Mewaspadai Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi
Merebaknya virus korona Covid-19 perlu diwaspadai menahan prospek pertumbuhan ekonomi. Meski diiringi kualitas yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum beranjak dari kisaran 5 persen.
Meski diiringi kualitas yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stagnan di angka 5 persen. Wabah virus korona Covid-19 perlu diwaspadai menahan pertumbuhan ekonomi nasional.
Beberapa tahun terakhir, ekonomi dunia mengalami perlambatan. Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat pada 2014, pertumbuhan PDB dunia mencapai 3,4 persen. Tahun lalu menurun menjadi 3 persen. Tren penurunan tersebut dialami negara-negara maju ataupun negara berkembang.
Kondisi ini dipandang Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva membuat perdagangan dunia hampir terhenti (standstill). Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia karena adanya beberapa sumber ketidakpastian yang memicu perlambatan. Utamanya adalah perang dagang AS-China.
Selain itu, ada beberapa faktor, seperti ketegangan geopolitik, pelemahan aktivitas manufaktur, serta fluktuasi harga komoditas. Ketidakpastian dunia membuat respons kebijakan global juga tidak menentu dan membuat ekonomi dunia dalam tren melambat. Atas kondisi ini, IMF mengingatkan dunia agar mewaspadai dampak pelambatan ekonomi global sembari mengakselerasi langkah-langkah mengatasi pelemahan.
Belum lepas dari dampak perang dagang, merebaknya wabah virus korona Covid-19 sejak 31 Desember 2019 menjadi risiko berlanjutnya perlambatan laju ekonomi.
Pada Januari 2020, IMF memangkas proyeksi ekonomi global dari proyeksi World Economic Outlook Oktober 2019. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 dipangkas 0,1 persen dari 3,4 persen menjadi 3,3 persen.
Adapun untuk 2021, pertumbuhan dipangkas menjadi 3,4 persen dari 3,6 persen. Pertumbuhan volume perdagangan dunia (barang dan jasa) juga diprediksi terkoreksi menjadi 2,9 persen pada 2020.
Prediksi melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dunia ini harus diantisipasi. Posisi ini berpotensi besar melemahkan investasi, meningkatkan pengangguran, dan menghambat produktivitas.
Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 sebesar 5,02 persen. Tidak beranjak pada pusaran angka 5 dan masih jauh dari target yang tertuang dalam Evaluasi Paruh Waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019.
Dalam dokumen tersebut, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen pada 2015, tumbuh 6,6 persen pada 2016, menjadi 7,1 persen pada 2017, selanjutnya 7,4 persen pada 2018, dan menargetkan 8 persen pada 2019.
Sebagaimana situasi global, tahun ini perlambatan pertumbuhan ekonomi masih mengancam Indonesia. Salah satu faktor yang potensial memberi dampak tekanan bersumber dari perlambatan ekonomi China karena wabah Covid-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi wabah virus korona dapat berdampak pula pada ekonomi Indonesia karena ukuran ekonomi China sekarang sudah di atas 13 triliun dollar AS dengan kontribusi terhadap ekonomi dunia sebesar 17 persen.
Jika China mengalami penurunan 1 persen dari pertumbuhannya, Indonesia akan juga terdampak sekitar 0,3 persen hingga 0,6 persen dari target pertumbuhan yang dipatok di kisaran 5 persen. Sementara itu, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 sebesar 4,9 persen.
Di luar pertumbuhan ekonomi, pelemahan perdagangan ekspor-impor, investasi, dan pariwisata yang berasal dari China turut memengaruhi permintaan ekspor dan produksi industri dalam negeri. Selain itu, melambatnya pertumbuhan juga dikhawatirkan akan melemahkan daya beli masyarakat.
Padahal, selama ini konsumsi rumah tangga dan investasi memberi kontribusi tinggi bagi pertumbuhan ekonomi setiap tahun. Pada 2019, sumbangannya sebesar 2,73 persen. Disusul pembentukan modal tetap bruto atau investasi dengan sumbangan 1,47 persen.
Kualitas ekonomi
Di balik stagnannya pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir, kualitas ekonomi yang tecermin dari tingkat kemiskinan, inflasi, dan rasio gini Indonesia menunjukkan kecenderungan membaik.
Data BPS menunjukkan, tingkat kemiskinan mengalami tren penurunan sejak 2015 menjadi satu digit sebesar 9,22 persen pada September 2019. Seirama dengan penurunan gini rasio menjadi sebesar 0,380.
