Ancaman terhadap ketahanan Indonesia di masa kini dan di depan terkait pengusaan atas kecerdasan buatan, data raksasa atau big data, menjadi potensial. Sebaliknya, jika menguasai pertahanan akan kuat.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ancaman terhadap ketahanan Indonesia untuk masa ini dan ke depan terkait dengan pengusaan terhadap kecerdasan buatan, data raksasa atau big data, yang terhubung dalam sebuah algoritma tertentu, menjadi potensial. Namun, jika dapat menguasainya, maka ketahanan nasional ke depan akan lebih terjaga.
Hal itu terungkap dalam diskusi media tentang "Aktualisasi Menggalang Ketahanan Nasional Demi Kelangsungan Hidup Bangsa", Rabu (4/3/2020), di Jakarta. Diskusi tersebut merupakan diskusi awal sebelum acara bedah buku "Menggalang Ketahanan Nasional dengan Paradigma Pancasila" yang akan dilakukan pada Sabtu mendatang.
Guru Besar Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo (Unhalu/OHE), Kendari, Laode Masihu Kamaludin mengatakan, tantangan jaman ini berbeda dengan tantangan 75 tahun lalu ketika Indonesia merdeka. Tantangan utama saat ini terkait erat dengan penguasaan terhadap kecerdasan buatan, data raksasa atau big data, yang terhubung dalam sebuah algoritma.
"Pertempuran sekarang adalah pertempuran digital yang dikuasai algoritma. Siapa yang menguasai data, dia yang menguasai permainan," kata Laode.
"Pertempuran sekarang adalah pertempuran digital yang dikuasai algoritma. Siapa yang menguasai data, dia yang menguasai permainan"
Tantangan yang terkait erat dengan perkembangan teknologi informasi tersebut memang baru berkembang beberapa tahun terakhir yang mungkin sebelumnya sama sekali belum terpikirkan. Namun, Indonesia tampak lebih suka membeli teknologi dibandingkan menguasai teknologi. Indikasinya adalah minimnya inovasi atau temuan karya ke sebuah produk industri sebagaimana tampak di industri-industri dari negara lain.
Berhadapan dengan tantangan tersebut, Ketua Umum Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri (FKKPI), yang juga Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Pontjo Sutowo, berpandangan, meskipun ancaman yang dihadapi sekarang dan di masa depan sudah jauh berbeda dibanding ketika Indonesia merdeka, struktur yang diterapkan pemerintah maupun militer tetap sama dengan masa lalu. Pemerintah masih melihat ancaman masa lalu sebagai ancaman saat ini yang seharusnya sudah tidak lagi relevan.
"Tampaknya kita mengalami disorientasi dan tidak sadar ancaman yang kita hadapi. Orang berantem karena melindungi kepentingannya sendiri karena tidak sadar ada ancaman lainnya," kata Pontjo.
Demikian pula terkait teknologi, bangsa yang menguasai teknologi akan mengasai bangsa-bangsa yang tidak menguasai teknologi. Di bidang ini, Pontjo menilai, Indonesia sudah ketinggalan teknologi.
Rendahnya kesadaran terhadap ancaman tersebut, menurut Laode, ada pada mentalitas masyarakat yang daya inovasinya rendah. Padahal inovasi penting untuk membuat sebuah bangsa bertahan. Hal itu yang tampak dari perkembangan peradaban-peradaban dunia yang muncul dan akhirnya runtuh. Jika talenta dalam masyarakat dapat dikelola dengan baik, maka ketahanan sebuah bangsa akan terbangun.
"Kalau kesadaran bersama dapat dibangun, maka seluruh warga negara akan ikut berpartisipasi"
Senada dengan itu, menurut Pontjo, kesadaran masyarakat tentang adanya ancaman tersebut mesti dibangun. Jika kesadaran bersama tumbuh, maka partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan akan muncul. Masalahnya, saat ini partisipasi masyarakat muncul lebih banyak dalam hal-hal terkait politik, sehingga akibatnya adalah kegaduhan.
"Kalau kesadaran bersama dapat dibangun, maka seluruh warga negara akan ikut berpartisipasi," ujar Pontjo.
Terkait dengan hal itu, Pontjo menambahkan, Pancasila adalah titik temu keberagaman yang sudah ada di Indonesia sejak dulu. Maka pekerjaan rumahnya adalah menerapkannya dalam berbagai sendi kehidupan, seperti dalam kebijakan publik.