Ombudsman: Instansi Pemerintah Masih Perlu Tingkatkan Pelayanan
Pelayanan publik yang adil dan pasti itu seharusnya dijamin negara dan menjadi hak publik. Namun, para praktifknya, Ombudsman RI masih menemukan adanya pelayanan yang bersifat diskriminatif.
JAKARTA, KOMPAS - Ombudsman RI menilai pelayanan publik yang diberikan kementerian maupun lembaga pemerintah sudah meningkat. Namun, petugas lini depan pelayanan dalam instansi tersebut masih dianggap bermasalah, sehingga menimbulkan maladministrasi.
Hal ini salah satunya tercermin dari laporan yang diterima Ombudsman RI (ORI). ORI paling banyak menerima laporan terkait penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, dan petugas di kementerian atau Lembaga tidak memberikan pelayanan.
Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai dalam laporan tahunan Ombudsman RI (ORI) di Jakarta, Selasa (3/3/2020), mengatakan, tugas ORI adalah memastikan agar pelayanan publik semakin adil dan pasti. Pelayanan publik yang adil dan pasti itu seharusnya dijamin negara dan menjadi hak publik. Karena itu, dalam UU Pelayanan Publik disebutkan pelayanan publik tak boleh diskriminatif, di mana terjadi pembedaan pelayanan terhadap warganegara.
"Tapi dalam praktiknya masih terjadi pelayanan publik yang diskriminatif," kata Amzulian.
Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih menambahkan, secara umum ORI melihat dalam pelayanan publik, pemerintah sudah mencoba memberikan akses dan pelayanan terbaik. Namun, justru petugas yang berjaga di lini depan pelayanan masih kerap bermasalah.
"Laporan yang paling banyak masuk ke kami adalah sektor agraria dan pertanahan karena pemerintah gencar membagikan sertifikasi tanah. Selain itu, juga pelayanan kepegawaian karena pemerintah sedang merekrut CPNS (calon pegawai negeri sipil), serta ada beberapa laporan di bidang pendidikan dan kepolisian," kata Alamsyah.
Secara kuantitas, jumlah laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman RI tahun 2019 menurun dibandingkan tahun 2018. Data ORI menyebutkan, pada tahun 2019, jumlah laporan mencapai 7.903, menurun dibandingkan laporan pada 2018 yaitu 8.413.
Menurut Alamsyah, penurunan laporan pengaduan masyarakat itu disebabkan berkurangnya jumlah investigasi atas prakarsa sendiri setelah disahkannya Peraturan Ombudsman RI Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tata Cara Investigasi Atas Prakarsa Sendiri. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh efektivitas kinerja penerimaan dan verifikasi laporan dalam menyaring keluhan masyarakat yang bukan kewenangan Ombudsman sebelum diregistrasi.
"Kami memiliki 34 kantor perwakilan di masing-masing provinsi. Di Pulau Jawa, laporan paling banyak berasal dari DKI Jakarta dan Jawa Timur. Adapun, di luar Jawa ada di Sumatra Barat, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua," kata Alamsyah.
Baca juga: Irwasum Tolak Rekomendasi Ombudsman
Jenis keluhan yang paling banyak dilaporkan masyarakat di antaranya bidang agraria dan pertanahan sebesar 15,83 persen; kepegawaian 13,71 persen; pendidikan 12,04 persen; kepolisian 10,08 persen; administrasi kependudukan 4,56 persen; ketenagakerjaan 3,37 persen, dan lain-lain.
Adapun instansi yang paling banyak dilaporkan adalah pemerintah daerah sebesar 41,62 persen; instansi pemerintah/kementerian 11,22 persen, dan Kepolisian sebanyak 10,25 persen. Pemda banyak dilaporkan karena mereka banyak mengurusi tentang masalah kesehatan dan pendidikan.
Rekomendasi ORI
Terkait laporan maladministrasi yang disampaikan masyarakat, Ombudsman akan mengeluarkan rekomendasi yang wajib dilaksanakan. Dalam beberapa hal, rekomendasi ombudsman bahkan dijalankan sebagai dasar hukum untuk melakukan perbaikan.
