Trump Berdiskusi dengan Petinggi Taliban soal Masa Depan Afghanistan
›
Trump Berdiskusi dengan...
Iklan
Trump Berdiskusi dengan Petinggi Taliban soal Masa Depan Afghanistan
Presiden AS Donald Trump mendiskusikan tentang masa depan Afghanistan dengan Abdul Ghani Baradar, salah satu pendiri Taliban. Masa depan dan perdamaian Afghanistan masih belum jelas.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Tiga hari setelah penandatanganan kesepakatan damai antara Amerika Serikat dan kelompok Taliban, Presiden AS Donald Trump berbicara cukup lama dengan pemimpin kelompok tersebut, Mullah Abdul Ghani Baradar, Selasa (3/3/2020) waktu setempat atau Rabu (4/3/2020) WIB. Trump menjadi Presiden AS yang pertama yang berhubungan langsung dengan pemimpin Taliban sejak serangan 11 September 2001.
”Diskusi yang terjadi antara kami dan pimpinan Taliban hari ini sangatlah menyenangkan. Mereka berharap kondisi ini (konflik) segera berakhir dan kami juga berniat untuk mengakhiri (keberadaan AS) di Afghanistan. Saya pikir kami memiliki kepentingan yang sama,” kata Trump.
Percakapan via sambungan telepon tersebut berlangsung lebih kurang 35 menit dan merupakan bagian dari rangkaian upaya Trump untuk menarik seluruh pasukan AS dari ”Negeri Para Mullah” tersebut. Penarikan sekitar 13.000 personel pasukan AS adalah bagian dari upaya untuk melanjutkan perundingan antarpihak di dalam Afghanistan itu sendiri.
Perbincangan antara Trump dan Mullah Abdul Ghani Baradar, yang merupakan salah satu pendiri Taliban, diketahui dari serangkaian cuitan juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid, di media sosial. Diketahui juga, beberapa anggota tim negosiator Taliban dan delegasi AS dalam negosiasi itu, Zalmay Khalilzad, hadir ketika perbincangan tersebut terjadi.
Ingin akhiri kekerasan
Trump mengatakan, hubungan kedua pihak sangat baik antara dirinya dan para pemimpin Taliban. ”Kami berbicara cukup lama dan mereka menyatakan keinginannya untuk benar-benar mengakhiri kekerasan,” kata Trump.
Trump tidak hadir dalam penandatanganan kesepakatan di Doha, Qatar, Sabtu (29/2/2020). Pemerintah AS diwakili Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menyaksikan secara langsung penandatanganan kesepakatan damai tersebut.
Substansi kesepakatan kedua pihak di antaranya penarikan 13.000 prajurit militer AS dari Afghanistan paling lama 14 bulan setelah Taliban memenuhi kewajibannya untuk tidak memberi dukungan terhadap kelompok-kelompok teroris yang ingin menyerang AS dan sekutunya.
Kewajiban lain Taliban pada AS lainnya adalah mencegah Afghanistan menjadi surga bagi kelompok-kelompok teroris, termasuk di dalamnya Al Qaeda dan kelompok lain yang terkait NIIS.
Lebih lanjut, Trump mengatakan, dirinya masih belum melihat apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Afghanistan dan rakyatnya jika mereka melakukan perundingan sendiri dengan Taliban sebagai upaya menuju perdamaian yang seesungguhnya.
Seluruh rakyat Afghanistan harus berupaya agar konflik itu berakhir. Kami berada di sana selama 20 tahun dan beberapa Presiden AS sebelumnya telah mengupayakan perdamaian. Mereka tidak pernah berhasil.
”Seluruh rakyat Afghanistan harus berupaya agar konflik itu berakhir. Kami berada di sana selama 20 tahun dan beberapa presiden AS sebelumnya telah mengupayakan perdamaian. Mereka tidak pernah berhasil,” kata Trump.
Dalam perbincangan itu, Baradar tidak secara tegas menyatakan akan mematuhi isi kesepakatan tersebut. Sebaliknya, Baradar menyatakan Taliban akan mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian apabila Trump dan AS menghormati kesepakatan tersebut. Setelah itu, baru kemudian AS dan Taliban akan memiliki hubungan bilateral yang positif.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan Gedung Putih, Baradar juga menyatakan kepada Trump agar Pemerintah AS segera menindaklanjuti isi kesepakatan tersebut.
”Jangan sampai siapa pun melakukan tindakan yang melanggar isi perjanjian dan membuat Anda terlibat lebih jauh pada sebuah konflik yang berkepanjangan,” kata Baradar dalam pernyataan yang dikeluarkan Gedung Putih tersebut.
Selang dua hari setelah kesepakatan damai itu, tantangan terhadap implementasi seluruh isi perjanjian sebenarnya sudah terjadi. Presiden Afghanistan terpilih, Ashraf Gani, menolak untuk melepaskan 5.000 anggota Taliban yang kini berada di penjara milik pemerintah. Sebagai imbal balik atas pembebasan tersebut, Taliban akan membebaskan 1.000 tawanan yang ada di tangannya.
Gani menilai pemerintahannya tidak ikut serta merumuskan isi kesepakatan antara AS dan Taliban. Dia juga mengatakan, Trump tidak menyebutkan adanya kesepakatan tentang pembebasan tahanan sebagai bagian dari kesepakatan AS-Taliban.
Di sisi Taliban, mereka menganggap bahwa kesepakatan damai hanya terjadi antara AS dan Taliban. Adapun perlawanan terhadap pemerintah dan militer Afghanistan akan terus berlanjut.
Perbedaan pandangan antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan telah membuat Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley merasa pesimistis kekerasan akan berakhir di negara itu. Apalagi, dua hari setelah penandatanganan kesepakatan damai, sebuah bom meledak di Khost, yang menewaskan 3 orang dan melukai 11 orang lainnya.
”Saya kira (kekerasan) tidak akan berakhir di Afghanistan. Kalau Anda berpikir kekerasan akan berakhir dengan segera, mungkin hal itu tidak akan terjadi,” kata Milley. (AP/RREUTERS)