Kekerasan jalanan marak dalam sepekan terakhir karena para pelaku mengira kawasan perbatasan jauh dari pengawasan Polsek Serpong, yang bermarkas di pusat kecamatan.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Keamanan wilayah perbatasan antara Serpong, Kota Tangerang Selatan, dan daerah sekitarnya belakangan cukup mengkhawatirkan.
Dua kasus penganiayaan dengan satu korban jiwa terjadi di wilayah perbatasan karena jauh dari pengawasan polisi. Dibutuhkan perhatian lebih dari kepolisian untuk mengantisipasi kekerasan terjadi lagi di wilayah perbatasan.
Kepala Polsek Serpong Komisaris Stephanus Luckyto, Selasa (3/3/2020), menyampaikan, dua kasus kekerasan di jalanan terjadi di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, dalam sepekan terakhir. Kekerasan, kata Luckyto, cenderung terjadi di wilayah perbatasan Serpong dengan daerah sekitarnya.
Kasus kekerasan jalanan pertama terjadi pada 29 Februari 2020 di perbatasan Serpong dan Pamulang, yaitu di Jalan Ciater Raya, Tangerang Selatan. Dua korban menderita luka-luka setelah diserang sekelompok orang yang mengendarai sepeda motor.
Peristiwa kedua terjadi sehari berselang di Jalan Graha Raya depan pertokoan Fortune, Tangerang Selatan, yang merupakan wilayah perbatasan antara Serpong dan Ciledug.
Korban berjumlah tiga orang. Satu orang korban, yaitu Ahmad Fauzi (24), meninggal akibat dibacok menggunakan senjata tajam. Sementara itu, dua korban lainnya mengalami luka berat.
”Kasus ini menjadi perhatian kami untuk mencegah terulangnya kejadian serupa,” kata Luckyto di Markas Polsek Serpong.
Luckyto menduga kekerasan jalanan marak dalam sepekan terakhir karena para pelaku mengira kawasan perbatasan jauh dari pengawasan Polsek Serpong, yang bermarkas di pusat kecamatan. Karena itu, mereka dengan leluasa menjalankan aksi tanpa takut akan dicegah polisi.
”Mungkin mereka (pelaku) menganalisis itu (di wilayah perbatasan) cukup ruang dan waktu melakukan kejahatan itu,” katanya.
Tangkap pelaku
Dari dua kasus penganiayaan tersebut, Polsek Serpong mengungkap kasus penganiayaan di Jalan Graha Raya depan Ruko Fortune. Sebanyak tujuh dari 10 pelaku telah ditangkap polisi di beberapa tempat berbeda. Mereka adalah AR alias Pala, AB alias Bedul, NRS, DM, RH, AKB, dan IKS. Penangkapan ke-7 pelaku dilakukan 10 jam setelah peristiwa penganiayaan terjadi.
”Tiga pelaku lainnya masih dalam pencarian,” ucap Kepala Kepolisian Resor Tangerang Selatan Ajun Komisaris Besar Iman Setiawan.
Dari para pelaku, polisi menyita sejumlah barang bukti, seperti senjata tajam, sepeda motor pelaku, dan pakaian pelaku yang terkena darah korban.
Motif penganiayaan berujung kematian itu disebabkan kesalahpahaman para pelaku yang mengira ketiga korban adalah lawan mereka. Padahal, ketiga korban merupakan warga yang kebetulan tengah melintas.
”Ini sebenarnya ada perjanjian tawuran antarkampung, tapi pelaku salah mengira bahwa orang yang lewat dianggapnya lawan yang menantang,” kata Iman.
Polisi kini masih memburu tiga tersangka, satu di antaranya bernama Gembel, yang merupakan pemimpin kelompok tersebut. Gembel adalah pelaku utama yang diduga menghabisi nyawa korban.
Setelah menganiaya ketiga korban hingga kritis, para pelaku mengambil gawai dan sepeda motor korban. Adapun untuk kasus penganiayaan pertama di Jalan Ciater Raya, polisi masih mengumpulkan keterangan dan barang bukti.
Kriminolog Universitas Indonesia Josias Simon berpendapat, maraknya kasus penganiayaan di perbatasan wilayah menjadi cermin lemahnya kerja sama dan koordinasi antarpolsek.
Simon menyarankan adanya kerja sama patroli dan pengawasan antarpolsek di wilayah perbatasan. Selama ini ia mengamati wilayah perbatasan adalah suatu wilayah abu-abu, dengan prioritas pengawasan di sana belum menjadi yang utama.
”Karena ada di perbatasan, patrolinya harus dilakukan secara bersama. Pihak pemerintah daerah dan warga juga harus berperan,” kata Simon.