Keheningan yang Megah
Di benua keenam planet ini, di Antartika atau Kutub Selatan, sedikit saja orang bisa menginjakkan kaki ke sana. Ketika punya kesempatan singgah di sana, tentu ada kenangan yang mengendap.
Di benua keenam planet ini, di Antartika atau Kutub Selatan, sedikit saja orang bisa menginjakkan kaki ke sana. Ketika punya kesempatan singgah di sana, tentu ada kenangan yang mengendap. Satu di antaranya mungkin keheningan yang paling megah.
”Kapal kami tiba di Antartika pada 13 Februari 2013. Ketika itu suhunya minus 30 derajat celsius. Kenangan yang paling mengesankan, di sana saya merasakan keheningan yang paling senyap, keheningan yang sangat megah,” ujar Jay Subiyakto (60), Rabu (4/3/2020) di Jakarta.
Pada 2013 Jay ke Antartika bersama tiga rekannya, Benny Soetrisno (70), Krish Suharnoko (61), dan Yori Antar (58). Mereka berempat memang sering bepergian ke belahan dunia lain, ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi turis.
Kini, tujuh tahun setelah mengunjungi Antartika, mereka membagi kenangan dalam pameran bertajuk An(t)arktik di Rumah Maen, Jakarta, 29 Februari-15 Maret 2020. Ada koleksi foto dipamerkan, juga beberapa instalasi dan video rekaman. Buku foto /An(t)arktik/ pun diluncurkan.
Mengapa pameran itu digelar tujuh tahun kemudian? Ini menarik. Itu karena Jay dan kawan-kawan miris membaca berita rekor suhu terpanas di Kutub Selatan tahun 2020 ini.
Dilaporkan, pada 13 Februari 2020 di titik Kutub Selatan yang sama, yang pernah dikunjungi Jay dan kawan-kawannya, suhunya mencapai rekor tertinggi 20 derajat celsius. ”Catatan rekor suhu terpanas pada tanggal yang sama ketika tujuh tahun silam kami tiba di sana,” ujar Jay.
Jay dan rekan-rekannya ketika itu mencicipi suhu yang teramat dingin, yaitu minus 30 derajat celsius di Paradise Bay. Itu berarti, kenaikan suhu di benua itu kini tidak tanggung-tanggung, mencapai 50 derajat celsius, dari minus 30 derajat celsius menjadi 20 derajat celsius. Begitu besar kenaikan suhunya itu dan ini terjadi dalam rentang cepat selama tujuh tahun pula.
Jay dan kawan-kawannya ingin menyuarakan alarm melalui pameran ini. Pemanasan global itu nyata. Itu ancaman yang sudah dan akan terus melelehkan es di kutub Bumi kita.
Dampaknya, sirkulasi arus laut dunia terganggu. Muka laut terus merambat naik akibat es meleleh, juga diperparah laju sedimentasi dari daratan. Kota-kota pantai, termasuk Jakarta yang pernah diperkirakan tahun 2050 akan tenggelam, mungkin saja benar terjadi.
Pameran An(t)arktik dengan kurator Oscar Matulloh ini menjadi tampilan seni kontemporer yang mengedepankan pesan kontekstual. Pesan tentang perubahan iklim. Oscar pun memberi catatan kuratorialnya, ”Kiamat dari Selatan”.
Mengapung
Ketika memasuki ruang pamer Rumah Maen, dua cetakan foto gumpalan es mengapung di laut langsung menyergap.
Di sisi kanan, foto tampak dekat bongkahan lonjong es-es yang memutih. Di sisi kirinya, tampak jauh gumpalan es itu menyebar di hamparan nan luas. ”Itu foto karya Yori Antar,” ujar Jay.
Ketika menyusur laut ke arah kutub, gumpalan es di permukaan laut itu menjadi obyek fotografi menarik. Gumpalan-gumpalan es itu seperti batu putih berserak.
Selama perjalanan dengan kapal itu, mereka bisa mengamati pembekuan air laut di Kutub Selatan. Gumpalan es dari kecil makin membesar ke arah kutub hingga es sama sekali memadat.
