Jalan Panjang Mewujudkan Kesetaraan Jender
Ukuran peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan di atas kertas cenderung meningkat. Namun, nyatanya mewujudkan kesetaraan perempuan dalam keluarga, sumber daya, dan kepemimpinan tidaklah mudah.
Kesetaraan pembangunan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia cenderung meningkat di Indonesia. Namun, pembangunan jender yang tinggi belum tentu memiliki tingkat pemberdayaan yang tinggi pula.
Kehidupan perempuan Indonesia sekarang jauh lebih baik ketimbang masa lampau sebelum Indonesia merdeka. Tidak ada lagi cerita perempuan Indonesia hanya menjadi konco wingking atau yang hanya bertugas mengurus kewajiban domestik keluarga.
Sekarang posisi perempuan Indonesia sejajar dengan kaum laki-laki. Bisa mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang sama. Bahkan, beberapa di antaranya menduduki jabatan tinggi dalam struktur pemerintahan ataupun struktur tinggi dalam perusahaan swasta.
Hal ini tentu tak lepas dari upaya berbagai pihak yang didukung kebijakan Pemerintah Indonesia. Upaya tersebut diawali gerakan-gerakan feminisme di negara-negara barat di abad ke-17. Kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya berbagai kesepakatan yang mengikat secara internasional, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/Cedaw).
PBB selanjutnya memasukkan isu mengenai jender dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dilaksanakan dari 2015 hingga 2030. Topik tersebut tercantum dalam tujuan kelima, yakni mencapai kesetaraan jender dan memberdayakan kaum perempuan.
Di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No 59 Tahun 2017 untuk pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Perpres mengenai pelaksanaan SDGs tersebut menekankan terlaksananya agenda SDGs di Indonesia melalui kerja sama berbagai pihak, yaitu pemerintah dan parlemen, filantropi dan bisnis, ormas, akademisi, dan pakar.
Baca juga: Membaca Ketimpangan Jender
Pembangunan jender
Istilah jender sering kali disamakan dengan jenis kelamin. Padahal, menurut UN Women dalam Bank Dunia, 2012, jender mengacu pada atribut, harapan, norma sosial, perilaku, dan budaya yang terkait dengan laki-laki dan perempuan.
Di Indonesia, peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan diukur dengan dua angka indeks. Indeks Pembangunan Gender (IPG) untuk mengukur kesenjangan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Adapun Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) digunakan untuk menunjukkan tingkat peran serta wanita dalam kehidupan ekonomi dan politik.
Berbagai upaya pemerintah tersebut membuat Indeks Pembangunan Gender terus meningkat. Selama periode 2016-2019, indeks meningkat, dari angka 90,82 menjadi 91,07. Meski demikian, tren peningkatan ini mengalami penurunan pada 2015-2016, dari 91,03 menjadi 90,82.
Indeks Pembangunan Gender, menurut ”Pembangunan Manusia Berbasis Gender (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018)”, diformulasikan sebagai rasio Indeks Pemberdayaan Manusia (IPM) perempuan dan laki-laki.
Mengacu pada formula tersebut, peningkatan nilai indeks terjadi karena pertumbuhan IPM perempuan lebih besar dibandingkan IPM laki-laki pada periode yang 2017-2019. Dari perhitungan, pertumbuhan IPM perempuan 0,8 persen, sementara pertumbuhan IPM laki-laki 0,74.
Peningkatan nilai ini berarti kesetaraan pembangunan antara laki-laki dan perempuan cenderung meningkat. Kesetaraan pembangunan tersebut ditunjang sejumlah nilai komponen pembangunan perempuan yang terus tumbuh lebih cepat dibandingkan laki-laki.
Komponen Pembangunan
Salah satu komponen pembangunan (IPM) perempuan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yakni angka harapan hidup (AHH). Catatan BPS, angka harapan hidup perempuan selama 2010-2019 selalu lebih besar dibandingkan laki-laki. Perempuan pada 2019 tercatat bisa bertahan hingga usia 73, sementara laki-laki hanya 69 tahun. Selain itu, angka persentase penduduk perempuan yang mengalami sakit parah lebih rendah (21,57 persen) dibandingkan laki-laki (22,85 persen).
