Pasca-perusakan dan pembakaran Kantor Bupati Waropen, Papua, Jumat (6/3/2020), polisi bersiaga mengantisipasi berbagai kemungkinan. Polisi akan mengutamakan upaya persuasif untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa.
Oleh
·3 menit baca
Polisi mengutamakan langkah persuasif guna mencegah terulangnya kerusuhan di Waropen, Papua. Kerusuhan itu dipicu oleh proses hukum yang dialami Bupati Waropen Yermias Bisay.
JAYAPURA, KOMPAS — Pasca-perusakan dan pembakaran Kantor Bupati Waropen, Papua, Jumat (6/3/2020), polisi bersiaga mengantisipasi berbagai kemungkinan. Polisi akan mengutamakan upaya persuasif untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa. Perusakan terjadi kemarin sekitar pukul 05.30 WIT dan dilakukan oleh sekitar 50 orang. Selain kantor bupati, dalam peristiwa itu massa juga merusak delapan kantor pemerintah.
”Saat ini, sekitar 100 polisi telah tersebar di tiga titik untuk mengantisipasi serangan susulan dari warga,” kata Kepala Kepolisian Resor Waropen Ajun Komisaris Besar Suhadak saat dihubungi dari Jayapura, Papua, Jumat. Massa merusak kaca sejumlah kantor, antara lain ruangan bupati dan wakil bupati, kantor Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, aula pertemuan Nonomi, dinas kesehatan, dinas pendidikan, serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Aparat dari Polres Waropen mencegah massa membakar seluruh kantor. ”Kami akan menggunakan pendekatan persuasif untuk mencegah terulangnya peristiwa itu. Apabila situasi tidak memungkinkan, barulah kami meminta bantuan dari polres lain,” katanya. Rusuh diduga terkait penetapan Bupati Waropen Yermias Bisay sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi sebesar Rp 19 miliar. Penetapan status tersangka ini dilakukan Kejaksaan Tinggi Papua, Kamis (5/3).
Sius Nuburi, perwakilan massa, mengatakan, mereka tidak terima dengan keputusan Kejaksaan Tinggi Papua. ”Sebelumnya, Kajati Papua Nicolaus Kondomo mengatakan, Yermias tidak akan diproses karena sebagai calon kepala daerah. Namun, Kejaksaan Tinggi Papua tetap menetapkannya sebagai tersangka,” katanya.
Asisten I Bidang Pemerintahan Setda Waropen Jaelani mengatakan, aktivitas perkantoran tetap berjalan, tetapi tidak optimal. ”Kami mengimbau mereka agar menahan diri karena status hukum bupati belum inkrah,” katanya. Massa yang mengamuk berasal dari kampung halaman Yermias Bisay di Distrik Wapoga. Mereka menggunakan perahu ke Botawa, ibu kota Waropen, kabupaten pemekaran Yapen Waropen tahun 2003.
Hingga kini, Polres Waropen menjaga rumah sejumlah pejabat sasaran amuk massa, seperti rumah Wakil Bupati Waropen Hendrik Wonatorey.
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Papua Alexander Sinuraya, di Jayapura, mengatakan, pihaknya menetapkan status tersangka terhadap Yermias berdasarkan keterangan 15 saksi pemberi gratifikasi dan aliran dana dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Penyidikan mengungkapkan, Yermias diduga menerima gratifikasi dari 15 orang dalam 10 tahun terakhir. Pemberi gratifikasi berlatar belakang anggota legislatif dan pengusaha.
Konflik antarsuku
Di Nusa Tenggara Timur, Polres Flores Timur masih mengidentifikasi pelaku dan provokator perang antarsuku Kwaelaga dan Lama Tokan di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, yang menewaskan enam orang. Kasus tersebut berawal dari perebutan tanah di Wulen Watan Pantai Bani, Desa Baobage, pada Kamis lalu.
”Belum ada saksi yang dipanggil. Polisi sedang mengidentifikasi pelaku dan provokator perang suku ini. Polisi juga sedang mengupayakan para tokoh masyarakat dan tokoh adat kedua suku menahan diri. Mereka sudah dipertemukan,” katanya. (FLO/KOR)