Kami menemui di sana penguin, anjing laut, dan paus. Selebihnya, hanya rasa keheningan.
”Setelah semua lapisan permukaan laut itu membeku, kapal kami bergerak menggunakan alat pemecah es di bagian depannya,” kata Jay.
Dipamerkan pula pada layar, video yang dibuat Jay selama berada di Antartika. Terasa di situ ada kesenyapan yang sangat. Panorama gunung-gunung es memutih tertutup salju. Tebing-tebing salju padat berdiri tegak. Sesekali ada rekahan di tebing itu.
Dari beberapa foto yang dibukukan, mereka sempat menangkap peristiwa runtuhnya tebing salju. Masih di video itu, Jay juga menangkap rekaman gerak mamalia laut, yaitu paus di permukaan laut.
Paus sehari-hari memakan udang krill berton-ton. Udang krill memiliki karakter habitat dengan suhu yang dingin. Pemanasan global mengancam kelangsungan dan ketersediaan udang krill ini. ”Kami menemui di sana penguin, anjing laut, dan paus. Selebihnya, hanya rasa keheningan,” ujar Jay.
Ada juga karya uni, sebuah instalasi batu bata putih disusun. Patung penguin berdiri di atas susunan batu bata putih tersebut. Instalasi seni itu gagasan Jay.
Ia berujar, ”dinding-dinding” seperti itu sekarang sedang dibangun di Antartika oleh banyak negara. Tetapi, Antartika semestinya menjadi kawasan yang bebas dari klaim kepemilikan negara tertentu. Antartika menjadi benua yang tidak bertuan dan siapa saja boleh datang dengan misi ekspedisi keilmuan.
Lewat karya instalasi itu, Jay menunjukkan saat ini ada gejala perburuan sumber energi minyak bumi di Antartika. Negara-negara tertentu mulai membangun ”dinding” di Antartika.
Dinding berfungsi sekat. Dia bisa sekaligus menjadi pembatas. Ada ketertutupan yang sengaja mulai diciptakan di Antartika. Dikhawatirkan itu berujung pada kegiatan eksploitatif Antartika untuk menguntungkan diri sendiri.
Ini ancaman lain bagi Antartika sekarang. Di sisi lain, laju pemanasan global juga tak terbendung.
”Kiamat dari Selatan”
Oscar Matulloh tidak berlebihan ketika memberikan catatan kuratorialnya dengan judul ”Kiamat dari Selatan”. Benua keenam itu kini dalam keadaan sekarat. Suhu dingin yang menyelimuti kutub itu kian terpanggang hilang. Petaka makin menguar.
Di pengujung 2013, grup musik Metallica asal Amerika Serikat menggelar pentas pertama di Antartika. Itu bukan sensasi semata. Itu juga kampanye untuk menahan laju pemanasan global.
Oscar mengisahkan rekaman peristiwa itu. Ada sekitar 120 orang berkumpul menghadiri pementasan Metallica di kubah transparan di dekat sebuah pangkalan helikopter milik Argentina di South Shetland Islands, timur laut Paradise Bay.
Mereka menghadirkan kebahagiaan dan menawarkan kampanye lingkungan dengan cara unik untuk pelestarian Antartika yang rapuh sekaligus ganas itu. Personel Metallica, meliputi James Hetfield, Lars Ulrich, Rob Trujilo, dan Kirk Hammett, bermusik tanpa amplifikasi. Hadirin terbantu menikmatinya dengan pelantang suara kecil di telinga.
Tak ubahnya pentas Metallica, Pameran An(t)artik ini juga menawarkan kebahagiaan dari sisi keindahan benua tak bertuan Antartika. Namun, sekaligus menawarkan keheningan yang megah.
Momen spiritual untuk bersikap sedari dini dimulai dari diri kita masing-masing, untuk ikut berpartisipasi mengerem laju pemanasan global. Jika tidak, Antartika tak seberapa lama lagi mungkin menawarkan anarki kiamat.