Sebenarnya fenomena ini sah-sah saja, terjadi di pemerintahan mana pun, bahkan di Amerika Serikat. Namun, yang Indonesia, makin lama makin memprihatinkan.
Oleh
·3 menit baca
Sebenarnya fenomena ini sah-sah saja, terjadi di pemerintahan mana pun, bahkan di Amerika Serikat. Namun, yang Indonesia, makin lama makin memprihatinkan.
Betapa tidak. Di tingkat menteri terjadi, ketika menteri ganti, padahal presiden masih sama. Muncul kebijakan baru yang bertentangan dengan kebijakan sebelumnya.
Publik jadi bertanya-tanya bagaimana sebenarnya kebijakan dibuat. Bukankah semestinya berdasarkan kajian dan pertimbangan komprehensif oleh para ahlinya? Apalagi, ini di tingkat nasional yang berdampak luas.
Lain lagi di tingkat gubernur. Gubernur baru ”membongkar” kebijakan gubernur yang digantinya, dengan dalih menepati janji kampanye. Memang dalam hal ini ada tiga landasan kebijakan diambil. Pertama meneruskan kebijakan lama, kedua menyempurnakan kebijakan lama, dan ketiga membuat kebijakan baru sesuai kondisi dan kebutuhan terkini.
Apa pun langkah yang diambil, jangan sampai menimbulkan pertanyaan publik, kegaduhan, dan pro-kontra yang kontraproduktif.
BHAROTO
Jl Kelud Timur, Semarang
Pearuh atau Pengimbas
Litbang Kompas memakai istilah influencer tak kurang dari 36 kali dalam laporan sepanjang sepertiga halaman (dalam rubrik ”Media Sosial” Kompas, Rabu, 29/1/2020).
Sebenarnya dipakai pula padanannya, yakni ”pembawa pengaruh”, tetapi hanya satu kali! Mungkin istilah ”pembawa pengaruh” ini kurang dikenal, alias tidak ”bekèn” (dari bekend, Belanda). Mengapa tidak dipakai ”pearuh” saja?
Seperti ”petinju” profesional/amatir yang kita bedakan dengan ”peninju”, maka ”pearuh” (influencer) juga tidak sama dengan ”pengaruh” (influence).
Dapat juga kita pakai istilah ”pengimbas”. Bahkan ”motivator” sebagai alternatif dari ”pearuh” atau ”pengimbas”.
Kalaupun ada nuansa perbedaan maknanya, itu hanya ”betis” (= ”beda tipis”, pinjam akronimnya Poltak Ruhut Sitompul).
Silakan pilih: ”pearuh”, atau ”pengimbas”. Jangan ”influencer”, agar tidak dinyinyiri André Möller.
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas sumbang saran yang disampaikan.
Obat BPJS
Beberapa bulan lalu istri saya berobat ke rumah sakit di Tangerang. Ia divonis menderita Polisitemia vera, sesuai hasil pemeriksaan sumsum tulang di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta.
Tertulis di kesimpulan: Kepadatan sel hiperselular. Aktivitas Eritropoiesis, Granulopoeisis, dan Trombopoeisis meningkat. Kesan: sesuai gambaran Polisitemia vera. Saran: JAK untuk konfirmasi.
Kemudian diperoleh hasil pemeriksaan darah di Laboratorium Klinik KALGen Innolab Jakarta. Tertulis, JAK2 Mutation Status: V617F point mutation detected.
Setiap bulan, istri saya diberi resep obat (medac) untuk satu bulan, tapi di apotek BPJS hanya diberi untuk satu minggu. Alasannya, tidak menyertakan hasil Patologi Anatomi.
Pertanyaannya, apakah hasil pemeriksaan kedua laboratorium di atas tidak memenuhi standar untuk mendapatkan obat secara penuh?
EDY S
Setu, Tangerang Selatan
”Dankuwel”
Kata dari penggalan kalimat di atas saya kutip dari kolom perjalanan harian Kompas tanggal 5 Januari 2020.
Sepengetahuan saya, ada kekeliruan ejaan dalam menuliskan kata tersebut. Rangkaian kata itu berasal dari bahasa Belanda, yang sebenarnya terdiri dari tiga frase, yaitu: be dank/terima kasih, U/anda/kamu, dan wel/benar/sungguh-sungguh.
Jadi ejaan/tulisan yang benar adalah: ”Dank U wel”.