Persidangan lanjutan di MK terhadap enam permohonan pengujian formal dan material Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, berfokus pada tiga ahli.
Oleh
Ingki Rinaldi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Persidangan lanjutan di Mahkamah Konstitusi terhadap enam permohonan pengujian formal dan material Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (4/3/2020) di Jakarta, berfokus pada keterangan tiga ahli. Salah satu yang dibahas ialah tentang prosedur sebagai "jantung" hukum.
Pendapat itu diutarakan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti yang menjadi ahli untuk uji formal perkara nomor 79/PUU-XVII/2019. Susi dalam pendapatnya mengutarakan bahwa keadilan dan transparansi di dalam prosedur inilah yang menghindari adanya tujuan dengan menghalalkan segala cara. Secara tegas Susi mengatakan bahwa prosedur hukum yang cacat maka akan batal demi hukum.
Pada bagian lain, Susi juga menyebutkan bahwa MK tidak bisa hanya mengedepankan norma undang-undang atau konstitusi sebagai landasan dalam melakukan uji formal. Akan tetapi juga harus bisa dilakukan berdasarkan asas-asas menyusul perkara konstitusional yang dikategorikan sebagai hard cases.
"MK tidak bisa hanya mengedepankan norma undang-undang atau konstitusi sebagai landasan dalam melakukan uji formal. Akan tetapi juga harus bisa dilakukan berdasarkan asas-asas menyusul perkara konstitusional yang dikategorikan sebagai hard cases"
Hal lain yang juga disoroti Susi ialah tentang praktik kuorum di DPR dalam pembentukan undang-undang yang semata-mata didasarkan pada tanda tangan dan bukan pada pertimbangan kehadiran fisik. Menurut dia, hal itu tidak bisa dibenarkan karena pembentukan undang-undang tidak bisa menegasikan rakyat dalam konteks yang mewakili dan yang diwakili.
Menanggapi hal itu hakim konstitusi Saldi Isra bertanya kepada Susi mengenai prosedur dan tahapan kerja dalam UUD tentang pembentukan undang-undang yang hanya memberikan rambu secara terbatas. Ia menyebutkan problemnya adalah undang-undang pembentukan undang-undang sebagai delegasi prosedur dari UUD tidak pernah ada. Alih-alih yang muncul adalah undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan dua hal berbeda.
Saldi bertanya ihwal bagaimana meletakkan prosedur sebagai jantung dalam pembentukan undang-undang. Terutama dalam konteks keterbatasan undang-undang organik pembentukan undang-undang.
Saldi juga menanyakan ihwal pendapat bahwa seharusnya MK menggunakan asas-asas khusus dan umum sebagai batu uji. Padahal, imbuh Saldi, asas-asas yang merupakan meta norma itu sudah dinormakan.
Menjawab pertanyaan itu, Susi mengatakan usulannya menggunakan asas-asas sebagai batu uji adalah karena asas sebagai nilai-nilai batas pembenaran atau batas kaidah hukum. Susi menyebutkan bahwa menurutnya UUD tidak hanya bisa dibaca dibaca hanya sebagai norma, namun juga sebagai sistem.
Ia menjelaskan, Pembukaan UUD merupakan bagian yang tidak memuat norma karena berisikan asas-asas umum, universal, dan asas khas Indonesia. Sementara di bagian batang tubuh, UUD berisikan norma-norma.
Selain itu, Susi juga menggarisbawahi ihwal fungsi naskah akademik dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Menurutnya, naskah akademik lama dengan kerangka waktu yang jauh berjarak dari saat UU tersebut disahkan, tidak lagi bisa dipergunakan. Hal ini menyusul sejumlah asumsi dan kebutuhan yang berubah.
Susi juga menjelaskan tentang materi UU yang tidak ada di dalam naskah akademik. Hal ini berhubungan dengan tidak akan bisa dipertanggungjawabkannya secara ilmiah produk hukum tersebut.
Pernyataan itu disebutkan Susi untuk menjawab pertanyaan salah seorang tim pemohon perkara nomor 79/PUU-XVII/2019, Violla Reininda. Violla di antaranya bertanya, apakah benar dan konstitusional jika naskah akademik yang ada berdasarkan program legislasi nasional 2011-2016, sementara UU Nomor 19 Tahun 2019 disahkan pada 2019.
Selain itu, Violla juga menanyakan sejumlah hal yang tidak dielaborasi dalam naskah akademik namun justru menjadi substansi dalam UU Nomor 19/2019. Sebagian di antaranya terkait dengan keberadaan Dewan Pengawas KPK, status pegawai KPK, dan sebagainya. Hal ini membuat proses pembentukan Undang-Undang Nomor 19/2019 berpotensi cacat serta berkemungkinan batal demi hukum.
"Judicial Activism"
Pada bagian pengujung, ketua majelis hakim konstitusi Anwar Usman bertanya kepada Susi bagaimana jika uji formil atas UU Nomor 19/2019 tersebut lantas dikabulkan. Apakah dengan demikian konsekuensinya keberadaan KPK akan bubar ataukah tidak. Hal ini terutama jika merujuk pernyataan Susi ihwal prosedur yang cacat maka lantas akan batal demi hukum.
Susi merespons bahwa cacat prosedur maka berarti batal demi hukum. Oleh karena itu meskipun batal demi hukum, bagaimana selanjutnya keberadaan KPK akan diatur dalam masa transisi.
“MK di dalam putusannya melaksanakan judicial activism. Oleh karena itu, mengapa tidak, di dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat luar biasa, ini kemudian MK juga akan melakukan judicial activism,” sebut Susi.
Dalam persidangan tersebut, didengarkan pula keterangan dua ahli lainnya. Masing-masing adalah Ketua Program Studi Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara B. Herry Priyono untuk perkara nomor 79/PUU-XVII/2019. Selain itu Penasehat KPK pada 2005-2013 Abdullah Hehamahua untuk uji formal dan uji material perkara nomor 70/PUU-XVII/2019.
“MK di dalam putusannya melaksanakan judicial activism. Oleh karena itu, mengapa tidak, di dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat luar biasa, ini kemudian MK juga akan melakukan judicial activism”
Herry berfokus pada filosofi bangsa Indonesia sebagai tatatan yang dilawankan dengan praktik korupsi sebagai sesuatu yang tidak tertata atau di luar tatanan. Herry yang kerap memberikan pelatihan dan penguatan di KPK juga mengatakan kondisi yang terjadi secara umum setelah UU Nomor 19/2019 diberlakukan adalah demoralisasi di sebagian pegawai lembaga anti rasuah tersebut. Sementara Abdullah menekankan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Ia menjelaskan tentang betapa ketatnya sistem di masa UU No 30/2002 berlaku untuk menjamin integritas dan independensi KPK.
Salah seorang tim pemohon perkara nomor 79/PUU-XVII/2019, Asfinawati meminta kepada majelis hakim konstitusi untuk menghadirkan presiden pada persidangan selanjutnya. Ia mengatakan bahwa hal itu dikarenakan wakil-wakil pemerintah yang hadir dalam persidangan banyak tidak bisa menjawab pertanyaan.
Asfinawati juga meminta majelis menjawab permohonan provisi dengan memberikan putusan sela. Ini mengingat putusan MK yang tidak berlaku surut. Ini berhubungan pula dengan kemungkinan bilamana kelak MK menyatakan UU Nomor 19/2019 batal demi hukum.
Adapun persidangan selanjutnya akan digelar pada 16 Maret mendatang. Agendanya mendengarkan keterangan dua ahli pemohon perkara nomor 79/PUU-XVII/2019.