Sumber Baru Pendapatan Cukai
Alasan kesehatan dan dampak negatif bagi lingkungan menjadi landasan pengenaan cukai.
Dalam upaya optimalisasi penerimaan perpajakan, pemerintah melakukan ekstensifikasi barang kena cukai baru dalam perekonomian. Setelah pernah mencuat pada 2017, pemerintah bersama DPR mulai membahas pengenaan cukai terhadap kantong plastik sekali pakai.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, saat ini baru ada tiga kategori barang yang dikenai cukai. Ketiga kategori barang tersebut adalah etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau.
Namun, aturan yang ada tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau penambahan jenis barang kena cukai. Peluang ekstensifikasi barang kena cukai terbuka karena sifat atau karakteristik barang yang bisa dikenai cukai ada empat.
Pertama, barang yang konsumsinya perlu dikendalikan. Kedua, yang peredarannya perlu diawasi. Ketiga, yang pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Terakhir, yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Baca juga: Bea dan Cukai Siap Fasilitasi Legalisasi Arak Bali
Kantong plastik sekali pakai yang diusulkan dikenai cukai tampaknya didasarkan pada karakteristik yang pertama dan ketiga, yang konsumsinya perlu dikendalikan karena menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan penerapan cukai plastik ini diharapkan produsen plastik bertransformasi menjadi produsen barang yang lebih ramah lingkungan.
Jika disetujui DPR, cukai plastik akan dikenai Rp 30.000 per kilogram plastik bagi produsen dan importir, atau Rp 200 per lembar plastik. Nantinya, harga plastik menjadi Rp 450 hingga Rp 500 per lembar setelah dikenai cukai.
Selain kantong plastik, produk lainnya yang saat ini juga tengah menjadi wacana pengenaan cukai adalah minuman berpemanis dan kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi karbon dioksida. Alasan kesehatan dan dampak negatif bagi lingkungan menjadi landasan pengenaan cukai.
Pendapatan Cukai
Secara definisi, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan oleh UU Cukai. Selama ini, pungutan cukai masuk dalam salah satu komponen penerimaan perpajakan. Dalam sepuluh tahun terakhir (2010-2019), pendapatan cukai meningkat satu setengah kali lipat atau 15 persen per tahun.
Jika pada 2010 pendapatan dari cukai baru mencapai Rp 66,2 triliun, tahun 2019 angkanya menjadi Rp 165,8 triliun. Di lihat dari komponennya, penyumbang terbesar pendapatan cukai didominasi cukai hasil tembakau, yaitu 95,8 persen pada 2019.
Kontribusi cukai hasil tembakau bahkan pernah mencapai kontribusi tertinggi pada 2015, dengan angka 96,1 persen. Sementara itu, kontribusi cukai dari dua sumber lainnya, yaitu minuman yang mengandung etil alkohol dan cukai etil alkohol masing-masing sebesar 4 persen dan 0,1 persen.
Peningkatan capaian pendapatan cukai, terutama cukai hasil tembakau, terjadi antara lain karena penyesuaian tarif cukai, relaksasi pelunasan cukai hasil tembakau, dan keberhasilan penertiban cukai berisiko tinggi melalui pemberantasan pita cukai rokok ilegal. Selain itu, penerapan sistem aplikasi cukai secara sentralisasi juga turut berperan.
Meski peningkatannya cukup tinggi, kontribusi pendapatan cukai terhadap penerimaan negara masih tergolong kecil, yaitu kurang dari 10 persen. Penyumbang penerimaan negara terbesar masih berasal dari pendapatan Pajak Penghasilan (rata-rata 40 persen) dan pendapatan Pajak Pertambahan Nilai (rata-rata 28 persen).
Pada tahun 2020, pendapatan cukai ditargetkan Rp 180,5 triliun, dengan porsi terbesar tetap diharapkan dari cukai hasil tembakau. Target 2020 ini naik 8,9 persen dibandingkan target 2019.
Kenaikan target ini, selain didapat dari penyesuaian tarif cukai hasil tembakau, diharapkan juga bisa didapat dari rencana penambahan barang kena cukai baru antara lain berupa kemasan atau kantong plastik. Pengenaan cukai pada kantong plastik diproyeksikan menyumbang pada penerimaan negara sebesar Rp 1,6 triliun (Kompas, 20/2/2020).
Adapun rencana pengenaan cukai bagi minuman berpemanis dan kendaraan motor yang menghasilkan emisi karbon dioksida diproyeksikan menyumbang pada penerimaan negara sebesar masing-masing Rp 6,25 triliun dan Rp 15,7 triliun. Dengan demikian, jika usulan ketiga jenis cukai baru ini disetujui DPR, negara bisa mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp 23,55 triliun.
