New York 96 Jam
Yap! New York, apa yang ada di benak? Selama lima hari bertarung dengan kelelahan dan keingintahuan di kota yang jadi pusat kapitalisme dunia ini.
Yap! New York, apa yang ada di benak? Orang-orang yang bergegas di trotoar menuju tempat kerja? Kemacetan dan gedung pencakar langit? Taksi warna kuning? NYPD? Piza? Selama lima hari, saya bertarung dengan kelelahan dan keingintahuan di kota yang jadi pusat kapitalisme dunia ini.
Winter Thrills South East Asia Media Fam: New and Hidden New York City, begitulah tajuk perjalanan kami ke New York, Amerika Serikat, atas undangan NYC & Company, perusahaan pemasaran wisata untuk lima wilayah di New York, yaitu The Bronx, Brooklyn, Manhattan, Queens, dan State Island. Harian Kompas bergabung dengan awak media dan penulis perjalanan lain dalam kegiatan ini.
Newark Airport Pukul 05.30
Amerika! Saya menggumam saat menjejakkan kaki di Newark Airport setelah perjalanan 18 jam nonstop dari Singapura ke New York. Beruntung, penerbangan kelas bisnis Singapore Airlines sedikit meredam lelahnya duduk dan berbaring pada ketinggian hampir 13.000 meter di atas permukaan laut.
Tak tampak kepadatan orang pada ruang imigrasi kedatangan di pagi yang masih buta itu. Dari kejauhan, beberapa petugas keamanan mengawasi dengan saksama hampir setiap orang yang ada. Saat antre dan tiba waktunya pemeriksaan paspor dan cap sidik jari, petugas hanya bertanya: ”How long you stay?” Saya menjawab: ”Five days.”
Jeglek! Next! Suara stempel keimigrasian menghantam kertas paspor. Selanjutnya, dengan diantar Mohammed dari Blacklane, sopir yang menjemput kami, rombongan bergegas menuju AKA Central Park di tengah dekapan udara dingin minus 2 derajat celsius.
Empire State Building Pukul 14.30
Jet lag mulai melanda. Waktu yang sama di Jakarta ini semestinya saat nyenyak-nyenyaknya tidur. Namun, ini New York dan saya tak ingin melewatkan sekejap mata pun. Sedikit raya nyeri di kepala, kelopak mata yang memaksa pejam, terpaksa harus dilawan. Gedung setinggi 443 meter ini cukup mengusir lelah dan kantuk yang mengganggu.
Di lobi gedung, kami menjumpai Alexandra Chermin, petugas yang menjadi tour leader kami di Empire State Building. Layanan prioritas yang kami peroleh membuat rombongan dengan mudah naik turun lift khusus.
Di lantai dua, kami berada di salah satu sisi ruangan yang berhias jari tangan si King Kong, kera raksasa yang menjadi tokoh utama pada film yang berjudul namanya itu. King Kong adalah salah satu judul film yang mengambil lokasi di Empire State Building. Film lain di antaranya Sleepless in Seattle, Elf, Oblivion, dan Finding Mr Right.
Beberapa waktu kemudian, kami ke lantai puncak di lantai 102 dengan lift yang melaju kurang dari dua menit dari lantai dua. ”Apabila cuaca bagus dan langit bersih, kamu bisa mendapat pemandangan hingga sejauh 80 mil. Lima negara bagian bisa tampak dari sini,” ujar Alexandra sembari menyebut New York, New Jersey, Pennsylvania, Connecticut, dan Massachusetts.
Hanya butuh waktu 1 tahun 45 hari, sejak peletakan batu pertama pada 17 Maret 1930, untuk membangun gedung raksasa nan megah tersebut. Empire State Building berdiri di atas lahan seluas hampir 2 hektar dengan luas bangunan di dalamnya mencapai lebih dari 260.000 meter persegi. Eksterior gedung terdiri dari lebih 10 juta batu bata, 730 ton baja dan aluminium, serta 18.500 meter persegi batu granit.
Saya jadi teringat Taipei 101, gedung tertinggi di Taiwan yang pernah saya kunjungi beberapa tahun lalu. Kendati Taipei 101 lebih tinggi, Empire State Building terasa punya kelas berbeda.
The Ride! Pukul 16.00
Setelah tur dari The Metropolitan Museum of Art sejak pukul 10.00, tiba saatnya menikmati pengalaman yang berbeda. Sejujurnya, saya penyuka museum, kecuali yang berisi lukisan Pablo Picasso. Rasa dalam diri tak bisa menggapai bentuk geometris coretan dalam kanvas si pelukis legendaris itu. Lebih nikmat bagi saya aliran karya Basuki Abdullah atau Raden Saleh.
