Israel menggelar pemilu parlemen untuk ketiga kalinya kurang dari setahun. Di tengah rivalitas Likud dan Gerakan Biru-Putih, menarik mencermati partai-partai Arab.
Oleh
·2 menit baca
Dinamika politik Israel, termasuk pemilu, penting diamati—tak lain dan tak bukan—karena pengaruhnya bagi nasib rakyat Palestina. Pemilu parlemen Israel, Senin (2/3/2020), adalah yang ketiga kali dalam waktu kurang dari setahun terakhir. Pemilu ini digelar setelah pada dua pemilu sebelumnya tahun 2019 gagal menghasilkan pemerintahan.
Dua kubu, kelompok Kanan di bawah pimpinan Partai Likud dan kelompok Tengah-Kiri di bawah Gerakan Biru-Putih, dalam dua pemilu pada 2019 gagal meraih dukungan mayoritas atau kompromi politik guna membentuk pemerintahan bersatu.
Pemilu kali ini masih menjadi arena persaingan dua kubu itu. Kubu Kanan dimotori Ketua Partai Likud, yang juga Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, melawan kubu Tengah-Kiri atau Gerakan Biru-Putih pimpinan mantan Panglima Angkatan Bersenjata Israel Benny Gantz. Pemilu kali ini berlangsung saat Netanyahu berstatus terdakwa korupsi, salah satu amunisi kubu Gantz untuk menyerang lawan politiknya.
Bagi rakyat Palestina, platform politik dua kubu sama-sama tak menguntungkan. Seperti diulas harian ini, Senin (2/3), kubu Kanan atau Kiri-Tengah memiliki platform politik yang mirip dalam memandang isu Palestina. Kedua kubu, seperti tecermin dari sikap Netanyahu ataupun Gantz, sama-sama pro-skema perdamaian Timur Tengah rancangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang merestui aneksasi sebagai wilayah Tepi Barat lewat permukiman Yahudi.
Yang membedakan kedua kelompok itu mungkin hanya kadarnya. Jika kubu Kanan bisa dikata adalah kelompok zionis radikal, yang menolak berdirinya Negara Palestina, dan juga mendukung sistem apartheid terhadap warga Palestina di Israel, sedangkan kubu Kiri-Tengah masih bersedia memberi sedikit kompromi dan konsesi dalam isu Palestina. Namun, intinya sama: tidak menguntungkan Palestina.
Lantas, ke mana dan bagaimana menggantungkan harapan agar warga Palestina—setidaknya—bisa berharap memperoleh kondisi lebih baik? Keberadaan Joint List, aliansi empat partai Arab, bisa menjadi alternatif. Di Israel, ada sekitar 21 persen populasi Arab. Mereka—sebagian besar Muslim, Kristen, dan Druze—adalah keturunan Palestina, tetapi berstatus warga negara Israel. Suara mereka menjadi andalan Joint List.
Pada pemilu terakhir, 17 September 2019, Joint List—yang mendukung solusi dua negara dalam konflik Palestina-Israel sebagai salah satu platform politiknya—meraih 13 kursi, sama seperti pada pemilu 2015, perolehan terbesar sejak berdirinya negara Israel 1948. Sejumlah jajak pendapat di Israel memperkirakan, aliansi itu bisa meraup 14 atau 15 dari 120 kursi di parlemen (Knesset).
Di tengah kebuntuan politik di antara dua kubu besar di Israel, seperti diperkirakan banyak pihak, raihan itu menjadi modal Joint List yang mungkin bisa ikut menentukan dalam pembentukan pemerintahan di Israel.