Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sangat bergantung pada perputaran uang hasil penjualan barang dagangan. Pemerintah mesti turun tangan mencegah usaha ini terpuruk lantaran wabah Covid-19.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM adalah kelompok usaha yang dinilai paling rentan terhadap dampak yang timbul akibat wabah Covid-19. Pasalnya, jenis usaha ini sangat bergantung pada perputaran uang hasil penjualan barang dagangan. Pemerintah mesti turun tangan mencegah usaha ini terpuruk lantaran Covid-19.
Pembina Pelita Desa, Samsuridjal Djauzi, mengatakan, penanganan virus korona baru penyebab penyakit Covid-19 di Indonesia belum disiapkan dengan baik dan rasional. Saat ditemukan kasus pasien yang dinyatakan positif terserang Covid-19, muncul kepanikan di masyarakat. Menghindari kerumunan, tidak bepergian ke luar rumah, ataupun pembelian bahan pangan pokok secara berlebihan adalah beberapa gejalanya.
”Dan, yang paling rentan adalah UMKM. Wabah mengakibatkan rantai pasok terganggu. Sebagai contoh, apakah sanggup warung nasi padang tak berjualan selama sebulan akibat gangguan ini? Akan sulit,” kata Samsuridjal dalam diskusi mengenai antisipasi dampak korona bagi UMKM dan keluarga, Kamis (5/3/2020), di Jakarta.
Pemerintah, menurut Samsuridjal, telah turun tangan menjaga agar aktivitas ekonomi dalam negeri tak lumpuh. Salah satu caranya adalah dengan memberikan subsidi untuk tiket pesawat dan juga hotel agar pariwisata di Indonesia tak lesu. Sayangnya, belum ada tindakan langsung terhadap UMKM di Indonesia.
”Maskapai dan perhotelan adalah industri besar. Tetapi, bagaimana nasib UMKM? Mereka sangat bergantung pada perputaran uang kas untuk operasional sehari-hari,” ujar Samsuridjal.
Komisaris PT Manfaat Mitra Prima Unggul Rahim Jabbar menambahkan, pelaku atau orang yang bekerja untuk UMKM dapat saja terserang virus Covid-19. Hal itu akan mengganggu operasionalisasi UMKM tersebut. Akibatnya, rantai pasok UMKM terganggu sehingga harga jual produk UMKM bakal naik yang berpotensi melemahkan daya beli konsumen.
”Dalam konteks makro, ekonomi Indonesia berpotensi defisit karena kekurangan pasokan bahan baku yang banyak diimpor dari China. Ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi nasional melamban,” kata Rahim.
Ia menyarankan agar pemerintah menyiapkan rencana antisipasi bagi seluruh pelaku UMKM sesegera mungkin. Antisipasi itu antara lain dengan mencari pengganti bahan baku dan bahan penolong untuk bidang produksi serta menambah diversifikasi sumber pasokan. Dari sisi pemasaran, UMKM sebaiknya berfokus atau memprioritaskan layanan pada kelompok pelanggan yang loyal.
”Adapun untuk sisi finansial adalah perlunya pengelolaan arus kas yang lebih ketat dan terperinci. Selain itu, tak ada salahnya melepas aset yang kurang produktif atau mengurangi jam kerja karyawan untuk memastikan ketersediaan uang tunai yang memadai,” ujar Rahim.
Sementara bagi Ketua Bidang Kewirausahaan Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor Beta Sagita, UMKM harus mampu berinovasi menciptakan produk unggulan yang berbeda dengan yang beredar di pasaran. Ia mencontohkan produk makanan yang bisa awet dan tahan lama tanpa bahan kimia. Produk seperti ini diperkirakan mampu mencuri perhatian konsumen.
”Kami tengah mengembangkan cabai kering yang apabila disiram air akan kembali segar. Kami juga sedang mengembangkan produk makanan tanpa bahan pengawet, tetapi tahan lama tanpa harus disimpan di lemari pendingin,” ucap Beta.