Setelah Presiden mengumumkan dua warga Indonesia menderita Covid-19, masker menjadi komoditas paling diburu. Ketersediaan masker di pasaran langka, harganya meroket. Perlu langkah tegas dan konkret untuk mengatasinya.
Oleh
Eren Marsyukrilla
·5 menit baca
Pengumuman dua warga Indonesia penderita Covid-19, secara langsung disampaikan Presiden Joko Widodo pada Senin, 2 Maret 2020. Maklumat dari Presiden itu secara resmi juga memperjelas, Indonesia telah terjangkit virus korona. Diketahui sebelumnya, virus ini mulai merebak sejak Desember 2019 dan secara cepat menyebar di 64 negara dunia.
Tak heran, virus korona tipe baru kini tengah menjadi kegelisahan global. Melihat penyebarannya yang begitu masif, sulit untuk mengatakan sebuah negara dapat terbebas dari penyebaran virus ini. Data Kementerian Kesehatan per 2 Maret 2020, mengonfirmasi bahwa secara global, temuan orang terpapar virus korona baru sebanyak 88.948 kasus. Tidak kurang dari 8.774 kasus dilaporkan terjadi di luar China.
Upaya pencegahan tertular atau menularkan virus salah satunya dengan mengenakan masker, alat bantu yang menutup mulut dan hidung dengan tujuan menyaring partikel udara. Masker bisa terbuat dari bahan fiber, kertas, karet sintesis, serta plastik, bergantung pada jenis penggunanya.
Sejak awal korona merebak dan pemberitaan ramai dengan isu penyebaran virus ini, permintaan masker naik berkali-kali lipat. Pada awal Februari lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan kondisi dunia yang krisis masker akibat korona. WHO memperkirakan banyak warga di negara-negara yang menimbun stok masker untuk dipakai sendiri atau dijual kembali dengan harga tinggi.
Pabrik dibangun supercepat
Kelangkaan masker bahkan memaksa Pemerintah China membangun pabrik masker secara kilat dan disebut-sebut selesai dalam waktu hanya enam hari. Sementara di Jepang, sebuah industri televisi disulap menjadi pabrik masker untuk memenuhi permintaan yang meningkat setelah wabah korona menyerang ”Negara Sakura” itu.
Hal serupa pun terjadi di sejumlah kota di Indonesia. Di Jakarta, misalnya, stok masker sulit ditemukan di toko-toko ritel atau apotek. Selain masker, cairan pembersih tangan dan antibakteri (hand sanitizer) turut langka. Selain langka, tingginya permintaan membuat harga masker melambung tinggi. Ketiadaan persediaan di toko ritel dan apotek menarik banyak orang berburu masker di lapak penjualan daring.
Berdasarkan penelusuran penulis, harga masker partikel berbahan fiber yang umum di pasaran naik 10-20 kali lipat. Masker yang biasanya dijual Rp 20.000-Rp 30.000 per kotak isi 50 lembar, kini dibanderol dengan harga Rp 250.000 sampai Rp 500.000, tergantung merek. Beberapa pelapak daring, bahkan menjual di atas harga tersebut.
Sebelumnya, kenaikan harga dan kelangkaan masker pernah terjadi pada Januari 2020, ketika media sosial ramai dengan perbincangan tentang masker tipe N95 yang dijual hingga Rp 3 juta untuk satu kotak berisi 25 masker. Kondisi tersebut berangsur normal pada pertengahan Februari. Harga masker turun normal dan mudah ditemukan di sejumlah toko. Namun, tak sampai sebulan kemudian, kabar merebaknya korona kembali mendongkrak harga masker.
Dua jenis masker
Secara umum, masker terbagi atas dua jenis utama, yaitu masker partikel dan masker kimia. Masker yang biasa ditemukan dan dipakai untuk pencegahan virus Covid-19 adalah jenis masker partikel. Jenis masker itu dirancang mampu menyaring partikel sebesar 0,3 mikron. Masker partikel biasanya terbuat dari bahan fiber seperti tipe masker bedah yang memiliki sisi berwarna hijau atau biru.
