Penanggulangan Bencana Jabodetabek Perlu Kolaborasi Semua Pihak
›
Penanggulangan Bencana...
Iklan
Penanggulangan Bencana Jabodetabek Perlu Kolaborasi Semua Pihak
Banjir di awal 2020 membuat Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bekasi yang berada di wilayah Jawa Barat, boleh dikata porak-poranda. Butuh sinergi dan payung hukum kuat untuk penanggulangan yang komprehensif.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
Untuk penanganan dan penanggulangan banjir di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, pemerintah daerah dan pusat harus bersinergi dan berkolaborasi. Oleh karena itu, perlu aturan atau payung hukum dalam penanggulangan bencana yang mengatur peran pemerintah pusat dan daerah, kementerian dan lembaga, serta semua komponen masyarakat.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dalam forum grup diskusi (FGD) penanganan banjir di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten (FGD), Selasa (2/3/2020) kemarin, di Gedung Graha BNPB, mengatakan, banjir terjadi tidak hanya karena curah hujan tinggi dan ekstrem, tetapi juga karena perubahan fungsi lahan, daerah resapan atau kawasan hijau sudah beralih fungsi dan sempit, perubahan vegetasi, perubahan ekosistem, serta perubahan iklim yang menyebabkan muka air laut terus naik, dan penurunan tanah di pantai utara Jawa, termasuk di Jakarta.
Dengan persoalan yang ada, kata Doni, semua stakeholder harus berperan. Seperti gagasan Program Citarum hari ini yang merupakan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Melalui perpres ini, ada kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah yang didukung TNI dalam penanganan dan penanggulangan bencana.
”Kita butuh sebuah aturan atau payung dalam penanggulangan bencana antara pemerintah pusat dan daerah, kementerian dan lembaga, serta semua komponen masyarakat. Perpres Nomor 15 Tahun 2018 bisa menjadi contoh untuk penanganan banjir. Harus ada satu formulasi yang terintegrasi dan juga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Semangat kolaborasi antarkepala daerah dan pemerintah pusat seharusnya bisa dalam menangani banjir. Tidak perlu lagi mencari kesalahan harus pikirkan bersama solusinya dan metode dari hulu hilir dan tengah,” kata Doni.
Selain itu, kata Doni, mereka akan melaporkan permasalahan dalam pemaparan FGD dari masing-masing pemerintah daerah ke pemerintah pusat dan akan mengusulkan revisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, kolaborasi dan sinergi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat sangat penting dalam penanganan banjir. Menurut dia, peraturan ada di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat serta provinsi lainnya dalam penanggulangan dan penanganan bencana.
Birokrasi yang panjang dalam pencegahan dan penanganan bencana, kata Ridwan, harus diputus agar respons cepat bisa segera dilakukan pemerintah daerah, mulai dari wali kota hingga gubernur. Salah satu permasalahan di daerah kadang anggarannya kurang. Oleh karena itu, perlu payung dan kolaborasi yang sejalan dalam penanganan bencana.
Upaya penanggulangan
Ridwan melanjutkan, ada dua proyek besar yang saat ini sedang berjalan, yaitu pembangunan Bendungan Sukamahi yang progresnya sudah mencapai 34,45 persen dan Bendungan Ciawi yang progres penyelesaian 45 persen. Dua bendungan yang ditargetkan selesai akhir 2020 ini merupakan upaya untuk mengurangi kerentanan bencana banjir. Pembangunan kedua waduk tersebut dinilai akan berkontribusi mengurangi debit banjir di hulu Ciliwung sekitar 30 persen.
”Selain itu, ada konfersi tata ruang seluas 12.000 hektar. Lahan itu awalnya kebun, kita hutankan dengan nilai ekonomi dan ekologis. Selain itu, Minggu depan kita akan meluncurkan program menanam 50 juta pohon di lahan kritis dengan menanam pohon dan vetiver,” kata Ridwan.
Terkait banjir, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyoroti, jarang sekali ada pembicaraan yang menyebut angka curah hujan. Ia menganggap hal ini perlu diperhatikan karena terkait dengan sistem drainase di Jakarta. Curah hujan ekstrem menjadi salah satu penyebab wilayah Jakarta tergenang.
Anies memberi contoh Bandara Halim Perdanakusuma. Bandara itu memiliki drainase bagus dan kawasan hijau yang luas, tetapi tetap terimbas banjir setinggi sekitar 30 sentimeter.
”Curah hujan yang luar biasa tidak seimbang dengan sistem drainase yang kita miliki. Curah hujan lebat 100-150 milimeter dan curah hujan ekstrem di atas 150-300 milimeter. Jadi, di Jakarta sistem drainase yang dibangun, engineering-nya mengasumsikan 100-150. Ketika hujannya 100-150, saluran bisa mengalirkan air. Kalau angka segitu dan tidak mengalirkan, berarti mampat,” kata Anies.
Karena itu, kata Anies, melihat pola curah hujan, solusinya tak cukup hanya dengan pendekatan terkait penanganan sungai dan tanggul laut, tetapi perlu juga membangun sumur resapan.
”Sumur resapan sudah menjadi keharusan. Bayangkan 92 persen dari kawasan ini tertutup, hanya 8 persen yang terbuka. Jadi, jika curah hujan, apalagi hujan ekstrem, tanpa ada pengelolaan sumur resapan, akan masalah. Kami akan siapkan dalam bentuk insentif pajak ke depan untuk warga membangun sumur resapan ini, termasuk petunjuk-petunjuk teknisnya,” katanya
Selain itu, kata Anies, ada sinergi antara Pemerintah DKI dan PUPR dalam pengerukan sungai. Ia berharap pengerukan sungai ada di dalam kewenangan Kementerian PUPR. Pengerukan mencakup sungai yang sudah dinormalisasi dan sungai yang belum dinormalisasi.
”Karena itu kita berharap ada terobosan. Apa pun status pembangunan sungai itu, apakah sudah dibangun dinding atau belum, pengerukannya harus jalan. Karena tanpa itu, sedimentasi luar biasa. Perhatikan saja di tempat banjir, tergenang dua hari saja, lumpurnya bisa beberapa cm. Karena itu, kami berharap pengerukan itu dituntaskan,” kata Anies.