Kesadaran masyarakat, terutama orangtua dan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan primer, dalam deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi perlu ditingkatkan. Itu bertujuan menekan risiko gangguan tumbuh kembang.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gangguan pendengaran pada anak harus dideteksi sejak dini agar risiko gangguan tumbuh kembang bisa dihindari. Untuk itu, kesadaran masyarakat, terutama orangtua dan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan primer, dalam deteksi dini perlu ditumbuhkan.
Perwakilan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan-Bedah Kepala Leher Indonesia (PP Perhati KL), Fikri Mirza Putranto, mengatakan, 1 dari 1.000 kelahiran diketahui mengalami gangguan pendengaran sejak baru lahir. Artinya, ada 5.000 bayi lahir setiap tahun yang berisiko mengalami gangguan tersebut.
”Risiko terjadinya gangguan pendengaran pada bayi baru lahir ini bisa meningkat sampai 10 kali lipat jika ada faktor risiko, seperti bayi lahir dengan berat badan rendah serta adanya infeksi pada ibu hamil. Karena itu, upaya preventif dengan cakupan imunisasi saat ibu hamil sangat diperlukan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (3/3/2010), dalam temu media terkait Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran yang diperingati setiap tanggal 3 Maret.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, ada 360 juta (5,3 persen) orang di dunia mengalami gangguan pendengaran, 328 juta (91 persen) di antaranya orang dewasa (183 juta laki-laki, 145 juta perempuan) dan 32 juta (9 persen) adalah anak-anak. HKTP diperingati untuk meningkatkan kesadaran warga terhadap kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendengaran.
Imunisasi
Fikri memaparkan, imunisasi yang harus diperoleh saat masa kehamilan untuk mencegah gangguan pendengaran pada bayi baru lahir antara lain vaksin rubella, HPV, Torch, dan herpes. Dengan deteksi dini, tata laksana penanganan gangguan pendengara bayi baru lahir atau yang disebut tuli kongenital menjadi lebih mudah.
Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 menunjukkan, prevalensi gangguan pendengaran pada anak di bawah usia lima tahun sebesar 0,1 persen atau sekitar 20.000 kasus. Gangguan pendengaran ini bisa diatasi dengan cara operasi. Namun, sebagian pasien juga membutuhkan bantuan alat bantu untuk bisa mengembalikan fungsi pendengarannya.
”Dalam program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), biaya untuk operasi gangguan pendengaran sudah dijamin. Namun pengadaan alat bantu dengar tidak ditanggung. Padahal, harga alat bantu dengar ini bisa 10 kali lipat lebih mahal dari biaya operasi itu sendiri,” ujarnya.
Menurut dia, anak dengan gangguan pendengaran yang tidak mendapatkan akses alat bantu membutuhkan bantuan khusus untuk menjalani aktivitasnya, termasuk dalam mengakses pendidikan. Namun, saat ini tidak semua anak dengan gangguan pendengaran bisa mengakses pendidikan di sekolah luar biasa.
Dalam program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), biaya untuk operasi gangguan pendengaran sudah dijamin. Namun pengadaan alat bantu dengar tidak ditanggung.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, kesadaran masyarakat dalam upaya deteksi dini gangguan pendengaran perlu ditingkatkan. Penyelesaian masalah imunisasi yang cakupannya masih rendah juga perlu diatasi secara komprehensif.
”Tenaga kesehatan juga punya peran strategis, terutama untuk menjangkau seluruh individu dalam memberikan edukasi dan sosialisasi terkait deteksi gangguan pendengaran. Ini bisa dilakukan melalui penguatan kesehatan berbasis masyarakat,” ucapnya.