Ada pula tipe masker partikel yang dibuat berbahan kertas. Kemampuan filtrasi udaranya pun jauh lebih efektif, dengan bentuk desain yang rapat menutupi area mulut dan hidung. Model masker ini biasanya diberi kode N95 dan N100. Meski demikian, sejumlah ahli kesehatan menyatakan, masker tidak akan mencegah masuknya virus penyakit pada seseorang. Hal tersebut dikarenakan masker tidak bekerja efektif untuk mencegah seseorang menghirup kuman penyakit.
Terlebih, masih ada celah saat penggunaan masker di sekitar pipi dan tepi mulut. Namun, secara psikologis masker mampu memberikan rasa percaya dan aman pada pemakai agar terhindar dari paparan virus. Setidaknya penggunaan masker mengurangi risiko penyebaran virus korona lewat udara. Apalagi, ketika aktivitas sering dilakukan di ruang publik atau berinteraksi dengan banyak orang.
Sebetulnya masker tipe apa pun yang berfungsi menyaring udara dapat mengurangi risiko penyebaran virus lewat udara asal digunakan dengan konsisten dan cara yang benar, seperti ketepatan pemasangan pada wajah hingga memastikan tangan selalu bersih saat memasang masker. Oleh karena itu, perdebatan mengenai efektivitas penggunaan masker dalam mencegah penyebaran virus korona tak mengurangi minat orang menggunakan masker.
Langkah tegas
Celakanya, di tengah kecemasan masyarakat akibat ancaman korona, sebagian pihak justru berusaha mengambil keuntungan dengan melakukan praktik spekulasi terhadap harga masker. Presiden Joko Widodo sudah menegaskan akan menindak para spekulan masker. Polisi juga mengambil tindakan tegas pada praktik spekulasi masker dan mengimbau masyarakat untuk tidak menimbun stok masker serta cairan pembersih tangan (hand sanitizer).
Langkah tegas pemerintah dalam menangani kebutuhan masker ini selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang melarang pelaku usaha untuk melakukan praktik penimbunan guna memperoleh keuntungan besar dengan cara tidak wajar, bahkan merugikan orang lain. Dalam Pasal 107 undang-undang tersebut juga dijelaskan, pelaku dapat dikenai sanksi penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp 50 miliar.
Ketidakwajaran peningkatan harga masker sebetulnya juga telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena menyulitkan masyarakat untuk menjangkau kebutuhan masker. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) juga mengimbau warga untuk membuat laporan pengaduan jika merasa dirugikan oleh pedagang nakal.
Masyarakat harus bersikap tenang, jangan takut berlebihan, tetapi tetap waspada pada virus korona.
Tak hanya dalam hal penjualan, melonjaknya kebutuhan masker juga memantik munculnya produsen ilegal masker. Akhir bulan lalu, kepolisian menggerebek sebuah gudang di kawasan Cakung, Jakarta Utara, yang dijadikan tempat produksi dan penimbunan masker. Gudang milik PT Unotech Mega Persada tersebut terbukti memproduksi masker tanpa izin.
Masker hasil produksi pun tidak sesuai dengan standar kesehatan dan SNI yang berlaku. Dalam pengungkapan kasus ini, polisi menyita barang bukti sekitar 600 kotak berisi tidak kurang dari 30.000 masker yang siap dijual. Selain tindakan tegas dalam mengendalikan harga jual masker, penting pula bagi pemerintah untuk melakukan langkah strategis lain guna memenuhi tingginya kebutuhan masker di tengah ancaman virus korona ini.
Termasuk pula memastikan produksi dan penyediaan masker dalam negeri aman untuk beberapa waktu ke depan. Apabila perlu, pemerintah giat melakukan pembagian masker gratis kepada masyarakat. Penggunaan masker sebetulnya hanya salah satu dari cara pencegahan penularan virus korona. Namun, langkah tersebut tentu tak akan berdampak tanpa dibarengi kebiasaan menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh. Masyarakat harus bersikap tenang, jangan takut berlebihan, tetapi tetap waspada pada virus korona. (Litbang Kompas)