Sementara itu, inflasi terpantau rendah sebesar 2,68 persen pada Januari 2020. Dari data tersebut mengindikasikan setidaknya terjadi perbaikan pemerataan pengeluaran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Defisit APBN hingga Desember 2019 sekitar 2,2 persen dari PDB. Angka tersebut masih terkendali di bawah 3 persen dari PDB sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Demikian juga dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB (debt ratio) sebesar 29,8 persen masih di bawah batas yang ditentukan UU Keuangan Negara, yakni 60 persen terhadap PDB.
Rasio utang ini lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Artinya, pemerintah telah berupaya mengelola pembiayaan agar di bawah batas psikologis 30 persen PDB untuk Desember 2019. Tak salah jika lembaga pemeringkat dunia meningkatkan peringkat kualitas kredit Indonesia (sovereign credit rating).
Lembaga Standard & Poor’s (S&P) memberikan nilai BBB pada kualitas kredit Indonesia. Status peringkat layak investasi ini menunjukkan bahwa utang pemerintah memiliki risiko gagal bayar yang relatif rendah (investment grade) sehingga memiliki tingkat kepercayaan dalam jangka panjang.
Baca juga: Jurus China Meredam Dampak Ekonomi Korona
Peringkat tersebut diberikan kepada negara yang memiliki fundamental ekonomi kuat, manajemen anggaran, dan kebijakan moneter yang hati-hati. Hal ini ditandai dengan rendahnya defisit anggaran, rasio utang, dan terkendalinya inflasi.
Kemudian, neraca pembayaran Indonesia pada triwulan IV-2019 mencatat surplus sebesar 4,3 miliar dollar AS. Capaian ini membaik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Surplus ini ditopang transaksi modal dan finansial yang meningkat dan defisit transaksi berjalan yang terkendali.
Adanya surplus pada neraca pembayaran dapat mencerminkan optimisme prospek perekonomian domestik dan menopang ketahanan eksternal Indonesia. Perkembangan ini membuat posisi cadangan devisa bertambah dari 129,2 miliar dollar AS pada Desember 2019 menjadi 131,7 miliar dollar AS pada Januari 2020. Posisi cadangan devisa ini setara dengan pembiayaan 7,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Menata persoalan
Merebaknya virus korona mengikis optimisme pelaku ekonomi di jalur pariwisata, perdagangan, dan investasi. Dampaknya terlihat dalam beberapa bulan terakhir, yakni menurunnya angka kunjungan wisatawan mancanegara, volume perdagangan, dan pergerakan aliran modal.
Neraca perdagangan Indonesia pada kuartal pertama tahun ini bisa kembali melebar. Sebelumnya, neraca perdagangan mengalami perbaikan defisit pada 2019. Defisit sebesar 8.698,7 juta dollar AS pada 2018 menjadi 3.230,4 juta dollar AS pada 2019. Posisi neraca pembayaran yang surplus juga bisa kembali mengalami defisit.
Data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menunjukkan kurs rupiah pun ikut melemah terhadap dollar AS sejak pertengahan Februari 2020. Sebelumnya, kurs rupiah sempat menguat menyentuh 13.612 per dollar AS pada 27 Januari 2020. Namun, sedikit melemah menjadi 14.413 per dollar AS pada 2 Maret 2020.
Selama ini konsumsi rumah tangga dan investasi memberi kontribusi tinggi bagi pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya.
Posisi kualitas ekonomi yang membaik menjadi modal bagi pemerintah dalam menghadapi fenomena melambatnya ekonomi dunia. Namun, pemerintah juga harus menatap perubahan mulai dari reformasi birokrasi, penataan iklim usaha, penanganan bencana alam, dan mitigasi dampak wabah virus korona Covid-19.
Keberadaan kendala struktural, seperti masalah pengadaan lahan, perizinan, dan pendanaan, dapat menahan kepercayaan bisnis dan investasi. Langkah-langkah mengatasi kendala struktural dan meningkatkan partisipasi angkatan kerja penting untuk memperkuat prospek jangka menengah dan membangun ketahanan.
Perlambatan pertumbuhan akan berbalik arah apabila kebijakan pemerintah dalam jangka pendek difokuskan untuk menstimulasi konsumsi dan kebijakan dalam jangka panjang difokuskan untuk mendorong investasi. Dua indikator inilah yang dapat mengerem perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Tak ada satu negara pun yang kebal dari goncangan global. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dari jalur keuangan dan jalur perdagangan akan berisiko pada ekonomi domestik.
Keduanya berhubungan karena tingkat keterbukaan, kompleksitas sektor keuangan, dan rantai pasokan global (global supply chains). Karena itu, solusi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi di kala merebaknya wabah korona Covid-19 tetap dinanti masyarakat. Diimbangi dengan perencanaan yang matang, fenomena melambatnya pertumbuhan ekonomi dapat diminimalkan di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?