Remaja Pembunuh Bocah Balita Mulai Jalani Pemeriksaan Psikologi
›
Remaja Pembunuh Bocah Balita...
Iklan
Remaja Pembunuh Bocah Balita Mulai Jalani Pemeriksaan Psikologi
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Tahan Marpaung mengatakan, pemeriksaan kejiwaaan terhadap NF diperkirakan bakal berlangsung selama 14 hari.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kepolisian telah mengirim NF (15), remaja pelaku pembunuhan terhadap seorang bocah berusia 5 tahun, ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, untuk menjalani tes kejiwaan. Di sisi lain, apa yang dilakukan NF menunjukkan betapa orangtua tidak cukup hanya melihat pertumbuhan anak, namun juga harus memperhatikan perkembangannya.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus. Yusri mengatakan, pada Minggu (8/3/2020) NF telah dikirim ke RS Polri Kramat Jati. Ia dijadwalkan menjalani tes kejiwaan pada Senin (9/3/2020).
“Masih kami periksakan ke psikolog,” ujar Yusri saat dihubungi.
Secara terpisah, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Tahan Marpaung mengatakan, pemeriksaan terhadap NF diperkirakan bakal berlangsung selama 14 hari.
Terkait motif, Marpaung menyebut sejauh ini polisi belum menemukan motif lain yang membuat NF menghabisi APA (5), bocah tetangga NF, di kamar mandi.
Dari hasil pemeriksaan, polisi mendapati bahwa NF tergerak untuk membunuh APA karena sering menonton film-film horor seperti seri film boneka Chucky yang penuh dengan adegan kekerasan. Serta Slender Man, film yang mengisahkan sosok tinggi tipis bertangan banyak yang digambaran suka menculik anak-anak atau remaja.
“Motifnya ya itu saja, belum ada yang lain,” ucap Marpaung.
Hingga saat ini, kata Yusri, polisi telah memeriksa sejumlah saksi, yaitu keluarga dekat pelaku dan keluarga korban. Keterangan para saksi akan didalami untuk membuat kasus ini terang benderang.
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala melihat, pelaku NF belum dapat memahami makna tindakannya sekaligus belum bisa bertanggung jawaban atas tindakannya. Dengan demikian, NF tidak bisa dihukum.
Terkait motif, Meliala berpendapat, pelaku merupakan remaja yang masih labil sehingga tontonan kekerasan pun bisa menggerakkan NF untuk membunuh. “Makanya pendekatannya mesti non-punishment atau rehabilitatif,” ujar Meliala.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati menyampaikan, apa yang terjadi terhadap NF merupakan buah dari cara mendidik orangtua yang hanya memperhatikan anak dari sisi tumbuhnya semata. Padahal, kata Rita, orangtua juga mesti memperhatikan bagaimana perkembangan sang anak. Terutama perkembangan psikologis anak.
Menurut Rita, orangtua cenderung merasa sudah aman dan nyaman setelah memastikan kebutuhan pangan dan akademis anak tercukupi.
“Lebih dari itu, anak sebenarnya butuh didengarkan, ditemani, dan diarahkan. Inilah pentingnya memastikan perkembangan tidak hanya pertumbuhan fisik anak semata,” ujar Rita.
Penuturan tetangga bahwa hubungan antara NF dengan keluarganya baik-baik saja, juga belum tentu sepenuhnya mencerminkan apa yang dirasakan NF. Hubungan yang baik-baik saja dengan orang sekitar, menurut Rita, belum tentu berbanding lurus dengan apa yang dirasakan anak.
“Bagaimana perasaan dia dengan keinginan bersama dengan ibu kandungnya. Itu kan belum terungkap. Bisa jadi dalam hati dia sangat kesal dan itu tertumpahkan dengan cara menonton film kekerasan. Jadinya, dia merasa menyiksa itu sebagai hal yang biasa,” tutur Rita.