Demi Kebutuhan Nasabah Asuransi
Tak mudah mengenalkan asuransi bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kepercayaan yang sudah mulai muncul mesti dijaga. Transformasi dilakukan demi nasabah dan demi industri yang lebih baik.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, asuransi masih belum menjadi bagian penting dari kebutuhan hidup. Ketertarikan masyarakat terhadap asuransi antara lain muncul jika asuransi bergandengan dengan investasi. Penyebab lain keengganan masyarakat adalah kesan asuransi yang ”mahal”.
Padahal, asuransi tak melulu ada dalam kerangka berpikir ”mesti menyiapkan dana besar untuk menjadi nasabah”. Selain itu, seiring kebutuhan masyarakat, asuransi juga membidik masyarakat yang memerlukan proteksi dalam jumlah yang tak terlalu besar.
Otoritas Jasa Keuangan turut mendorong perusahaan asuransi memiliki produk yang menjangkau masyarakat secara lebih luas. Sebab, selain membuka kesadaran atas perlindungan atau proteksi, juga untuk memperluas inklusi keuangan dan literasi keuangan.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi Keuangan (SNLIK) yang digelar OJK pada 2019, indeks literasi keuangan 38,03 persen dan indeks inklusi keuangan 76,19 persen. Angka ini membaik dibandingkan dengan hasil survei OJK pada 2016, yakni indeks literasi keuangan 29,7 persen dan indeks inklusi keuangan 67,8 persen.
Dari survei itu, pemahaman atau literasi masyarakat atas keuangan meningkat 8,33 persen dalam 3 tahun. Sementara akses atas produk dan layanan jasa keuangan meningkat 8,39 persen.
Salah satu produk asuransi yang didorong OJK adalah asuransi mikro. Disebut mikro karena nilai preminya kecil. Konsekuensinya, nilai proteksi dan klaim tak sebesar asuransi biasa atau non-mikro.
Allianz Life Indonesia adalah salah satu perusahaan asuransi jiwa yang memiliki produk asuransi mikro.
Chief of Partnership Distribution Officer Allianz Life Indonesia Bianto Surodjo mengatakan, premi yang dibayarkan nasabah minimal Rp 75.000 per bulan. Nasabah berhak atas perlindungan atau proteksi senilai hingga Rp 10 juta.
Bianto menggambarkan, produk asuransi yang diberi nama Sekoci ini menyasar kelompok masyarakat golongan menengah ke bawah. Syarat untuk menjadi nasabah antara lain berusia 17-60 tahun.
Ketertarikan masyarakat Indonesia untuk memiliki asuransi yang terjangkau tecermin dari peningkatan jumlah tertanggung nasabah mikro. Pada 2018, ada 6,4 juta tertanggung nasabah mikro. Pada 2019, jumlahnya meningkat 24 persen menjadi 7,9 juta tertanggung. Sebagian besar nasabah mikro berasal dari kemitraan dengan perbankan.
Kebutuhan masyarakat atas asuransi yang makin khusus juga diakomodasi PT Asuransi Jiwa Generali Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan CEO Generali Indonesia Edy Tuhirman, Generali meluncurkan fitur Sleep and Stress. Fitur ini membantu nasabah mengenali profil tidur, tingkat ketahanan dan toleransi terhadap stres, serta potensi gangguan tidur sesuai DNA masing-masing orang.
”Stres terkadang tidak disadari dan kita juga kurang memperhatikan kualitas tidur. Padahal, bisa berpengaruh besar terhadap kesehatan fisik dan mental seseorang,” kata Edy.
UMKM
Kekhususan produk asuransi juga diperlukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Apalagi, jika ada sentuhan teknologi dalam asuransi.
Langkah ini yang dilakukan Qoala, perusahaan teknologi yang menjembatani proses klaim asuransi melalui platform dalam jaringan teragregasi.
Co-founder Qoala, Tommy Martin, mengatakan, kehadiran teknologi dapat mengubah struktur bisnis asuransi yang berskala makro atau jangka panjang menjadi mikro. Kunci perubahan struktur ini adalah analisis potensi risiko yang paling berpeluang terjadi.
