Saat Para Santri Saling Menguatkan Diri Pasca-kebakaran Pondok Pesantren Izzudin Al Mashyur
›
Saat Para Santri Saling...
Iklan
Saat Para Santri Saling Menguatkan Diri Pasca-kebakaran Pondok Pesantren Izzudin Al Mashyur
Di pondok pesantren ini, mereka yang sebagian besar anak telantar mendapatkan ”keluarga” baru yang membuat mereka betah dan tak sendiri lagi. Kini cobaan datang lagi ketika rumah mereka itu terbakar.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
Kebakaran di kamar asrama santri pria Pondok Pesantren Izzudin Al Mashyur, Ciledug, Kota Tangerang, Banten, merenggut habis semua yang dimiliki 15 orang santri. Sehari-hari santri yatim itu berkumpul di kamar tersebut layaknya sebuah keluarga. Kini di tengah musibah, mereka saling menguatkan satu dengan yang lainnya.
Ke-15 santri tersebut tumbuh besar dan sehari-hari berkegiatan di dalam Pondok Pesantren (Ponpes) Izzudin Al Mashyur. Ponpes tersebut saat ini memiliki 200 santri. Dari 200 orang santri itu, 15 santri pria bermukim di sana. Ada juga 15 santri wanita yang juga tinggal di sana. Sisanya merupakan santri yang tinggal di Kota Tangerang dan sekitarnya.
Khusus bagi 15 santri pria tersebut, mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Lampung, Jawa Timur, dan Jambi. Beberapa tahun yang lalu, mereka pertama kali bertemu dan mulai menjalani hidup bersama-sama.
Pertemuan mereka didasari satu hal: sama-sama memiliki hidup yang kurang beruntung. Santri-santri itu telah lama tidak berada di dekat keluarganya. Rata-rata mereka adalah yatim piatu dan beberapa lagi ditelantarkan orangtuanya. Atas dasar itulah, kerabat dekat yang iba dengan mereka kemudian menitipkannya di Ponpes Izzudin Al Mashyur.
”Visi ponpes ini salah satunya ingin mengangkat harkat dan derajat anak-anak yatim piatu dan duafa,” ucap Pembina Yayasan Ponpes Izzudin Al Masyhur, Siti Rahmah, Kamis (5/3/2020).
Di Ponpes Izzudin Al Masyhur, Ahmad (15) menemukan keluarga baru. Ia berasal dari Malang, Jawa Timur. Orangtuanya telah lama bercerai. Dalam usia yang masih hijau, Ahmad dibesarkan sang ibu. Saat kecil, ayah Ahmad pergi meninggalkannya. Sementara saat beranjak remaja, ibu Ahmad memutuskan menikah lagi. Pada titik ini perhatian dan kasih sayang sang ibu kepadanya meluntur. Ia kemudian dititipkan di Ponpes oleh sang ibu.
Ahmad tidak sendiri. Di ponpes itu, ia menemui anak sebayanya yang juga mengalami nasib lebih kurang sama dengan dirinya. Pihak ponpes berbaik hati mendidik mereka tanpa biaya sepeser pun. Ahmad kemudian menjadi bagian dari 15 santri penghuni kamar asrama. Segala biaya hidup mereka ditanggung ponpes.
Nasib buruk menghampiri Ahmad dan rekan-rekannya pada Rabu (4/3/2020). Api melahap seisi kamar asrama mereka. Buku, lemari pakaian, kasur, dan benda-benda berharga lainnya habis terbakar.
Saat kejadian, Ahmad dan santri lainnya tengah mengaji. Mereka mendatangi kamar setelah melihat orang-orang berlarian dan berupaya memadamkan api dengan peralatan seadanya. Kepala Sekolah Dasar Izzudin Al Mashyur Budi Jaya mengatakan, penyebab kebakaran diduga karena korsleting listrik.
Kamar asrama tempat Ahmad bernaung berukuran sekitar 9 x 10 meter. Tiada jendela atau ventilasi udara yang banyak di ruangan tersebut. Kondisi itu membuat udara di dalam kamar sedikit pengap. Mereka pun sesekali harus tidur berdesakan. Kendati penuh keterbatasan, Ahmad merasa itulah kamar terbaik yang pernah ia miliki.
”Orang lain mungkin melihat kamar kami kurang layak dan tidak nyaman ditinggali. Namun, justru di sanalah saya menemukan kehangatan keluarga,” kata Ahmad.
Hidup bersama rekan-rekan sebaya yang juga mengalami nasib kurang beruntung membuat kedekatan antarsantri menjadi kuat. Mereka terbiasa tolong-menolong. Kebersamaan itu mampu membuat Ahmad tidak lagi dilanda kesedihan kendati tak lagi memiliki keluarga utuh.
Tergerak membantu
Musibah kebakaran turut menggerakkan hati guru, masyarakat sekitar, dan rekan-rekan ke-15 santri tersebut. Beberapa jam setelah kebakaran, sejumlah bantuan, mulai dari pakaian, makanan, hingga buku-buku, terkumpul.
”Teman-teman yang lain juga menghibur kami, meminta kami tabah dan sabar juga agar tidak terlalu bersedih,” ujar salah seorang santri, Hardianto (15).
Hardianto merasa bantuan pakaian dari rekan-rekannya amat membantu dirinya. Kebakaran turut menghanguskan semua pakaian yang dia punya. Bantuan pakaian yang diterima Hardianto sangat terbatas. Oleh karena itu, ia harus segera mencuci pakaian apabila pada hari esok tak ingin kehabisan pakaian untuk dikenakan.
Saat kamar asrama masih belum bisa ditempati, Ahmad, Hardianto, dan rekan-rekannya untuk sementara waktu menumpang tidur di ruang mengaji. Pihak Yayasan Ponpes Izzudin Al Masyhur hingga kini masih berupaya keras mencari dana untuk merenovasi kamar asrama yang terbakar.
Dari sekian banyak benda yang terbakar, buku pelajaran adalah salah satu yang terpenting bagi Hardianto. Hal itu karena pada 9 Maret 2020, para santri dijadwalkan mengikuti ujian tengah semester. Tanpa buku pelajaran, Hardianto tak bisa mengulang pelajaran yang telah ia terima.
”Catatan pelajaran saya terbakar. Untungnya, teman-teman mau meminjami saya catatan untuk dibaca lagi,” kata Hardianto.
Hardianto merasa amat kehilangan buku pelajaran dibandingkan pakaian. Sebab, dengan buku itulah ia bisa memperoleh pengetahuan jalan untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Budi menjelaskan, alumni Ponpes Izzudin Al Masyhur rata-rata telah bekerja dan berkeluarga. Mereka sebelumnya merupakan anak-anak telantar, tidak terdidik, dan hidup di jalanan. Mereka akhirnya memiliki kehidupan baru yang lebih baik usai menempuh pendidikan.
”Ada juga alumni ponpes yang kemudian bekerja menjadi guru di sini,” ucap Budi.
Baik Hardianto maupun Ahmad, seperti orang kebanyakan, tentu tak berharap tertimpa musibah. Namun, nasib mempertemukan mereka dengan rentetan kejadian yang menyedihkan.
Mereka masih bisa bersyukur, musibah justru kian mempersatukan. Tanpa bantuan guru, masyarakat sekitar, dan rekan-rekannya yang lain, musibah kebakaran tentu akan sangat memberatkan mereka.