Ketika dihadapkan pada banyak ketidakpastian dan gejolak yang dapat mengarah pada krisis, yang kerap menjadi pertanyaan adalah seberapa kuat perbankan kita menghadapinya.
Bagaimana mengukurnya? Untuk menjawab itu, kita bisa menggunakan tiga indikator finansial, yaitu permodalan, likuiditas, dan profitabilitas.
Pertama, permodalan. Permodalan diukur dari rasio kecukupan permodalan atau capital adequacy ratio (CAR) menunjuk angka 23,33 persen per Desember 2019, sedikit meningkat dibanding Desember 2018 pada level 23,01 persen.
Baca juga : Pelonggaran GWM Topang Pertumbuhan Laba Perbankan
Merujuk data CEIC, rasio permodalan perbankan kita termasuk paling tinggi di ASEAN, seperti Thailand (19,6 persen), Malaysia (17,9), Singapura (16,7), dan Filipina (15,9). Angka Indonesia juga masih lebih tinggi di antara anggota G-20, seperti Turki (18,4 persen), Brasil (18), Meksiko (16,1), Kanada (15,4), Korea Selatan (15,4), dan China (14,5).
Modal perbankan kita juga sangat berkualitas. Hal ini dapat dilihat dari struktur permodalan perbankan yang didominasi modal inti (Tier I), yaitu berupa setoran modal dan laba ditahan. Dari rasio CAR 23,33 persen, rasio modal inti bank 21,77 persen. Jadi, porsinya sangat tinggi, 92,01 persen.
Semakin berisiko, modal yang wajib dipelihara bank makin tinggi.
Tinggi dan berkualitasnya permodalan perbankan kita tak lepas dari regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku otoritas mikroprudensial dan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas makroprudensial.
Regulasi OJK menuntut perbankan memelihara modal wajib minimum yang memasukkan profil risiko bank (risk based capital adequacy). Semakin berisiko, modal yang wajib dipelihara bank makin tinggi. Modal menurut regulasi ini 8-14 persen dari aktiva tetap menurut risiko (ATMR).
Baca juga : BCA Sambut Penurunan Suku Bunga Acuan BI
Selain itu, perbankan Indonesia juga diminta menambah modal capital conservation buffer 2,5 persen. Bagi bank sistemik ada tambahan kewajiban modal sebagai capital surcharge maksimal 2,5 persen. Sementara dalam konteks makroprudensial, BI mewajibkan perbankan membentuk countercyclical buffer 0-2,5 persen. Tambahan modal ini untuk meredam perilaku perbankan yang agresif menyalurkan kredit, terutama pada periode ekonomi ekspansi (boom). Namun, karena kondisi saat ini belum ada tanda-tanda itu, countercyclical buffer masih ditetapkan BI 0 persen alias nihil.
Likuiditas
Indikator kedua adalah likuiditas. Ada dua indikator yang dipakai, yaitu liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR). Kedua indikator ini pada Desember 2019 lebih dari 100 persen. Bahkan, rasio LCR lebih dari 200 persen pada BRI (229,98) dan BCA (276,29).
Tingginya angka LCR menyuratkan kecukupan alat likuid yang dapat memenuhi kewajiban bank kepada nasabah penyimpan jika terjadi penarikan dalam 30 hari pada periode stress. Memang minimal LCR yang harus dijaga bank 100 persen, tetapi kenyataannya LCR perbankan pada periode itu 209,16 persen, meningkat dibanding 2018 (190,24 persen).
NSFR memperlihatkan perbankan kita mampu memitigasi risiko inheren akibat ketidaksesuaian tenor (maturity mismatch) akibat perolehan dana jangka pendek yang ditanam terutama pada aset kredit berjangka panjang.
Indikator terakhir adalah profitabilitas. Hingga Desember 2019, keuntungan perbankan Indonesia Rp 200,51 triliun. Naik 5,14 persen, perolehan laba ini tumbuh melambat separuh lebih ketimbang laba Desember 2018 yang naik 14,28 persen atau Rp 190,72 triliun, tetapi masih positif dan tentu akan menambah saldo laba ditahan perbankan. Akumulasi laba ditahan ini menambah kekuatan bank menyerap kerugian.
Perbankan kita memiliki daya tahan cukup kuat menghadapi kemungkinan berbagai gejolak.
Satu hal yang positif, perolehan laba bank tidak hanya disumbang oleh kegiatan utama perbankan di penyaluran perkreditan (pendapatan bunga), tetapi juga berasal dari kegiatan transaksi valas dan SBN (tresury) dan fee based income.
Pada Desember 2019, perolehan keuntungan bersih dari kegiatan tresury perbankan mencapai Rp 16,24 triliun atau naik 86,88 persen dari Desember 2018. Adapun fee based income bersih mencapai Rp 75,06 triliun atau naik 7,02 persen.
Dari ketiga indikator itu, perbankan kita memiliki daya tahan cukup kuat menghadapi kemungkinan berbagai gejolak.
Ardhienus Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan, Bank Indonesia.