Kekerasan Kembali Terjadi Pasca-kesepakatan Damai Taliban-AS
›
Kekerasan Kembali Terjadi...
Iklan
Kekerasan Kembali Terjadi Pasca-kesepakatan Damai Taliban-AS
Kekerasan kembali terjadi di Afghanistan, dua hari setelah kesepakatan damai AS-Taliban diteken. Harapan rakyat ”Negeri Para Mullah” akan perdamaian abadi tampak sulit terwujud.
Oleh
LUKI AULIA/PASCAL S BIN SAJU
·3 menit baca
KABUL, SELASA — Sebuah ledakan bom yang mematikan terjadi di Khost, Afghanistan timur, Senin (2/3/2020) waktu setempat, tepat dua hari setelah kesepakatan damai ditandatangani Amerika Serikat-Taliban di Doha, Qatar. Dalam insiden itu, tiga pria bersaudara tewas dan 11 orang lainnya terluka.
Ledakan terjadi pada hari yang sama ketika Taliban mengakhiri gencatan senjata parsial dan memerintahkan anggotanya untuk memulai lagi serangan terhadap tentara dan polisi Afghanistan. Namun, belum ada pihak atau kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas peristiwa yang menodai kesepakatan damai di Doha, Sabtu lalu, yang juga sudah disambut gembira rakyat di berbagai pelosok Afghanistan.
Insiden di Khost terjadi tidak lama setelah militer Afghanistan melaporkan, Taliban menyerang pos-pos tentaranya di Badghis, Afghanistan barat, sehingga satu tentara tewas, dan pertikaian di dua distrik di Kandahar, pusat kekuasaan Taliban.
”Pengurangan kekerasan... diakhiri sekarang dan operasi kami akan berlanjut seperti sedia kala,” kata juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid. Ia pun melanjutkan, ”Sesuai perjanjian (AS-Taliban), pejuang kami takkan mau menyerang pasukan asing. Namun, operasi kami akan terus melawan pasukan pemerintah Kabul.”
Gencatan senjata parsial antara AS, pemberontak, dan pasukan Afghanistan sebelumnya berlangsung tujuh hari menjelang penandatanganan kesepakatan damai AS-Taliban. Setelah kesepakatan diteken, seharusnya akan ada antara lain pertukaran tawanan dan perundingan intra-Afghanistan, termasuk antara Kabul dan Taliban.
Tarik diri
Kelompok Taliban menarik diri dari perundingan intra-Afghanistan setelah Presiden Afghanistan Ashraf Ghani bersikukuh tidak mau membebaskan 5.000 anggota Taliban yang ditahan di berbagai fasilitas pemerintah. Jika kesepakatan dilaksanakan, Taliban juga membebaskan 1.000 tawanan yang ada di tangannya, yang dilaksanakan 10 Maret ini.
”Kami bersedia mengikuti perundingan intra-Afghanistan, tetapi kami menunggu 5.000 anggota kami dibebaskan terlebih dahulu. Kalau mereka tidak dibebaskan, kami tidak akan ikut perundingan,” kata Mujahid, Senin, sebelum terjadi kekerasan-kekerasan terbaru.
Bagi Taliban, kesepakatan dengan AS yang ditandatangani pada Sabtu (29/2/2020) hanya komitmen mengakhiri perlawanan terhadap pasukan asing. Adapun perlawanan terhadap pemerintah dan militer Afghanistan masih akan berlanjut.
Kabul tak terlibat dalam perundingan Taliban-AS sehingga Ghani menolak tuntutan Taliban. Menurut Ghani, Presiden AS Donald Trump tidak menyebutkan adanya syarat pembebasan tahanan. ”Pemerintah tidak akan membuat komitmen untuk membebaskan 5.000 anggota Taliban sebelum perundingan apa pun dimulai,” kata Sediq Sediqqi, juru bicara Kepresidenan Afghanistan.
Kalau mereka tidak dibebaskan, kami tidak akan ikut perundingan.
AS semula melihat kesepakatan gencatan senjata parsial sebagai upaya mengakhiri peperangan yang telah berlangsung 18 tahun sejak 2001. Harapannya, penyelesaian politik permanen dengan diawali gencatan senjata akan terwujud. Namun, harapan itu sepertinya akan sulit tercapai.
Dalam pernyataan bersama AS-Kabul disebutkan, Afghanistan akan ikut berpartisipasi dalam dialog yang ”memungkinkan akan ada pertukaran tahanan dari kedua belah pihak”. Namun, di dalam kesepakatan itu tidak disebutkan jumlah tahanan yang akan dibebaskan dan kapan harus dibebaskan.
Alasan Taliban kembali mengangkat senjata melawan Kabul adalah karena dalam kesepakatan mereka dengan AS merupakan ”upaya mengurangi gejolak kekerasan” selama tujuh hari telah berakhir.
AS mengkhawatirkan gejolak kekerasan ini akan terus terjadi. Kepala Staf Gabungan Militer AS Jenderal Mark Milley mengatakan, Taliban bukanlah kelompok monolitik. Ada banyak organisasi teroris yang bergerak di Afghanistan. (REUTERS/AFP/AP)