Namun, pembahasan usulan pengenaan cukai baru ini sejatinya harus memperhatikan kondisi industri dan aspirasi dari pelaku usaha industri.
Baca juga: Pemerintah Tingkatkan Target Penerimaan Cukai pada 2019
Praktik negara lain
Barang atau produk yang dikenai cukai di banyak negara bervariasi. Dibandingkan dengan banyak negara lain, cakupan jenis barang yang dikenakan cukai di Indonesia masih terbatas pada tiga jenis. Di antara negara ASEAN, Filipina dan Thailand termasuk yang banyak menerapkan cukai.
Di Filipina, misalnya, barang yang dikenai cukai meliputi 16 jenis komoditas, antara lain produk tembakau, alkohol, wine, minuman keras, minyak olahan dan bahan bakar, juga produk mineral, seperti, batubara, granit, dan tembaga. Produk nonesensial atau barang mewah, seperti parfum dan batu permata, juga dikenai cukai.
Di Thailand, yang dikenai cukai tidak terbatas pada produk, tetapi juga jasa. Jika semula terdapat 16 barang yang dikenai cukai, revisi peraturan mereka tentang cukai menambahkan 5 jenis jasa yang dikenai cukai. Thailand dikenal sebagai negara yang lebih fleksibel dalam penambahan barang yang dikenai cukai.
Barang yang dikenai cukai di Thailand antara lain produk minyak mentah dan bahan bakar, bir dan minuman keras, hasil tembakau, minuman soda dan pemanis, mobil, sepeda motor, alat elektronik, baterai, kapal pesiar, parfum dan kosmetik, kristal, karpet wol, kartu permainan, perusak ozon, marbel, dan granit. Adapun jenis jasa yang dikenai cukai di Thailand, seperti jasa konsesi, jasa atas aktivitas yang membahayakan lingkungan (seperti yang terkait golf), bisnis hiburan, serta perjudian atau pertaruhan.
Baca juga: Cukai Karbon Penting untuk Tekan Emisi Gas Buang
Salah satu negara di Eropa yang memiliki cakupan barang yang dikenai cukai cukup banyak adalah Perancis. Perancis tidak hanya mengharmonisasi aturan Uni Eropa dalam penentuan barang kena cukai, tetapi juga memperluasnya.
Jika berdasarkan aturan UE, barang yang kena cukai meliputi produk minyak mineral, alkohol dan minuman beralkohol, serta hasil olahan tembakau. Perancis menambahkan barang yang kena cukai untuk golongan furnitur dan produk kayu, golongan produk energi, pakaian, barang dari kulit, jam dan perhiasan, bahan konstruksi, industri pengecoran, industri plastik, lemak atau minyak hewani dan nabati tertentu, serta industri kertas dan bubur kertas.
Berbeda dengan Perancis, anggota UE lainnya, seperti Inggris (sebelum keluar dari UE) dan Belanda, menerapkan lebih sedikit barang yang dikenai cukai. Di Inggris, barang yang dikenai cukai ada lima jenis, yaitu bahan bakar, kendaraan bermotor, alkohol, hasil tembakau, dan komoditas yang dijadikan pertaruhan (seperti kuda pacu). Sementara di Belanda, sesuai dengan acuan aturan UE, barang yang dikenai cukai adalah bir, wine, produk alkohol lainnya, minyak mineral, dan hasil olahan tembakau.
Baca juga: Pemerintah Jangan Ragu Naikkan Tarif Cukai Rokok
Cukai menjadi target pendapatan negara. Akan tetapi, tantangan dalam memperluas cakupan atau penambahan barang kena cukai baru tidak hanya terkait soal jumlah atau banyaknya jenis barang.
Namun, juga bagaimana manfaat cukai yang dipungut negara dikembalikan kepada masyarakat dan lingkungan yang terkena dampak dari penggunaan barang yang dicukai.
Negara sebaiknya perlu menyebutkan atau menjelaskan alokasi dana dari cukai untuk manfaat tertentu. Di beberapa negara, peruntukan dana cukai tersebut diatur lewat perangkat hukum.
Filipina, misalnya, peraturannya menegaskan, dana yang didapat dari cukai hasil tembakau dan produk alkohol dialokasikan untuk pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat. Pertanyaannya, bisakah pemerintah kita melakukan hal serupa? (LITBANG KOMPAS)