Penataan transportasi umum nyaris tidak pernah menemukan titik akhir di kota-kota besar yang terus berkembang. Kebutuhan akan transportasi umum akan semakin meningkat seiring perkembangan kota dan pertambahan penduduk.
Oleh
·2 menit baca
Penataan transportasi umum nyaris tidak pernah menemukan titik akhir di kota-kota besar yang terus berkembang. Kebutuhan akan transportasi umum akan semakin meningkat seiring perkembangan kota dan pertambahan penduduk.
Kembali ke tahun 1969, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghadapi banyaknya angkutan pribadi yang beroperasi sebagai angkutan umum. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengeluarkan peringatan agar taksi berpelat hitam segera ditertibkan.
Pemilik kendaraan yang ditaksikan diminta segera mendaftarkan usahanya sebagai usaha taksi resmi di Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) DKI Jaya di Jalan Kramat Raya 21. Ali Sadikin mengancam akan bertindak tegas jika akhir Maret 1969 masih ada kendaraan pribadi berpelat hitam yang dijalankan sebagai taksi.
Tidak sedikit pengusaha yang menolak mendaftarkan kendaraannya dengan alasan kendaraan berpelat kuning menurunkan gengsi penumpangnya. Akibatnya, pasaran bisa jadi sepi (Kompas, 7 Maret 1969). Di sisi lain, pimpinan DLLAJ DKI Jakarta mengatakan, mental ”sok tahan gengsi” itulah yang akan ditertibkan.
Jika batas waktu pendaftaran sudah berakhir, semua pangkalan taksi liar akan dikuasai Pemerintah DKI Jakarta. Dan, hanya kendaraan berpelat kuning yang boleh parkir di pangkalan itu (Kompas, 11 Maret 1969). Hingga batas waktu yang ditentukan, taksi liar yang mendaftar sekitar 320 unit.
Dengan demikian, jumlah taksi resmi yang beroperasi di wilayah Jakarta sudah mencapai 450 unit, termasuk Metrotaxi dan taksi Hotel Indonesia. Pemerintah DKI Jakarta juga menetapkan tarif resmi, yaitu Rp 600 per jam untuk taksi yang ber-AC dan Rp 500 per jam untuk taksi tanpa AC. Tarif tersebut lebih mahal dibandingkan dengan taksi liar yang berkisar Rp 300 hingga Rp 350 per jam (Kompas, 21 April 1969).
Mengenai latar belakang penertiban taksi liar, Ali Sadikin menjelaskan, Pemerintah DKI Jakarta tidak dapat membiarkan usaha yang dijalankan atas dasar kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Kebijakan itu juga demi meningkatkan kenyamanan pengguna kendaraan umum. (LAM)