Stimulus Pacu Perdagangan
Stimulus perdagangan akan memacu ekspor dan memperlancar impor. Namun, stimulus itu dinilai belum mewadahi substitusi bahan baku impor.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian stimulus bagi para eksportir dan importir yang terimbas wabah virus korona baru atau Covid-19. Tujuannya adalah memacu ekspor dan memperlancar impor bahan baku/penolong dan barang modal.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, di Jakarta, Selasa (3/3/2020), mengatakan, kebijakan itu dikeluarkan dalam rangka mengantisipasi dampak Covid-19 yang mulai memengaruhi rantai dagang.
”Kalau yang lalu kita fokus pada lalu lintas orang untuk mendorong wisata, sekarang lebih fokus ke masalah lalu lintas barang. Sudah saatnya kita perhatikan siklus logistik barang serta kelancaran pasokan bahan baku industri untuk mendorong ekspor,” tuturnya.
Selama ini, Indonesia bergantung impor bahan baku/penolong industri dari China sehingga kelesuan manufaktur di ”Negeri Tirai Bambu” itu ikut memengaruhi kinerja ekspor dan impor Indonesia. Kementerian Perindustrian mencatat, sekitar 30 persen impor bahan baku industri manufaktur Indonesia berasal dari China.
Ancaman terhadap rantai dagang global itu semakin terasa setelah Biro Statistik Nasional China merilis Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur pada pekan lalu. Data yang dikutip Kompas, Minggu (1/3/2020), menunjukkan, PMI Manufaktur China anjlok dari level 50 pada Januari 2020 menjadi 35,7 pada Februari 2020. Posisi ini terlemah sejak krisis keuangan global 2008. Saat itu, mengutip laman Bloomberg pada November 2008, PMI Manufaktur China pada posisi 38,8.
Susiwijono mengatakan, untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan stimulus kedua untuk melancarkan kinerja ekspor dan impor. Demi mempermudah masuknya impor dan mencari sumber bahan baku alternatif di luar China, pemerintah akan mengurangi larangan dan pembatasan tata niaga impor, khususnya impor produk bahan baku.
”Agar impor bahan baku ini tidak terkendala dalam prosesnya, larangan pembatasan impor kita kurangi, sebisa mungkin kita hapuskan,” katanya.
Agar impor bahan baku ini tidak terkendala dalam prosesnya, larangan pembatasan impor kita kurangi, sebisa mungkin kita hapuskan.
Seiring dengan itu, pemerintah juga mempercepat proses impor. Ada 500 importir bereputasi baik (reputable importer) yang dikelompokkan pemerintah. Importir dalam daftar reputasi baik itu akan mendapat kelonggaran berupa pengurangan perlakuan dan pemeriksaan.
Pemerintah juga melonggarkan larangan dan pembatasan tata niaga ekspor, antara lain penyederhanaan aturan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) untuk produk-produk kayu, standar sertifikasi kesehatan pangan (health certificate) bagi produk Indonesia yang diekspor ke luar negeri, dan surat keterangan asal (SKA) atau sertifikasi asal barang yang menegaskan komoditas ekspor memang dihasilkan di Indonesia.
”Intinya seluruh tata niaga ekspor diminta disederhanakan dan kalau perlu dihapuskan. Terkait ini, kami (Kemenko Bidang Perekonomian) dengan Kementerian Perdagangan dan kementerian/lembaga lain sedang membahas formulasinya,” kata Susiwijono.
Baca juga: Dampak Ekonomi Korona Berpotensi Membesar
Stimulus terakhir diberikan untuk memperlancar dan mendorong efisiensi logistik barang. Caranya dengan mendorong penerapan sistem Indonesia National Single Window (INSW). INSW rencananya akan diintegrasikan dengan sistem pelabuhan-pelabuhan di Indonesia (Ina Port).
INSW merupakan pusat informasi yang mengelola penanganan dokumen kepabeanan, perizinan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan ekspor, impor, dan logistik, secara elektronik. Sistem ini diyakini bisa memangkas biaya logistik Indonesia yang selama ini dikenal mahal.
Berdasarkan data Indeks Kinerja Logistik yang dirilis Bank Dunia 2018, dampak dari biaya logistik nasional Indonesia itu sudah mencapai 24 persen dari produk domestik bruto (PDB). Mahalnya biaya logistik Indonesia itu menyebabkan produk-produk Indonesia ikut menjadi mahal dan sulit bersaing di arena perdagangan internasional.
Adapun untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, Kementerian Perdagangan telah menerbitkan izin impor gula mentah sebanyak 438.803 ton yang merupakan bahan baku gula rafinasi. Ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasokan dalam negeri hingga Mei 2020.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga menerbitkan izin impor sebanyak 25.829 ton bawang putih. Selama ini, bawang putih banyak diimpor dari China. ”Ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting dijamin tetap terjaga dengan harga yang stabil,” kata Agus.
Kekhawatiran
Namun, solusi yang ditawarkan pemerintah dikhawatirkan hanya bersifat jangka pendek dan tidak berorientasi untuk memperbaiki industri dalam negeri. Pada akhirnya, stimulus itu justru akan memperlebar jurang defisit neraca perdagangan.
Baca juga: Kejutan Awal Tahun Perdagangan
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah seharusnya juga memikirkan cara menyubstitusi bahan baku dari industri dalam negeri. Ada beberapa komoditas yang sebenarnya mampu diproduksi di dalam negeri tanpa perlu mengimpor dari negara lain, seperti kakao (biji cokelat) untuk bahan baku cokelat.
Ada yang persoalannya terletak di hulu sehingga sebetulnya intervensi bisa dilakukan di hulu, untuk mendorong kemandirian dalam negeri memproduksi bahan baku industri.
”Jadi, tidak melulu responsnya harus impor, harus ditakar dengan baik, tidak bisa dipukul rata. Kalau pendekatan pemerintah begini terus, kapan kita selesaikan persoalan industri domestik kita?” katanya.
Pemerintah seharusnya juga memikirkan cara menyubstitusi bahan baku dari industri dalam negeri.
Menurut Faisal, ada beberapa komoditas yang tidak mampu dicukupi oleh industri dalam negeri sehingga memerlukan impor dari negara lain, misalnya kapas untuk industri tekstil atau gandum.
Baca juga: Ketahanan Ekonomi Diuji
Namun, jika keran impor dibuka seluasnya tanpa pembatasan yang ketat, itu justru akan berdampak buruk pada defisit neraca perdagangan. Kebijakan serupa untuk mempermudah impor bahan baku pernah diterapkan pemerintah saat merespons defisit perdagangan yang anjlok pada 2018.
”Namun, hasilnya, banyak sekali pembonceng atau free rider yang memanfaatkan kelonggaran itu dan kita kemasukan banyak sekali impor bahan baku infrastruktur, seperti besi dan baja yang luar biasa, sehingga impor kita melonjak dan neraca perdagangan defisit sampai 8,7 miliar dollar AS,” kata Faisal.