Namun, masih banyak rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman, tapi tidak ditindaklanjuti. Dari total rekomendasi ORI, 35,29 persen dilaksanakan, 35,29 persen dilaksanakan sebagian, dan sisanya tidak dilaksanakan. Rekomendasi yang paling banyak tidak ditindaklanjuti adalah di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terutama terkait kasus pemilihan rektor di universitas negeri.
Selain itu, sepanjang 2019, Ombudsman RI juga banyak menerima keluhan soal masalah air bersih, listrik, serta seleksi CPNS. Di bidang pendidikan, keluhan paling banyak masuk adalah soal penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Sementara itu, di bidang hukum dan pertahanan, instansi Kepolisian paling banyak dilaporkan yaitu 50,88 persen; peradilan 15,94 persen; politik dan intelektual 14,01 persen; pemasyarakaan 9,86 persen; kejaksaan 5,25 persen; imigrasi 3,50 persen. Kepolisian banyak dilaporkan terkait kasus yang mengalami penundaan berlarut.
Masalah yang paling banyak dilaporkan adalah mengenai penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, daftar pencarian orang (DPO), visum, dan sebagainya. Sisanya, terkait dengan kode etik dan sumber daya manusia (SDM), sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT), penindakan tegas, dan penegakan hukum bidang lalu lintas.
"Salah satu kasus yang ditangani kepolisian dan mendapatkan sorotan adalah maladminstrasi penanganan kasus hukum Novel Baswedan serta penganangan unjuk rasa dan kerusuhan tanggal 21-23 Mei 2019," terang Alamsyah.
Adapun, Novel merupakan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pada tahun 2017 disiram wajahnya oleh dua orang tak dikenal. Hal ini menyebabkan mata Novel rusak parah. Pada Desember 2019, Kepolisian menangkap dua orang anggota aktif Kepolisian yang diduga menyerang Novel.
Pelayanan peradilan
Alamsyah juga menuturkan, masyarakat belum puas terhadap pelayanan publik di bidang peradilan. Masyarakat menilai belum ada kepastian bagi para pencari keadilan. Kasus penundaan berlarut masih ditemukan sebanyak 58 persen dari laporan terkait peradilan, penyimpangan prosedur 22 persen, serta 11 persen tidak memberikan pelayanan. Masalah yang paling banyak dilaporkan di antaranya eksekusi putusan, kinerja panitera, serta pengawasan peradilan.
"Pelaksanaan putusan pengadilan masih banyak belum terlaksana dalam waktu yang cukup lama meskipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap," kata Alamsyah.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Sunarto menuturkan, keberadan Ombudsman sangat membantu MA. Ini karena salah satu fungsi yang juga termasuk misi MA adalah mewujudkan peradilan dan pelayanan bagi para pencari keadilan. Beberapa tahun lalu, rekomendasi dari ORI bahkan memakan banyak korban yaitu pemecatan empat aparatur MA secara tidak hormat.
Sunarto menambahkan, masalah yang sedang dihadapi MA saat ini adalah masih banyaknya pola pikir birokrasi yang masih ingin dilayani, bukan melayani. Padahal, hakikat dari birokrasi adalah melayani. Untuk mengubah pola pikir aparatur sipil negara ini diperlukan waktu.
"Ekspektasi publik mengenai pelayanan publik meningkat seperti deret ukur. Padahal, kemampuan ASN untuk melayani seperti deret hitung. Makanya, solusi untuk mengurangi kesenjangan ini hanyalah dengan meningkatkan pelayanan dengan sarana teknologi informasi," kata Sunarto.
Ketua KPK Firli Bahuri yang datang dalam acara laporan tahunan itu menuturkan, KPK memiliki kerja sama dengan Ombudsman RI. Selama ini, kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK juga berkaitan dengan pelayanan publik yang buruk. Pelayanan publik, tata kelola keuangan negara, dan tata niaga menjadi fokus dalam pencegahan korupsi.
Firli berharap dengan adanya kerja sama antarinstansi seperti KPK dan Ombudsman penegakan hukum dan reformasi birokrasi dapat dijalankan. Selain itu, juga komitmen terhadap pemberantasan korupsi harus diwujudkan.