Namun, masih ada dua komponen pembangunan perempuan lainnya yang perlu ditingkatkan, yakni soal pendidikan dan ekonomi. Dari sisi pendidikan, rata-rata lama sekolah perempuan selama satu-lima tahun selalu lebih rendah dibandingkan laki-laki. Rata-rata perempuan hanya bersekolah 6 hingga 7 tahun saja. Sebaliknya, laki-laki berkesempatan mengenyam 7 hingga 8 tahun.
Meski rata-rata lama sekolah perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, perempuan masih mendapatkan peluang mengenyam pendidikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan angka partisipasi sekolah perempuan yang lebih tinggi di pendidikan dasar SD dan SMA. Angka partisipasi sekolah perempuan di usia 7-12 tahun mencapai 99,28, sementara laki-laki lebih rendah (99,08). Begitu juga dengan angka partisipasi sekolah perempuan usia 16-18 tahun yang mencapai 73,01.
Faktor lainnya yang juga perlu didorong adalah sektor ekonomi yang secara umum masih didominasi laki-laki. Sebagai indikator adalah pengeluaran per kapita. Data BPS menunjukkan, rata-rata pengeluaran per kapita perempuan hanya dua pertiga pengeluaran laki-laki. Sebagai contoh, tahun 2019, pengeluaran perkapita perempuan Rp 9.244, sedangkan pengeluaran laki-laki sudah mencapai 15.866.
Salah satu penyebab lebarnya kesenjangan pengeluaran per kapita antara laki-laki dan perempuan adalah keterlibatan perempuan yang relatif rendah di beberapa lapangan usaha dengan produktivitas tinggi. Sebut saja pada lapangan usaha pertambangan dan penggalian dengan produktivitas tenaga kerja mencapai Rp 562,35 juta per tahun, hanya 8,27 persen tenaga perempuan yang terlibat. Kemudian sektor real estat yang produktivitasnya tertinggi (949,92 juta per tahun), menampung 26,5 persen pekerja perempuan.
Baca juga: Perempuan Memberi Kontribusi Nyata
Belum merata
Pekerjaan rumah belum selesai karena pembangunan jender di tiap provinsi belum merata. Dari 34 provinsi, baru 15 provinsi yang nilai indeksnya ada di atas nilai Indonesia (91,07). Di antaranya, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Bali.
Lima provinsi tersebut selama 2016-2019 tetap mempertahankan posisinya di lima besar meski peringkatnya berganti-ganti. Kelima provinsi tersebut, nilai IPM perempuannya kategori tinggi, di atas rata-rata nilai IPM perempuan Indonesia (69,18).
Sebaliknya, kesenjangan pembangunan jender tertinggi terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Papua Barat, dan Papua. Hal ini karena adanya disparitas ekonomi yang memberi andil pada terjadinya kesenjangan jender.
Upah pekerja perempuan di provinsi-provinsi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Kalimantan Utara . Rasio upah pekerja perempuan dibandingkan laki-laki di provinsi tersebut kurang dari 0,7. Rata-rata upah pekerja perempuan di Kalimatan Utara hanya Rp 2,6 juta. Adapun pekerja laki-laki mendapat Rp 3,3 juta.
Baca juga: Perlu Hampir Seabad untuk Mencapai Kesetaraan Jender
Pemberdayaan Jender
Peran perempuan dalam pembangunan diukur dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Salah satu indikasi terciptanya kesetaraan jender adalah kontribusi yang sama antara kaum laki dan perempuan. Keterlibatan perempuan dalam sektor publik di Indonesia semakin membaik. Hal tersebut ditandai dengan angka Indeks Pemberdayaan Gender yang cenderung meningkat.
