Tujuh Hari Meninggalnya Nenek
Tanah nenek kelak akan dibagi sesuai hukum agama tentang pewarisan tanah kepada lima orang anaknya, termasuk ibu. Pakde Efri anak tertua, sedangkan ibu anak nomor empat.
Halaman belakang rumah telah menjelma dapur sejak tujuh hari yang lalu. Beberapa perempuan tetangga kami mengorbankan waktunya untuk rewang—membuat makanan untuk keperluan kenduri maupun hidangan untuk tamu yang sewaktu-waktu datang sekadar mengucapkan belasungkawa. Tujuh hari yang lalu, nenek—orangtua ibu—menghadap Yang Mahakuasa.
Sembari sibuk dengan alat-alat masak dan bahan makanan di dapur, mereka berbincang-bincang satu sama lain, menceritakan masa lalu yang pahit ataupun manis, dan bercanda menciptakan tawa yang seakan tak mau habis. Tetapi, sejak tujuh hari yang lalu, ibu tidak seriang para perempuan itu. Ibu tidak banyak bicara. Kamar telah menjelma tempat yang membuatnya betah berada di sana.
Ibu hanya akan keluar jika ada hal yang teramat penting; menemui tamu atau ke kamar mandi. Makan pun ibu di kamar. Terkadang aku yang mengantar makanan, terkadang saudara-saudara ibu. Selebihnya, ibu menghabiskan waktunya di kamar, melamun, memandang foto nenek, memeluknya, yang kemudian berakhir dengan tangis.
Azan Isya telah berkumandang. Di dapur, bersama beberapa pemuda kampungku—umurku tujuh belas tahun—aku menuangkan isi ceret berisi teh panas ke dalam deretan gelas yang telah ditata. Gelas-gelas yang sudah berisi teh panas itu nantinya akan dibagikan kepada para tamu yang akan mendoakan almarhum nenek—laki-laki—oleh pemuda-pemuda yang hadir, yang kemudian kegiatan itu disebut laden.
Mbok Nah, tetangga yang paling akrab dengan ibu, mendekat padaku.
”Mas Ken, disuruh ibu ke kamar. Katanya ada yang mau disampaikan.”
”Apa, Mbok?” tanyaku, meletakkan ceret yang telah berkurang banyak isinya. Seorang pemuda dengan penuh pengertian langsung mengambil ceret yang baru saja kuletakkan di dekatku sembari berkata, ”Saya gantikan, Mas....”
”Tidak tahu, Mas. Ke sana saja.”
Aku pun gegas melangkah menuju kamar ibu. Untungnya kamar ibu tidak dekat dengan ruang tamu—ruang yang digunakan untuk hadirin duduk selain halaman rumah yang telah diteduhi oleh tenda—sehingga ketika ibu menangis, suaranya tidak begitu jelas terdengar. Sedangkan saudara-saudara ibu yang laki-laki sudah bisa dipastikan bersiap-siap menyambut warga yang datang. Aku duduk di samping ibu yang juga duduk di pinggir ranjang, berhadap-hadapan dengan cermin yang ada di depannya.
”Kata Mbok Nah, ibu menyuruhku ke kamar? Ada hal penting yang akan disampaikan?” tanyaku. Pipi ibu tampak sembab, aku melihat di wajah ibu, kesedihan masih begitu perkasa untuk diruntuhkan. Aku tahu rasanya bagaimana kehilangan orang yang dicintai. Aku pernah merasakan. Bukan berarti sekarang aku tidak merasakan—hanya saja mungkin tidak sesedih ibu. Aku kehilangan bapak pada saat usiaku menginjak sepuluh tahun. Bapak meninggal dunia karena ada masalah di jantungnya.
”Ada, Ken. Ini sebenarnya hanya sebuah permintaan dari ibu....”
”“Permintaan apa, Bu?”
