasti alasan Kejagung adalah bukti belum lengkap untuk formil dan materiil. Perdebatannya, sampai di level mana Komnas HAM mesti menyediakan bukti permulaan yang cukup sehingga dapat ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung. Ini menjadi jalan buntu bagi tindak lanjut sejumlah hasil penyelidikan Komnas HAM untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” kata Wahyudi.
Padahal, menurut dia, UU Pengadilan HAM memberi ruang yang cukup bagi Kejagung untuk melengkapi berkas penyelidikan sehingga bisa ditingkatkan ke penyidikan. UU Pengadilan HAM bahkan memberi kewenangan kepada Jaksa Agung untuk membentuk tim penyidik yang komposisinya tidak hanya jaksa, tetapi melibatkan sejumlah kalangan, termasuk publik.
”Itu dimungkinkan. Yang jadi masalah adalah bagaimana segera melakukan dan membuat kesimpulan untuk dilanjutkan ke pengadilan atau tidak. Di level ini menjadi politis,” ujar Wahyudi.
Khusus kasus Paniai, dia melihat seharusnya untuk mengumpulkan alat bukti dan keterangan saksi guna membuktikan adanya pelanggaran HAM berat di Paniai tidak sulit. Ini terutama karena peristiwa itu baru terjadi tahun 2014. Hal itu berbeda dengan kasus dugaan pelanggaran HAM berat lain yang mayoritas terjadi sebelum tahun 1999.