Dana Pengadaan Bibit Bawang Merah di Malaka Dikorupsi
›
Dana Pengadaan Bibit Bawang...
Iklan
Dana Pengadaan Bibit Bawang Merah di Malaka Dikorupsi
Akibat tindakan para tersangka, pengembangan bawang merah di Kabupaten Malaka tahun 2018 gagal total.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Dana untuk pengadaan bibit bawang merah tahun anggaran 2018 di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, senilai Rp 4,9 miliar dari total dana Rp 9,6 miliar dikorupsi Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Malaka bersama rekan-rekan. Tindakan para tersangka itu menyebabkan pengembangan bawang merah di daerah tersebut terhambat. Padahal, tahun 2017, Malaka pernah mengekspor bawang merah sebanyak 40 ton ke Timor Leste.
Kepala Bidang Humas Polda Nusa Tenggara Timur Komisaris Besar Johanes Bangun di Kupang, Minggu (8/3/2020), mengatakan, kontraktor pelaksana dalam proyek pengadaan benih bawang merah tahun 2018 itu adalah CV Timindo. Kasus ini melibatkan Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Malaka, YN (52).
”Dua tersangka lain sudah ditahan bersama Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, yakni SS (43) dan EPM (48), oleh penyidik Reskrim Polda NTT di Markas Polda NTT. Sementara BT selaku Direktur CV Timindo sedang dalam proses pemeriksaan,” kata Bangun.
Para tersangka melakukan penggelembungan harga, kolusi, dan korupsi dalam proses pengadaan barang atau jasa dan menerima hadiah atau janji terkait proses pekerjaan itu. Akibat tindakan para tersangka tersebut, pengembangan bawang merah di Kabupaten Malaka tahun 2018 gagal total.
Padahal, tahun 2017, Malaka mengekspor 40 ton bawang merah ke Timor Leste. Kebutuhan bawang merah di NTT saat itu pun surplus. Harga bawang merah menjadi stabil, tidak mengalami lonjakan seperti tahun 2019.
Kini harga bawang merah di Kupang Rp 50.000 per kilogram, sebagian besar didatangkan dari luar NTT. Kabupaten Malaka pada 2018-2020 tidak memproduksi bawang merah karena petani kesulitan mendapatkan benih bawang merah.
Sangat strategis
Kepala Desa Fafoe, Yosef Seran Klau, mengatakan, Fafoe dikenal sebagai sentra produksi bawang di Malaka. Tahun 2017, Fafoe memproduksi 70 ton bawang merah, 40 ton di antaranya diekspor ke Timor Leste dan 20 ton dijual di sejumlah kabupaten di daratan Timor Barat.
”Namun, tahun 2018 petani bawang Malaka, terutama petani Fafoe, kesulitan mendapat bibit bawang merah. Memang petani masih memiliki bibit di rumah masing-masing, tetapi jumlahnya 20-50 kilogram saja, tidak cukup untuk lahan bawang ratusan hektar di Fafoe,” kata Klau.
Bawang sangat strategis dikembangkan di Malaka. Kondisi lahan sangat cocok. Pedagang dan masyarakat NTT selama ini mendatangkan bawang merah dari Bima dan Surabaya. Produksi bawang lokal NTT ada di Malaka, sebagian di Manggarai dan sebagian Sabu Raijua.
Data Badan Pusat Statistik NTT 2017 menyebutkan, produksi bawang merah lokal NTT 100 ton per tahun, sementara total kebutuhan 700 ton. Hal itu berarti NTT masih mendatangkan 600 ton dari luar. Kualitas bawang lokal pun tidak kalah dari bawang dari luar. Umbi bawang sebesar ibu jari orang dewasa dan sangat terasa untuk bumbu masak.
Odilia Meak (53), petani bawang di Desa Fafoe, mengatakan, umbi bawang merah tidak sama dengan padi atau jagung yang bisa bertahan cukup lama. Begitu dipanen, bawang harus segera dijual di pasar sehingga berat bawang tidak susut.
”Pemda harus menjamin bawang hasil produksi petani segera terjual. Jika disimpan sampai lima bulan saja bobot bawang menurun. Kalau padi, jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan kami bisa makan sendiri jika tidak laku dijual. Tetapi, bawang paling hanya dipakai beberapa siung saat memasak,” tuturnya.