Lalu hening. Aku menunggu ibu berkata. Ibu memelukku. Seketika kembali kurasakan kehangatan, yang tidak pernah akan kutemukan dalam diri orang lain. Sebuah kehangatan yang khas, yang hanya dimiliki ibu. Sebuah kehangatan yang tidak padam oleh waktu. Kurasakan detak jantungnya. Tiba-tiba ada perasaan semacam khawatir menyelimuti hatiku. Detak itu tidak sekuat dulu.
Aku masih menunggu ibu berkata. Kepalaku tidak tenggelam seutuhnya ke dalam dadanya sehingga aku masih dapat menyaksikan sebuah foto yang menempel di tembok kamar. Foto ibu. Begitu gagahnya ibu di foto itu. Sorot matanya begitu tajam, penuh semangat. Itu adalah ibu di masa muda. Foto itu telah menjadi bukti kesuntukan ibu menekuni dunia puisi.
Ibu dulu sempat bercita-cita menjadi penyair besar. Bagi ibu, tiada hari tanpa puisi. Ibu begitu yakin, ibu bisa hidup dengan bertumpu puisi. Tetapi, setelah ia melewati hari-hari sekaligus proses yang melelahkan, ibu sadar, puisi tidak sepenuhnya dapat menjadi barang dagangan yang bahan bakunya ialah kata-kata. Suatu saat kata-kata akan habis. Otak bisa lelah. Untuk mendapatkannya lagi, perlu menyisihkan waktu untuk menyempatkan diri melakukan aktivitas yang membuat bahan baku itu muncul kembali, seperti membaca atau pergi ke tempat-tempat yang menyegarkan pikiran. Tetapi jika ibu melakukan itu, dari mana ia mendapatkan uang untuk bertahan hidup?
Maka, ibu pun mengambil keputusan; dunia puisi sambil lalu saja.
Kudengar isakan tangis. Pelukan ibu semakin detik berlalu, semakin erat, bagai melepaskan kerinduan setelah sekian lama tidak bertemu. Entah kenapa kali ini tidak muncul inisiatif untuk menenangkan ibu. Kubiarkan ibu menangis.
”Ken Ardi?” ucap ibu, berhias sisa-sisa tangis. Ibu mengusap air matanya. Kuperhatikan sepasang mata ibu, kesedihan masih setia di sana. Namun ada sesuatu yang muncul dari sana, seperti mewakilkan perasaan dendam. Aku sendiri memilih menunggu ibu kembali berucap ketimbang mengeluarkan suara, ”Iya, Bu?”
”Bisa kamu tidak lagi menganggap Pakde Efri sebagai pakdemu?”
”Alasan apa yang membuatku harus tidak menganggap Pakde Efri sebagai saudara kita?”
”Kamu masih bertanya alasan? Ken, dia yang telah menyebabkan nenek meninggal dunia. Nenekmu! Nenekmu, Ken! Dialah penyebabnya. Dia sudah terlampau kelewatan? Mulai sekarang, persaudaraan kita dengan dia putus! Kamu jangan sekali-kali mencarinya, biarkan ia minggat membawa dosanya!” Di akhir perkataannya, nada bicaranya ibu meninggi, lalu kembali menangis.
Aku tahu persis perihal ibu bisa mengeluarkan ujaran yang demikian.
Sebelumnya, kematian nenek tidak kusangka sama sekali. Di kalangan tetangga-tetangga Pakde Efri—nama lengkapnya Efriyadi—terkenal dermawan. Kedermawanan yang kuketahui dan berkesan, ia kerap membelikan berplastik-plastik es teh di warung Bu Sarni untuk anak-anak kecil yang hampir setiap sore bermain di halaman rumah Mbah Prawiro, tetangga kami. Perlu diketahui, keluarga kami tinggal di tanah milik almarhum bapak, yang dibelinya dari seorang juragan baju yang tinggal di kabupaten sebelah. Tanah yang dibeli bapak, dekat dengan rumah nenek, yang sangat luas.