Selama lima tahun, angka IDG terus naik. Dari 70,68 pada tahun 2014 menjadi 72,1 pada 2018. Kenaikan angka ini belum mencerminkan adanya kontribusi yang sama antara laki dan perempuan. Dari tiga komponen pemberdayaan jender, keterlibatan perempuan masih kurang dari 50 persen.
Komponen keterlibatan perempuan di parlemen, misalnya. Data BPS 2016 dan 2017 menunjukkan angka 17,32 persen. Kemudian ”Perempuan sebagai Tenaga Profesional” angkanya masih berkisar 46 persen. Bahkan, angkanya dari 2016 dan 2017 menurun 1,28 poin. Terakhir, komponen ”Sumbangan Pendapatan Perempuan”, yang angkanya berkisar 36,42 persen pada 2016 dan 36,62 persen pada 2017.
Sama seperti pembangunan perempuan, pemberdayaan jender juga belum merata di semua provinsi. Dari 34 provinsi, baru 15 provinsi yang nilai indeksnya melebihi rata-rata nasional (72,1). Peringkat lima besar diraih Sulawesi Utara, Maluku, Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Selatan.
Provinsi lainnya yang berada di bawah kategori diwakili Papua Barat, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Lampung. Keterwakilan Perempuan di Papua Barat pada 2017 hanya 4,44 persen. Kemudian Sumbangan Pendapatan Perempuan 27 persen. Angka lebih baik diraih komponen Perempuan sebagai Tenaga Profesional 37,32 persen. Angka itu pun turun 3,58 poin dari tahun 2016.
Pembangunan dan Pemberdayaan
Di atas kertas, pembangunan jender seharusnya berbanding lurus dengan pemberdayaan jender. Peningkatan pembangunan jender akan menciptakan keseimbangan pemberdayaan antara laki-laki dan perempuan. Namun, menciptakan kondisi ideal tersebut cukuplah sulit.
Dari analisis matriks empat kuadran yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan (2018), hanya lima provinsi yang IPG dan IDG-nya di atas nasional. Provinsi tersebut adalah Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku.
Mayoritas provinsi (16) berkumpul di kuadran III, yakni IPG dan IDG di bawah rata-rata nasional. Seperti Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Papua.
Upaya meningkatkan pembangunan jender relatif lebih mudah dengan meningkatkan sarana-prasarana pendidikan, kesehatan, serta memberi kesempatan perempuan bekerja pada sektor dengan produktivitas tinggi, seperti di sektor pertambangan, real estat, dan komunikasi.
Namun, mendorong ke arah pemberdayaan tidaklah mudah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan menyebutkan sejumlah kendala dalam masalah pemberdayaan perempuan.
Pertama, penanganan masalah ini hanya berhenti di level provinsi. Di tingkat provinsi pun, dua urusan antara pemberdayaan perempuan dan anak digabung dengan jumlah orang tidak memadai. Selanjutnya, adalah masalah klasik soal anggaran, baik di kementerian maupun instansi, serta banyaknya hukum dan aturan yang bias jender.
Berkaca pada Global Gender Gap Index yang dibuat Forum Ekonomi Dunia, yang dikutip National Geographic edisi November 2019, sampai saat ini tidak ada satu pun negara di dunia yang mencapai keseteraan jender. Indeks ini mengukur ketidaksetaraan jender di empat aspek: kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan politik.
Negara Finlandia dan Denmark yang menduduki peringkat ketiga dan keempat dalam pengukuran pemberdayaan perempuan. Namun, dua negara tersebut masih mempunyai nilai di bawah rata-rata untuk aspek pekerjaan.
Ketidaksetaraan jender tidak ditentukan suatu tempat, ras, atau agama tertentu. Posisi Amerika pun sebagai negara besar ada di peringkat ke-51. Amerika masih punya catatan nilai buruk di aspek pekerjaan, pendidikan, dan perwakilan pemerintah.
Di atas kertas, ukuran peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan cenderung meningkat. Namun, itu sekadar angka, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah dan masyarakat secara bersama untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dalam keluarga, sumber daya, dan kepemimpinan (Tema Hari Perempuan Internasional 2020). (LITBANG KOMPAS)