Penyebaran penyakit Covid-19 cepat mengglobal, mencapai 75 negara dalam dua bulan, sehingga memicu kepanikan, melebihi bahaya virusnya. Di Indonesia, penanganan penyakit itu terkendala stigmatisasi terhadap penderita.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Virus korona baru dari Wuhan, China, tidak memiliki paspor dan tak ada yang kebal terhadapnya. Penyebarannya cepat mengglobal, mencapai 75 negara dalam dua bulan, sehingga memicu kepanikan, melebihi bahaya virusnya sendiri yang menurut laporan WHO-China Joint Mission, Jumat (28/2/2020), tingkat kematiannya 3,8 persen di China.
Namun, bahaya korona di Indonesia terutama adalah bias informasi dan stigmatisasi terhadap pasien terinfeksi Covid-19, yang menandai ketidaksiapan menghadapi krisis dan gagal membangun komunikasi risiko yang tepercaya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan pentingnya komunikasi risiko, yang meliputi pertukaran informasi secara transparan antara otoritas, ahli, dan para pihak lain, dengan publik. Tujuan komunikasi risiko agar publik bisa memproteksi diri dan keluarga sehingga bisa meminimalkan dampak serta kekacauaan saat terjadinya wabah.
Masalahnya, narasi awal yang dibangun sejumlah pejabat pemerintah justru melonggarkan kewaspadaan, bahkan terkesan menolak risiko. Sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat berulang kali mengatakan agar warga tenang dan karena tingkat kematian korona rendah, kita aman karena doa, kebal, dan berbagai narasi lain yang tidak didasarkan fakta ilmiah.
Narasi itu barangkali dibangun untuk menenangkan masyarakat dan meminimalkan dampak ekonomi. Namun, menyatakan ”jangan panik”, diulang berkali-kali pun, tidak akan bisa menenteramkan publik, kecuali otoritas bisa meyakinkan bahwa segalanya telah disiapkan dengan baik.
Keraguan merebak ketika negara lain dengan penerbangan langsung ke Wuhan telah melaporkan kasus infeksi, kecuali Indonesia. Beberapa kali ada laporan mengenai warga negara asing yang menderita Covid-19 sepulang dari Indonesia. Bahkan, ada kasus terduga korona yang meninggal di Semarang dan satu di Batam. Pemerintah menegaskan, dua kasus kematian itu bukan karena virus korona baru, melainkan pernyataan itu gagal meredam keraguan publik nasional ataupun internasional.
Hal itu terbukti dengan Arab Saudi memasukkan calon jemaah dari Indonesia dalam daftar negara yang tidak bisa memasuki negara mereka untuk umrah. Beberapa rumah sakit di Australia dan New Zeland pun telah memasukkan Indonesia dalam daftar merah episenter korona yang harus diperiksa khusus.
Memperbanyak pemeriksaan
Bisa jadi, hingga saat itu kita masih terbebas korona. Namun, tiadanya kasus infeksi di Indonesia tidak bisa dijawab dengan meyakinkan. Padahal, seharusnya hal itu bisa dilakukan dengan memperbanyak pemeriksaan dan menggandeng laboratorium lain, seperi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset dan Teknologi yang memiliki kapasitas sebagai pembanding dan beberapa laboratorium lainnya.
Hingga Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus Covid-19 di Indonesia, Senin (2/3/2020), kita baru memeriksa 339 orang. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan Singapura yang memeriksa 1.300 orang per 28 Februari lalu dan menemukan 97 kasus positif atau Inggris yang memeriksa 7.131 orang per 26 Februari lalu dan menemukan 13 kasus positif. Bahkan, Korea Selatan yang mengembangkan tes cepat dengan kemampuan 10.000 orang per hari.
Ketika wabah membesar, pemerintah justru menggalakkan promosi wisata hingga akan mengerahkan influencer guna menarik wisatawan asing yang batal mengunjungi China, Korea, dan Jepang. Padahal, pada saat yang sama, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus memperingatkan, ”Negara yang berasumsi itu tidak akan mendapatkan kasus (Covid-19), bisa jadi kesalahan fatal, secara harfiah. Virus ini tidak menghormati perbatasan.”
Negara yang berasumsi itu tidak akan mendapatkan kasus (Covid-19), bisa jadi kesalahan fatal, secara harfiah. Virus ini tidak menghormati perbatasan.
Begitu akhirnya dua kasus positif diumumkan, kekacauan pun terjadi. Wawancara Kompas.id terhadap pasien menunjukkan, yang bersangkutan tidak diberi informasi positif korona sampai kemudian diumumkan Presiden.
Saat itu, Presiden hanya menyebut dua warga Indonesia. Namun, tak berselang lama, data pribadi, termasuk alamat pasien, telah beredar di media sosial.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto kemudian mengungkap, dua orang itu dari Depok. Wali Kota Depok Muhammad Idris mengumumkan nama kompleks dan rincian lain. Sejumlah media pun bergegas mengunggah foto rumah pasien yang sudah diberi garis polisi.
Informasi kemudian bertambah liar di media sosial, termasuk di antaranya menstigma pasien yang disebut tidak menginformasikan sakitnya. Kebetulan pasien memiliki kawan dan akses sehingga bisa memberikan klarifikasi. Lalu, bagaimana kalau itu dialami warga biasa yang bahkan tidak bisa membela diri dan mengklarifikasi?
Sebagaimana disampaikan Tedros Adhanom Ghebreyesus, ”Musuh terbesar kita saat ini bukanlah virus ini sendiri. Namun, ketakutan, rumor, dan stigma. Dan kekuatan terbesar kita adalah fakta, penjelasan (ilmiah), dan solidaritas.” Di Indonesia, stigmatisasi itu justru dimulai dari aparat pemerintah sendiri dan media kemudian mengamplifikasinya.