Peminat hunian vertikal kian besar pada masyarakat urban. Peminat umumnya para milenial yang meniti karier dan memikirkan tempat tinggal.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Peminat hunian vertikal kian besar pada masyarakat urban. Peminat umumnya para milenial yang meniti karier dan memikirkan tempat tinggal. Hanya, ada sejumlah kendala untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terutama ketika hunian vertikal hendak didirikan di kota-kota besar.
Pemerintah diharapkan bisa mengikuti perubahan zaman di samping perlunya aturan tegas. Jakarta dinilai belum siap mengembangkan properti yang dapat mendatangkan keramaian baru. Salah satu indikatornya, yakni ”Aturan pembuatan gedung, termasuk hunian vertikal seperti apartemen dan rumah susun sangat kaku,” kata pakar hukum pertanahan dan tata ruang Fakultas Hukum Universitas Indonesia Suparjo Sajudi, Sabtu (7/3/2020).
Aturan dan kebijakan tata ruang Kota Jakarta belum mengikuti mobilisasi penduduk urban. Tahun 1980 hingga medio 2000-an, mayoritas pengembang properti mempromosikan hunian di luar Jakarta, yakni di kota-kota satelit, seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi. Namun, itu tidak diikuti pengembangan angkutan umum massal.
Rata-rata responden mematok pengeluaran maksimal yang bisa mereka sisihkan untuk biaya hunian vertikal itu Rp 3 juta setiap bulan.
Akibatnya, pergerakan manusia bergantung jalan raya dan kendaraan pribadi yang membuat mobilitas lama dan melelahkan. ”Arus kendaraan seperti ini membuat pemerintah Jakarta ketakutan dengan keberadaan properti yang berpotensi menarik massa dan mengakibatkan kemacetan,” tutur Suparjo.
Jumat lalu, Jakarta Property Institute (JPI) meluncurkan hasil survei dan wawancara mereka terhadap pekerja milenial di Ibu Kota. Mayoritas tertarik tinggal di hunian vertikal di Jakarta selama cicilan atau sewanya terjangkau. Rata-rata responden mematok pengeluaran maksimal yang bisa mereka sisihkan untuk biaya hunian vertikal itu Rp 3 juta setiap bulan. Mereka tertarik karena pola komuter harian dengan kereta, transportasi daring atau bus dinilai memberatkan dari sisi tenaga, waktu, dan biaya.
Menjawab peluang itu tidaklah mudah. Salah satu kendala berat dalam membangun hunian vertikal di Jakarta adalah peraturan tata kota yang kaku. Sebagai contoh, ada pembatasan jumlah lantai yang boleh dibangun. Usulan JPI, hunian vertikal seperti di Hong Kong dan Singapura agar lebih dari 35 lantai. Alasannya, semakin banyak lantai, kian banyak unit apartemen.
Semakin banyak penyewa atau pembeli, biaya yang dibutuhkan pengembang untuk membeli tanah di Jakarta, yang memang mahal harga disertai tingginya Pajak Bumi dan Bangunan bisa ditanggung. Saat bersamaan, peminat bisa menikmati, memiliki, atau menyewa dengan harga terjangkau.
Direktur Program JPI Mulya Amri menyatakan, jika pemerintah daerah takut hunian vertikal mendatangkan kemacetan, solusinya adalah membuat jalur angkutan umum di sekitar hunian. Angkutan yang benar-benar massal, seperti MRT dan Transjakarta bisa mengangkut banyak penumpang dan memiliki jadwal tetap.
”Membangun properti pada zaman sekarang tak bisa lagi memakai anggapan penghuninya akan memakai kendaraan pribadi. Justru diarahkan agar penghuni tidak perlu memakai kendaraan pribadi,” ujarnya.
Beberapa lokasi yang dinilai praktis sehingga bisa mengurai simpul kemacetan adalah membangun hunian vertikal di atas pasar, stasiun kereta, dan terminal bus.
Kompleksitas masalah
Diakui Suparjo, status Jakarta saat ini sangat kompleks. Selain ibu kota negara, Jakarta juga sebagai pusat ekonomi dan mobilisasi negara.
Ada berbagai batasan pembangunan, misalnya, di wilayah timur dan selatan ada Lapangan Udara Halim Perdanakusuma yang tidak memungkinkan ada gedung-gedung lebih dari 20 lantai. Pencarian lokasi baru hunian vertikal massal ini benar-benar harus teliti.
Yang sangat penting, kata dia, sebelum mulai membangun hunian vertikal, lebih baik membenahi sistem angkutan umum. Jalur KRL, MRT, dan Transjakarta harus kian mendekati permukiman di pinggiran Jakarta. Kalau bisa juga ke kota-kota satelit.
Justru mayoritas pembeli dan penyewa properti pertama adalah lajang yang hanya membutuhkan kamar studio.
Angkutan massal aman dan nyaman memungkinkan warga mengurangi kendaraan pribadi sehingga mengurangi kemacetan. Untuk itu, pembenahan harus berjejaring di Jabodetabek. Jangan hanya Jakarta punya sistem transportasi maju.
Direktur Eksekutif JPI Wendy Haryanto menambahkan, bila pemerintah daerah hendak turut membangun hunian vertikal, konsep rumah susun (rusun) harus disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Saat ini, aturan pembangunan rusun masih berkukuh minimal 36 meter per segi per unit karena pemikirannya masih untuk hunian keluarga.
”Justru mayoritas pembeli dan penyewa properti pertama adalah lajang yang hanya membutuhkan kamar studio. Pemerintah belum membaca tren ini,” ujarnya.