Tata kelola pemilu dan partai politik dinilai jadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi untuk mematangkan sistem demokrasi di Indonesia. Momentum perbaikan tersebut hadir saat pemerintah dan DPR merevisi UU Pemilu.
Oleh
BOW
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tata kelola pemilu dan partai politik dinilai menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi dalam mematangkan sistem demokrasi di Indonesia. Momentum untuk perbaikan tersebut hadir saat pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang
Pemilihan Umum dan Undang-Undang Partai Politik.
Hal itu menjadi salah satu yang mengemuka dalam diskusi dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil pemerhati pemilu di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (6/3/2020).
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebaiknya tidak hanya menyasar hal yang bersifat prosedural. Pemerintah bersama DPR perlu pula memberikan perhatian terhadap perbaikan tata kelola partai politik (parpol).
”Tata kelola pemilu harus diperbaiki dengan adjustment (penyesuaian) baru dan simulasi diciptakan. Namun, kepartaian juga harus dibenahi. Ini problem demokrasi kita saat ini”
”Tata kelola pemilu harus diperbaiki dengan adjustment (penyesuaian) baru dan simulasi diciptakan. Namun, kepartaian juga harus dibenahi. Ini problem demokrasi kita saat ini,” ujar Donal.
Selain Donal, hadir pula di antaranya Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, dan peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Ihsan Maulana dan Violla Reininda.
Feri Amsari menyoroti sejumlah hal yang perlu diperhatikan saat merevisi UU Pemilu, di antaranya mempertahankan sistem proporsional terbuka, perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu, dan mencegah politik uang.
Adapun untuk revisi UU Parpol, Pusako mendorong agar revisi memastikan pergantian ketua partai secara demokratis, begitu pula penentuan calon-calon pemimpin yang diusung parpol. Selain itu, harus ada peningkatan dana bantuan bagi parpol dari negara.
”Peningkatan bantuan agar partai mandiri dari modal-modal yang bisa memengaruhi kebijakan partai hingga tidak berpihak kepada publik,” katanya.
Adapun Titi Anggraini berpendapat, revisi UU Pemilu harus bisa mengonstruksi Pemilu 2024 agar tidak terjadi pemilihan umum ”borongan”. Maksud ”borongan” karena pada 2024, pemilu presiden, DPR, DPRD, dan pemilihan kepala daerah akan digelar pada tahun yang sama.
"Revisi UU Pemilu harus bisa mengonstruksi Pemilu 2024 agar tidak terjadi pemilihan umum ”borongan”. Maksud ”borongan” karena pada 2024, pemilu presiden, DPR, DPRD, dan pemilihan kepala daerah akan digelar pada tahun yang sama"
Sebab menurut dia, salah satu permasalahan dari pemilu ”borongan” itu, banyak daerah akan dipimpin pelaksana tugas (plt) kepala daerah. Sebanyak 271 daerah yang kepala/wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023 harus menunggu hingga 2024 untuk digelar pilkada.
Selama menunggu 2024, daerah dipimpin oleh pelaksana tugas kepala daerah. ”Ini sangat berisiko bagi pembangunan daerah,” kata Titi.