Dampak Tol Laut Belum Optimal Dinikmati Warga NTT dan Maluku
›
Dampak Tol Laut Belum Optimal ...
Iklan
Dampak Tol Laut Belum Optimal Dinikmati Warga NTT dan Maluku
Tol laut yang merupakan proyek prioritas Presiden Joko Widodo gagal menurunkan harga barang di sejumlah daerah.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Tol laut yang merupakan proyek prioritas Presiden Joko Widodo gagal menurunkan harga barang di sejumlah daerah. Masyarakat tidak menerima manfaat atas kehadiran program tersebut. Tol laut justru menguntungkan pengusaha yang diberi subsidi angkutan barang.
Program tol laut dimaksudkan untuk menekan disparitas harga antardaerah dengan cara memberikan subsidi untuk biaya logistik antardaerah melalui jalur laut. Program ini sebagian besar ditujukan di kawasan timur Indonesia. Namun, dari pantauan selama satu pekan terakhir di sejumlah tempat, seperti Kabupaten Flores Timur di Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Pulau Morotai di Maluku Utara, dan Kabupaten Kepulauan Tanimbar di Maluku, harga barang tetap tinggi.
Di Pasar Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, harga gula pasir mencapai Rp 15.000 per kilogram atau naik Rp 3.000 per kilogram dibandingkan Januari lalu. Masih pada periode yang sama, harga minyak kelapa dalam kemasan 5 liter naik dari Rp 70.000 menjadi Rp 75.000. ”Harga tidak pernah turun,” ujar Hasna (55), pedagang yang puluhan tahun berjualan di pasar itu.
Wakil Bupati Flores Timur Agustinus Payong Boli menyayangkan, program tol laut yang begitu ideal tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Ia menilai tol laut justru menguntungkan pengguna yang kebanyakan pengusaha. Pengguna mendapatkan subsidi angkutan dengan maksud agar mereka menurunkan harga jual barang. Kenyataannya, harga barang tetap tinggi dan cenderung mahal. Pengusaha enggan menurunkan harga.
Agus menuturkan, dirinya pernah melakukan pemeriksaan mendadak sebanyak tiga kali. Dua kali ke tempat distributor dan satu kali ke atas kapal tol laut. Saat di kapal tol laut itu ia menemukan mobil dalam kontainer. Itu ia temukan malam hari pada tahun 2018. ”Saya sudah laporkan ke polisi, tetapi sekarang kasus itu tidak jelas. Ada deal-deal para oknum yang terlibat dalam proses tol laut. Mereka meraup untung besar,” katanya.
Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas II Larantuka Usman Lauda mengakui harga barang tidak turun. Ia juga membenarkan pernah terjadi kasus muatan barang tidak sesuai ketentuan. ”Waktu itu saya belum bertugas di sini,” ujar Usman yang baru bertugas pada Januari 2020.
Di Daruba, ibu kota Kabupaten Pulau Morotai, harga barang lebih mahal dibandingkan di Larantuka. Gula pasir, misalnya, harga jual mencapai Rp 17.000 per kilogram. Di pulau yang berbatasan dengan Filipina itu, hanya ada satu kapal barang yang masuk, yakni kapal tol laut. Ongkos angkut tol laut hanya Rp 10 juta per satu peti kemas. Jika membayar dengan tarif normal, pengusaha harus mengeluarkan Rp 18 juta per kontainer.
Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Pulau Morotai Muhammad Takdir mengklaim, pihaknya mengawasi harga di pasar. Ia juga mengklaim ada penurunan harga, tetapi kenyataannya di pasar berbeda.
”Harga naik terus. Tol laut ini hanya memperkaya pengusaha,” ujar Hasan Bachtar (63), warga setempat.
Kondisi serupa terjadi di Saumlaki, ibu kota Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Diduga ada beberapa pengusaha besar yang mengendalikan harga. Mereka mengambil keuntungan dari tol laut. Kondisi di wilayah yang berbatasan dengan Auatralia itu sudah diketahui oleh pemerintah pusat. Tahun 2019, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pernah memimpin rapat di Saumlaki khusus untuk membahas tol laut.
Harga naik terus. Tol laut ini hanya memperkaya pengusaha.
Tokoh masyarakat Kepulauan Tanimbar, Nicko Ngeljaratan, menuding adanya pembiaran terhadap penyelewengan program tol laut. Ada pihak-pihak tertentu yang menarik untung di balik kondisi abu-abu pengelolaan tol laut. ”Sangat sedih sekali. Ini karena kegagalan pengelolaan,” ujarnya.