Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kembali mendapat penghargaan. Kali ini dari Keraton Surakarta yang menganugerahi gelar kebangsawanan Kanjeng Mas Ayu dalam acara wisuda Sasana Handrawina, Rabu (4/3/2020), di Solo.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini kembali mendapatkan penghargaan. Kali ini datang dari Keraton Surakarta yang menganugerahi gelar kebangsawanan Kanjeng Mas Ayu dalam acara wisuda yang berlangsung sederhana di Sasana Handrawina, Rabu (4/3/2020).
Raja Keraton Surakarta Sunan Pakubuwono XIII beserta Kanjeng Ratu Pakubuwono XIII menyerahkan langsung kekancingan (surat pernyataan) yang berisi pemberian gelar bangsawan. Sejak saat itu, Risma berhak menyandang gelar Kanjeng Mas Ayu (KMAy) Tri Rismaharini Kelaswari dan menjadi bagian dari keluarga besar Keraton Surakarta.
Seharusnya acaranya saat Tingalan Jumenengan, tetapi Sinuhun tahu bahwa saya ada jadwal di Solo sehingga hari ini diagendakan.
Berbeda dengan acara wisudan pemberian gelar yang biasanya dilaksanakan sebelum upacara Tingalan Jumenengan atau peringatan kenaikan takhta raja yang akan berlangsung pada Jumat (20/3/2020), acara pemberian gelar dilakukan lebih cepat. Hanya ada Risma serta Raja dan Ratu Keraton Surakarta yang mengenakan pakaian batik dan kebaya. Acara ditutup dengan makan bersama dengan menu nasi liwet, tengkleng, dan jajanan pasar.
”Seharusnya acaranya saat Tingalan Jumenengan, tetapi Sinuhun tahu bahwa saya ada jadwal di Solo sehingga hari ini diagendakan,” kata Risma.
Staf Kasentanan Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Mas Panji Kusumo Wicitro, mengatakan, Risma dianggap sebagai salah satu pemimpin yang berprestasi di dalam dan luar negeri. Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini memiliki sikap yang tegas, pandai, dan bijaksana sehingga layak mendapatkan gelar kebangsawanan tersebut.
”Setelah menjadi keluarga keraton, wajib datang saat upacara, seperti Grebeg Maulud, Grebeg Besar, Grebeg Syawal, dan Tingalan Jumenengan,” katanya.
Tawaran untuk mendapatkan gelar ini sudah diterima sejak dua bulan lalu. Saat itu dia masih mempertimbangkannya karena menyadari konsekuensi dari gelar yang diterima. Terlebih gelar itu biasanya hanya untuk para kerabat keraton.
Lebih menjaga diri
Kini sebagai keluarga keraton, Risma pun memiliki tanggung jawab untuk menjaga nama baik Keraton Surakarta. ”Biasanya saya bertingkah seenaknya saja, seperti khas orang-orang Surabaya, tetapi sekarang harus lebih menjaga diri dan kehormatan keraton,” ujarnya.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Bayu Dardias Kurniadi, mengatakan, gelar kebangsawanan yang diberikan kepada masyarakat umum biasanya berkaitan dengan kebutuhan keraton untuk mendapatkan dukungan politik dan ekonomi. Maka, beberapa tokoh politik dan publik figur diketahui pernah mendapatkan gelar dari Keraton Surakarta.
”Kita tidak tahu mendatang Risma akan menjadi apa, tetapi potensi menjadi pejabat publik sangat terbuka. Ini nanti bisa menjadi sumber dukungan bagi keraton,” ujarnya.
Pemberitaan Kompas pertama kali mencatat gelar kebangsawanan dari Keraton Surakarta diberikan kepada pelawak Kirun. Dalam Kompas edisi Sabtu (20/9/1997), Kirun dianugerahi gelar Raden Ngabehi Guno Wireno dalam sebuah acara wisudan di Ndalem Kasentanan Keraton bersama 174 abdi dalem keraton yang lain.
”Tapi saya akan tetap menggunakan nama Kirun karena nama itu komersial dan sudah telanjur ngrejekeni (memberi rezeki). Apalagi gelar dari keraton itu tak baik kalau buat ndagel dan cengengesan,” ujar Kirun saat itu.
Dari kalangan politikus, Keraton Surakarta juga pernah memberikan gelar kepada Wali Kota Surakarta Joko Widodo yang sekarang menjadi Presiden. Gelar juga pernah diberikan kepada sejumlah menteri, kepala daerah, serta seniman.
Keraton yang pertama kali memberikan gelar kebangsawanan kepada orang awam adalah Keraton Surakarta. Setelah itu ditiru keraton lainnya, seperti Keraton Palembang.
Menurut Bayu, pemberian gelar kepada orang awam mulai banyak dilakukan sejak Sunan Pakubuwono XII atau periode tahun 2000. Namun, jumlahnya mengalami pasang surut sesuai kondisi politik dan ekonomi Keraton Surakarta.
”Keraton yang pertama kali memberikan gelar kebangsawanan kepada orang awam adalah Keraton Surakarta. Setelah itu ditiru keraton lainnya, seperti Keraton Palembang,” kata peneliti keraton di Indonesia ini.
Pemberian gelar ini salah satunya dilakukan karena kebutuhan keraton untuk menyelenggarakan berbagai upacara adat yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Dana tersebut biasanya berasal dari keluarga trah keraton, dana keraton, serta dari para publik figur. Jika dana dari keluarga dan keraton tidak mencukupi, kerabat keraton dari luar yang sudah mendapatkan gelar biasanya akan ikut berkontribusi.
Salah satu keraton yang tidak memberikan gelar kebangsawanan kepada masyarakat awam yakni Keraton Yogyakarta. Kondisi ini salah satunya disebabkan keuangan keraton yang kuat, terlebih kini mendapatkan status keistimewaan dari negara yang berimplikasi pada pendanaan untuk kegiatan keraton.
”Keraton-keraton lain sebetulnya bisa mandiri asal pemerintah membantu bisnis pariwisata yang kini mereka jalankan agar bisa mandiri,” kata Bayu.