Tanah nenek kelak akan dibagi sesuai hukum agama tentang pewarisan tanah kepada lima orang anaknya, termasuk ibu. Pakde Efri anak tertua, sedangkan ibu anak nomor empat. Nenek sangat menyayangi anak-anaknya, terutama Pakde Efri, sebab selain ia yang paling tua dan laki-laki, ia juga tinggal bersama nenek serta dipandang paling mapan. Nenek yakin, hanya Pakde Efrilah yang bisa ia jadikan pegangan dalam menjalani hidup, melewati masa tuanya.
Tetapi, nenek tidak menyangka. Apa yang telah dilakukan Pakde Efri benar-benar membuatnya terluka hingga ia jatuh sakit. Pada suatu hari, rumah nenek didatangi oleh tiga orang tidak dikenal. Satu dari tiga orang itu berpakaian necis seperti orang kantoran, dua orang lainnya mengenakan jaket dan celana berwarna hitam.
”Maaf, Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya nenek kepada si necis. Meski si necis tidak menyapanya saat mengetahuinya sedang duduk di teras rumah, tapi nenek mencoba ramah. Waktu itu aku juga sedang duduk di teras. Aku disuruh ibu mengantarkan baju nenek yang ia jahit karena sobek.
”Apa ibu salah satu orang yang tinggal di rumah ini?” tanya si necis, di telingaku suaranya terdengar berat.
”Iya benar....”
”Saya meminta tolong agar secepatnya rumah ini dikosongkan. Menurut kesepakatan, hari ini sudah jatuh tempo.”
”Kesepakatan? Kesepakatan apa? Anda jangan ngawur. Saya tidak pernah terlibat kesepakatan dengan siapa pun, menyangkut tanah saya!”
”Kami memang tidak ada apa-apa dengan ibu. Tapi kami sudah sepakat dengan Pak Efri. Jika tidak bisa membayar utang hingga hari yang ditentukan, maka tanah ini yang menjadi jaminannya. Pak Efri tidak bisa membayar utangnya!”
Nenek pingsan. Itu awal dari semuanya. Setelah diusut lebih jauh oleh saudara-saudara ibu, Pakde Efri ternyata main judi. Ia berutang uang yang entah aku tidak tahu pada siapa, dengan jaminan tanah nenek. Yang membuat para adik-adiknya terkaget, ia sampai mengikuti judi di luar negeri.
Sejak tanah nenek berpindah tangan, nenek tinggal bersama ibu, bersamaku. Sejak itu, aku tidak pernah bertemu dengan Pakde Efri, istrinya, juga anak-anaknya. Sejak tanah nenek berpindah tangan dengan cara yang begitu menyakitkan, nenek terus sakit-sakitan, dan daya tahan tubuhnya cenderung menurut, hingga kemudian nenek tidak mempunyai daya, ia meninggal dunia.
Itulah yang membuat ibu membenci Pakde Efri. Pemantik masalah adalah Pakde Efri. Namun bagaimanapun yang namanya saudara, seperti anak, tidak ada kata, ”bekas”. Bagaimanapun Pakde Efri tetaplah saudara ibu, sebenci-bencinya ia.
Bagaimanapun Pakde Efri tetap Pakdeku.
Dari depan rumah, terdengar suara riuh para tamu. Aku tidak bisa berlama-lama di kamar menemani ibu. Pembicaraan mungkin akan dilanjutkan nanti, setelah kenduri, mengenang tujuh hari kepergian nenek. Aku mengelus punggung ibu, dan berkata, ”Aku ke depan dulu untuk menyambut para tamu....” Ibu tidak merespons.
Aku pun keluar kamar, dan melangkah menuju halaman rumah. Kukira, menuduh Pakde Efri sebagai kambing hitam atas kematian nenek, sampai kemudian tidak akan menganggapnya lagi sebagai saudara, adalah sikap yang tidak sepenuhnya benar. Sebab apa? Jika sikap itu masih terus dipupuk oleh ibu, lama-lama ibu akan menyalahkan Tuhan atas apa yang telah terjadi. Aku rasa, hal ini perlu kusampaikan kepada ibu.
___________________________
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji, Luar Ruang, dan Kompensasi. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.