Tidak setiap orang akan menyatakan sedang sakit ketika sedang flu misalnya. Faktor budaya ternyata memengaruhi, orang menyatakan sakitnya terkait kebutuhan mendapatkan dukungan dan rasa nyaman dari orang lain.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Cara dan ekspresi untuk menyatakan rasa sakit berbeda-beda pada setiap orang. Jika kita berpikir bahwa orang-orang yang tabah atau mempunyai toleransi yang tinggi terhadap rasa sakit, dan juga laki-laki dengan ikatan keluarga yang kuat akan cenderung diam dan tidak menyatakan sakitnya ketika sedang flu, misalnya, ternyata salah.
Berdasarkan penelitian terbaru para ilmuwan sosial, orang yang sangat tabah dan juga pria dengan ikatan keluarga kuat ternyata lebih cenderung menyatakan sedang sakit flu dibandingkan mereka yang bukan termasuk dua kategori itu. Nilai-nilai yang dianut seseorang dapat membentuk pandangan tentang ”penyakit yang pantas secara sosial”.
”Ini ironis. Anda berpikir menjadi (orang) tabah akan berarti Anda lebih cenderung diam (ketika sakit), tetapi menurut survei kami, itu memiliki efek sebaliknya. Orang-orang yang sangat tabah (stoics) akan menyatakan sakitnya sebagai hak untuk menyatakan yang sebenarnya dan mempertahankan penyakit itu lebih lama dari yang diperlukan,” kata Eric Shattuck, antropolog biologi pada Lembaga Penelitian Disparitas Kesehatan (IHDR) University of Texas at San Antonio (UTSA), Amerika Serikat, seperti dikutip Science Daily, Senin (2/3/2020).
Penelitian Shattuck bersama tim, antara lain sosiolog yang juga Direktur IHDR Prof Thankam Sunil dan Ketua Departemen Sosiologi UTSA Xiaohe Xu menemukan, ekspresi penyakit dipengaruhi jender, nilai budaya, dan penghasilan. Sensasi fisik dan mental yang terkait penyakit adalah respons biologis alami terhadap peradangan di dalam tubuh. Namun, kekuatan dan keparahan sensasi itu melampaui biologi, dan dipengaruhi jender, etnis, serta berbagai norma sosial yang terinternalisasi.
Orang-orang yang sangat tabah (stoics) akan menyatakan sakitnya sebagai hak untuk menyatakan yang sebenarnya dan mempertahankan penyakit itu lebih lama dari yang diperlukan.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Frontiers pada 24 Januari 2020 ini menunjukkan, ada kaitan antara budaya seseorang dan bagaimana seseorang mengklasifikasikan sakit. Nilai-nilai seseorang dapat membentuk pandangan internal tentang ”penyakit yang pantas secara sosial”. Itu memiliki implikasi bagaimana individu berbeda dapat mengambil lebih banyak tindakan dalam menangani sakit daripada menyatakan penyakit tersebut kepada orang lain.
Hal itu sesuai dengan penelitian S Harp dan C Koopman pada 2013 yang menunjukkan, penekanan pada tanggung jawab individu menempatkan beban penyembuhan pada individu yang sakit. Sementara itu, individu yang lebih punya ikatan kuat dalam kelompok sosial, baik teman atau kerabat, mungkin lebih bersedia membahas kesehatan mereka dan mencari bantuan dari orang lain ketika sakit. Selain itu, ada manfaat psikologis terkait dukungan sosial dan integrasi positif, termasuk keluarga, yang bisa membantu melindungi efek negatif stres pada kesehatan fisik.
Survei
Para ilmuwan sosial UTSA menganalisis survei terhadap 1.259 responden usia 18-55 tahun di Amerika Serikat pada November 2018. Mereka terdiri dari 630 perempuan dan 629 laki-laki.
Mereka terdiri dari yang berpenghasilan kurang dari rata-rata pendapatan rumah tangga di Amerika Serikat sebesar 60.000 dollar AS per tahun; yang mengaku tabah dengan toleransi tinggi terhadap rasa sakit; memiliki gejala depresi yang lebih mungkin menyatakan sakit ketika sakit. Mereka juga diminta menilai perasaan sakit mereka mulai dari ”tidak sakit” hingga ”sangat sakit” menggunakan skala tipe-Likert untuk mengendalikan kemungkinan efek gabungan.
Hasilnya menunjukkan, laki-laki dengan ikatan keluarga lebih kuat lebih mungkin melaporkan sensasi (rasa) penyakit yang lebih kuat. Mereka mungkin merasa nyaman ketika menyatakan sedang sakit influenza. ”Bisa jadi dukungan keluarga memungkinkan laki-laki merasa lebih diperhatikan dan karena itu mengandalkan jaring pengaman sosial itu,” kata Shattuck.
Namun, tidak ada penjelasan mengapa hal tersebut tidak terjadi juga pada perempuan dengan ikatan keluarga yang lebih kuat.
Hasil lainnya, responden yang masuk kategori tabah, terlepas dari jenis kelaminnya, dan responden dengan pendapatan rumah tangga lebih rendah dari 60.000 dollar AS per tahun lebih mungkin untuk menyatakan sakit daripada responden yang bukan termasuk dua kategori ini.
”Terkait dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah, mungkin orang-orang lebih cenderung menyatakan telah sakit karena mereka tidak selalu memiliki sarana untuk mencari perhatian media (pengobatan), dan karena itu gejalanya menjadi parah. Ini membuat mereka mengingat penyakitnya,” kata Shattuck.
Perilaku saat sakit, termasuk lesu, menarik diri dari kegiatan sosial, dan perubahan selera, merupakan sejumlah respons yang dimiliki semua makhluk hidup dari semut, lebah, hingga manusia. Penelitian ini membuktikan, pada manusia, norma sosial ekonomi dan budaya berperan pada perilaku saat sakit. ”Sebagai contoh, penelitian lain menunjukkan mayoritas mereka yang bekerja di banyak bidang, termasuk kedokteran, sering tetap bekerja ketika sedang sakit. Ini tentang budaya kerja,” kata Shattuck.
Langkah selanjutnya bagi para peneliti adalah melanjutkan penelitian dengan responden mereka yang sedang sakit dibandingkan mereka yang harus mengingat suatu penyakit. Area riset ke depan akan mengeksplorasi bagaimana tingkat keparahan penyakit memengaruhi pelaporan sakit.
”Mungkin orang lebih nyaman melaporkan sakit ketika (sakit) itu adalah flu biasa. Namun, bagaimana dengan infeksi yang distigma seperti HIV? Bagaimana dengan virus korona baru? Bagaimana klaim penyakit menular dijelaskan menggunakan lensa budaya dan ekonomi?” kata Shattuck.