Di Idlib, Perang Memicu Krisis dalam Krisis
Pertempuran telah memaksa warga Suriah pergi meninggalkan rumah mereka. Di tengah pengungsian, saat mencoba menyelamatkan hidup mereka, serangan udara dan buruknya kondisi lingkungan mengancam nyawa.
Pertempuran telah memaksa warga Suriah pergi meninggalkan rumah mereka. Di tengah pengungsian, saat mencoba menyelamatkan hidup mereka, serangan udara dan buruknya kondisi lingkungan mengancam nyawa.
Bayi perempuan itu tidak bergerak. Tubuhnya yang semula hangat perlahan dingin. Ayahnya buru-buru membawanya ke rumah sakit dengan berjalan kaki karena tidak menemukan mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Namun, ia terlambat. Di usia 18 bulan, Iman Leila meninggal dalam dingin yang beku.
Tiga minggu sudah keluarga Leila berlindung di sebuah bangunan beton setengah jadi sejak lari dari konflik di barat laut Suriah. Bangunan itu menjadi rumah untuk berlindung dari udara malam yang nyaris tak pernah beranjak lebih dari minus 6 derajat celsius. Seperti ratusan ribu warga lainnya, Leila mengungsi ke berbagai penjuru Suriah sebelum akhirnya kini berada di Idlib.
”Saya memimpikan udara yang hangat,” kata Ahmad Yassin Leila, ayah Iman Leila, melalui sambungan telepon seperti dikutip New York Times, Rabu (26/2/2020). ”Saya hanya ingin anak saya hangat. Saya tidak ingin kehilangan mereka dalam udara yang dingin. Saya tidak ingin apa pun kecuali rumah dengan jendela yang mencegah udara dingin dan embusan angin masuk,” katanya.
Sembilan tahun lalu, pemberontakan di Suriah melawan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad dimulai. Namun, perlahan kekuatan asing turut campur. Turki mendukung pemberontak Suriah, sedangkan Rusia membantu pasukan Pemerintah Suriah.
Selama tiga bulan terakhir, pasukan Suriah yang didukung serangan udara Rusia mencoba menguasai kembali Idlib dengan membombardir benteng pertahanan pemberontak. Seandainya berhasil, kemenangan ini akan menjadi tonggak sejarah yang mengangkat nama al-Assad dan moral pasukannya meski penderitaan rakyatnya akibat perang kian berat.
Pertempuran di Idlib telah memaksa hampir satu juta warga Suriah mengungsi. Sebagian dari mereka—jika beruntung— tinggal di bangunan sederhana yang disewakan atau ditinggalkan pemiliknya. Bangunan seperti itu biasanya tidak memiliki pintu atau jendela.
Menderita
Akan tetapi, banyak dari mereka terpaksa tinggal di tenda-tenda, berdesakan di tepi jalan, ataupun tinggal di bawah pohon zaitun yang pada cabangnya mereka pasangi terpal sebagai atap. Udara musim dingin yang menggigit menjadi selimut. Iman Leila hanya salah satu dari sembilan anak yang meninggal karena kedinginan dalam beberapa minggu terakhir.
Mereka yang punya uang bisa membeli bahan bakar untuk penghangat. Itu pun jika bahan bakarnya tersedia. Sementara mereka yang tidak memiliki uang menyelimuti anaknya dengan seprai atau mengisi wadah apa pun yang tersedia dengan air panas untuk menghangatkan tubuh. Ketika mereka kekurangan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh, pakaian dan sepatu mereka bakar.
Satu keluarga yang mencoba menyalakan api kecil di dalam tenda mereka, awal Februari 2020, berakhir dengan tragis. Saat tidur, tenda mereka terbakar dan menewaskan dua anak-anak.
”Ada banyak orang meninggal. Tidak ada yang peduli,” ujar Yassin Leila.
Terjepit
Ketika gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Itulah perang. Terlepas apa yang sebenarnya diperjuangkan, warga sipil, terutama perempuan, warga lansia, anakanak, dan tenaga kesehatan, selalu menjadi kelompok paling terdampak oleh perang.
Seperti dikutip scidev.net, Kamis (21/2), seorang warga Ma’arat al-Nu’man, Um
Mostafa, mengatakan, anak laki-lakinya tewas dalam serangan bom. ”Setelah serangan udara menghujani kota, anak laki-laki saya terkena pecahan peluru di kepalanya. Dokter mengatakan akan merujuknya ke Turki untuk mendapat perawatan karena sumber daya di rumah sakit lokal tidak memadai,” kata Um. ”Akan tetapi, dia mengembuskan napas terakhirnya sebelum mencapai Turki.”
Manajer Unit Koordinasi Bantuan Suriah Mohammed Jassim mengatakan, serangan bom telah menyebabkan sumber air bersih tercemar dan merusak sistem sanitasi sehingga mengubah kota menjadi sumber penyakit dan pandemi.
Menurut Jassim, lebih dari 600.000 kasus leishmaniasis tercatat di kawasan itu. Demikian juga dengan hepatitis, tifus, flu, dan diare akut. Leishmaniasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit yang disebarkan melalui gigitan lalat tertentu.
Emad Zahran dari Direktorat Kesehatan Idlib, mengatakan, situasi di Idlib sangat buruk di mana perdesaan di bagian selatan tidak memiliki layanan kesehatan sama sekali akibat pengeboman oleh pasukan pemerintah dan militer Rusia.
Petugas kesehatan dari Rumah Sakit Umum Ma’arat al Nu’man, di selatan Idlib dan rumah sakit Al-Shami di Ariha serta warga sipil juga tewas dalam serangan di Ariha.
”Rumah sakit yang hancur dan kurangnya bantuan membuat warga yang sakit atau terluka tidak bisa dilayani. Mereka harus menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan dengan risiko komplikasi atau kematian serta menyebarkan penyakit pada yang lain,” tutur Zahran.
Di perdesaan di utara Idlib, rumah sakit penuh. Tenaga medis bekerja melebihi waktu normal serta berada di bawah tekanan fisik dan mental karena takut menjadi target serangan.
Organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR) menyatakan, sekolah dan rumah sakit kerap menjadi sasaran serangan bom. Serangan pasukan Suriah di Idlib, akhir Februari lalu, menewaskan 20 orang yang sembilan di antaranya adalah anak-anak.
Dalam kondisi konflik bersenjata, sejatinya ada hukum yang mengatur, yaitu hukum humaniter internasional. Hukum itu mengatur bagaimana pihak yang bertikai berperang, melindungi petugas kesehatan dan fasilitas kesehatan, serta mereka yang terluka dan sakit.
Serangan pada tenaga kesehatan bisa disengaja ataupun tidak. Bentuk serangan pun bisa berupa blokade jalan dan pemeriksaan yang bisa menghambat laju ambulans, serangan langsung terhadap personel kesehatan, pasokan alat kesehatan, dan pasien. Serangan-serangan itu dapat dikategorikan sebagai serangan langsung pada fasilitas kesehatan.
Laporan Dokter untuk Hak Asasi Manusia (PHR) menunjukkan, selama perang Suriah, sebagian besar dari 566 serangan yang menargetkan fasilitas medis dilakukan oleh pasukan Pemerintah Suriah dan sekutu mereka. Serangan itu telah mengubah fasilitas kesehatan menjadi tempat yang mematikan.
Musim dingin di Idlib mungkin akan berlalu. Namun, penderitaan warga sipil di sana akan tetap ada sepanjang perang belum berakhir.