Agenda kami berikutnya adalah berkeliling kota New York demi menikmati kemacetan dari dalam bus. Tentu saja nuansanya tak seperti terjebak kemacetan di jalanan Jakarta dari bus Transjakarta. Berangkat dari 42nd St & 8th Avenue, bus memulai tur menempuh jarak sekitar 7 kilometer selama 1 jam 15 menit. Ya, The Ride adalah sebuah atraksi menikmati kemacetan di salah satu kota megapolitan paling kesohor di dunia ini.
Bus The Ride ditata sedemikian rupa. Ada tiga baris kursi yang semuanya menghadap ke sisi kiri bus dengan dinding kaca transparan. Diramaikan dua pemandu yang cerewet dan pintar melontarkan guyonan segar, kemacetan dari dalam bus, kok, malah terasa seru dan menyenangkan.
”Tolong, semua penumpang agar memasang sabuk pengaman masing-masing sebelum berangkat,” ujar Jackline, salah satu pemandu The Ride. Sekitar 30 penumpang, termasuk saya, celingukan mencari sabuk pengaman di kursi masing-masing. ”Maaf, kami belum memasangnya,” ucap Jackline sembari tertawa menang. Saya hanya tersenyum kecut.
Sepanjang perjalanan, kami mendapat penjelasan mengenai keadaan kota, riwayat gedung, sampai pertunjukan jalanan. The Chrysler Building, Grand Central Terminal Park, Bryant Park, hingga Times Square kami lalui. Artis jalanan, yang menjadi paket atraksi The Ride, unjuk gigi, mulai dari rapper, pemain saksofon, hingga penari balet.
Hari itu, tur diakhiri dengan menonton pertunjukan di Broadway berjudul The Book of Mormon. Sayang, selain tak boleh memotret dan sinyal seluler mendadak lenyap di dalam gedung, pada paruh akhir pertunjukan saya tertidur di kursi teater. Hasrat saya dikalahkan jet lag.
Staten Island Pukul 12.00
Dari Hotel Indigo Williamsburg tempat kami menginap, petualangan selanjutnya menuju Staten Island. Perlu waktu 20 menit menyeberang ke pulau itu dengan feri gratis. Sempat melintas dari kejauhan Patung Liberty yang berdiri tegak di Liberty Island. Ah, sayang sekali tak sempat mampir ke sana. Padahal sudah berniat berpose foto sambil mengangkat es krim seandainya mampir ke patung ikonik tersebut.
Kami disambut Collen Siuzdak, Manager of Visit Staten Island, setiba di pelabuhan. Perempuan ramah itu berujar, ”If you have not seen Staten Island, you have not really seen New York,” ucapnya sembari tersenyum lebar. Saya membatin, ”If you have not seen Tanah Abang, you have not really seen Jakarta.”
Oleh Collen, kami dibawa ke National Lighthouse Museum, museum maritim yang menyimpan sejarah awal mula mercusuar. Staten Island adalah ”rumah” bangunan-bangunan tua nan bersejarah di New York. Berlanjut ke St George Theatre, bangunan teater dengan arsitektur antik yang berdiri sejak 1928. Perjalanan berakhir di sebuah restoran untuk menikmati piza.
Brooklyn Pukul 11.30
Tiba waktunya menikmati kuliner New York. Di lobi hotel, kami ditemui pemandu yang tak sempat saya catat namanya. Seorang pria muda dengan penampilan rapi dan amat paham dengan tugasnya. Hampir tiga jam kami berjalan kaki berkeliling sekitar Brooklyn hanya untuk mencicipi berbagai jenis kuliner. Mulai dari masakan Meksiko, burger, mi dan pasta, hingga (lagi-lagi) piza.
Sejujurnya, lidah Nusantara saya tak bisa menikmati segala macam American food. Menu corn esquites seharga 3,95 dollar AS hanyalah satu-satunya kuliner yang bisa diterima saraf-saraf di ujung lidah. Bahkan, sajian piza di restoran Best Pizza yang disebut pemandu kami sebagai piza terenak di New York berlalu begitu saja.
Jumat malam itu, malam terakhir kami di New York, berakhir di ingar bingar bar Brooklyn Bowl yang berjarak 10 menit perjalanan kaki dari hotel.