Dengan peran teknologi, tambah Tommy, Qoala dapat menawarkan asuransi properti kepada pelaku UMKM dengan premi Rp 50.000 per tahun. Untuk segmen yang sama, Qoala juga menyediakan produk asuransi kesehatan dengan premi Rp 15.000 per bulan.
Tommy menambahkan, Qoala juga bermitra dengan UMKM yang membuka kios pulsa untuk menawarkan produk asuransi keretakan layar ponsel pada pelanggan. Nilai premi asuransinya sekitar Rp 1.000 per minggu.
Dalam menawarkan produk asuransi perlindungan layar ponsel, Qoala menyiapkan teknologi untuk memvalidasi kepemilikan ponsel tersebut beserta kondisi awalnya. Jika terjadi kerusakan dan pemegang polis mengajukan klaim, ada teknologi pembelajaran mesin yang membuat proses persetujuan pencairan dana tersebut berlangsung lebih cepat.
Sementara itu, Prudential Indonesia tak henti berkampanye tentang nilai-nilai perlindungan atau proteksi melalui asuransi. Kampanye antara lain mengenai pentingnya tingkat ketahanan keuangan jika sumber tumpuan penghasilan utama hilang.
Menurut Head of Product Development Prudential Indonesia Himawan Purnama, tumpuan penghasilan keluarga dapat terdiri dari seorang ayah bagi istri dan anak-anaknya, seorang anak untuk orangtuanya, ataupun seorang kakak untuk adik-adiknya.
Oleh karena itu, jika tumpuan penghasilan keluarga itu tiba-tiba pergi, harus ada cara untuk menggantikannya.
Prudential Indonesia mengenalkan produk dengan nilai premi minimal Rp 300.000 per bulan. Adapun jangkanya 10 tahun dengan masa perlindungan 20 tahun.
Menurut Himawan, kehadiran produk ini tak lepas dari tingkat ketahanan keuangan jika sumber pendapatan utama hilang. Tingkat ketahanan keuangan dari sekitar 95,6 persen pencari nafkah ada pada rentang kurang dari 6 bulan.
Berdasarkan kajian, tambah Himawan, ketahanan keuangan minimal pada rentang waktu 12 bulan. Idealnya, tingkat ketahanan keuangan keluarga yang ditinggal tumpuan sumber penghasilan ada di rentang waktu 5 tahun.
Sharia, Government Relations, and Community Investment Director Prudential Indonesia, Nini Sumohandoyo menambahkan, produk asuransi ini juga bertujuan memperbesar portofolio produk syariah yang ditawarkan perusahaan. Per 2018, proporsi produk syariah Prudential sekitar 25 persen.
Dengan konsep syariah, kontribusi nasabah dapat dialokasikan ke wakaf. Selain itu, alokasi untuk wakaf juga dapat dialihkan ke yayasan yang membutuhkan donasi.
Benahi
Berbagai upaya dilakukan perusahaan asuransi untuk mengenalkan produk, memperluas pasar, dan mengajak masyarakat mengenal proteksi diri dan keluarga. Di sisi lain, muncul persoalan yang melibatkan perusahaan asuransi di Indonesia.
Misalnya, kasus yang melibatkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Perusahaan asuransi yang persoalan gagal bayarnya hingga dugaan korupsinya mencuat ini membuat masyarakat terenyak.
Kepercayaan masyarakat terhadap industri keuangan nonbank mesti terus dijaga dan dipulihkan agar perusahaan asuransi lain yang kinerjanya cemerlang tidak kena getahnya.
Presiden Joko Widodo bahkan menyebutkan, kasus Jiwasraya bisa dimanfaatkan sebagai momentum membenahi industri keuangan nonbank.
Kepala Pengawas Industri Keuangan Non-bank (IKNB) sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK Riswinandi menyebutkan, transformasi IKNB sudah dilakukan OJK sejak 2018. ”Prosesnya masih berlangsung, tidak bisa selesai dalam satu tahun. Menurut rencana, hasilnya sudah bisa dilaksanakan pada 2022,” ujar Riswinandi.
Salah satu rangkaian proses transformasi IKNB diwujudkan dalam bentuk Lembaga Penjamin Polis untuk menjamin polis nasabah asuransi.
Sejauh ini, tambah Riswinandi, baik regulator maupun industri sepakat berubah, bereformasi, bahkan bertransformasi. Kita tunggu. (IDR)