Kisah Pulau Karantina Penyakit Menular sejak Era Kolonial
Karantina penduduk terkait penyakit tertentu telah diterapkan di Indonesia sejak lebih dari tiga abad silam. Tak hanya bagi mereka yang menderita penyakit menular, karantina juga dilakukan bagi penduduk usai ibadah haji.
Karantina penduduk terkait penyakit tertentu telah diterapkan di Indonesia sejak lebih dari tiga abad silam. Tak hanya bagi mereka yang menderita penyakit menular, karantina juga dilakukan bagi penduduk seusai menempuh perjalanan laut untuk menunaikan ibadah haji.
Kebijakan karantina terkait suatu penyakit bukanlah hal baru. Sejak pertengahan abad ke-14, karantina telah dilakukan oleh sejumlah kawasan untuk mengantisipasi penularan penyakit pes, suatu penyakit yang ditularkan oleh kutu tikus kepada manusia.
Meningkatnya populasi tikus pada sejumlah negara saat itu turut menyebabkan meluasnya penularan penyakit ini. Hingga medio abad ke-14, penyakit pes telah menyebabkan lebih dari 60 juta orang dari berbagai belahan dunia meninggal. Penyakit ini kemudian juga dikenal sebagai wabah maut hitam atau black death seiring banyaknya korban jiwa yang tak berhasil diselamatkan.
Bahaya penyakit pes disadari oleh kota-kota pelabuhan di dunia. Pada tahun 1348, Pelabuhan Venesia di Italia melakukan upaya proteksi dengan melarang kapal-kapal dari negara yang terjangkit penyakit pes untuk berlabuh. Perancis juga memiliki aturan resmi terkait karantina penderita penyakit pada tahun 1383 dan kemudian memiliki lokasi khusus untuk melakukan observasi.
Di Indonesia, karantina terkait penyakit pernah dilakukan pada tahun 1679. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda belum terbentuk. Kendali pemerintahan dipegang oleh Kongsi Dagang Belanda (VOC).
Pada tahun 1666, pemerintah kolonial membangun panti kusta untuk menampung penderita kusta di sekitar Batavia. Panti ini terletak di sekitar benteng Angke, sebuah lokasi yang sempat digunakan sebagai wilayah pertahanan di bagian barat Batavia.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa Indonesia belum pernah memiliki satu pulau khusus yang digunakan sebagai lokasi karantina penderita penyakit tertentu dalam jangka waktu yang lama.
Namun, penduduk sekitar pada masa itu merasa khawatir terhadap penularan penyakit kusta. Dampaknya, pada tahun 1679, pemerintah kolonial memutuskan untuk melakukan karantina penderita kusta di Pulau Purmerend yang terletak di gugusan Kepulauan Seribu. Pulau ini juga disebut sebagai Pulau Sakit sebelum dikenal dengan sebutan Pulau Bidadari saat ini.
Karantina ini menjadi jejak sejarah observasi penyakit yang pernah dilakukan pada era VOC. Kondisi ini menunjukkan bahwa kusta pada saat itu menjadi penyakit yang amat sangat dikhawatirkan sehingga penderitanya perlu diobservasi di pulau khusus. Penyakit kusta terus mengancam hingga abad ke-19. Secara rata-rata terdapat lebih dari 100 penderita kusta yang dirawat setiap tahunnya di Jawa dan Madura sejak tahun 1867 hingga 1873 (Bergen, 2018).
Baca juga: Jejak Kusta di Nusantara
Haji
Selain kusta, karantina juga dilakukan untuk jemaah haji pada era pemerintahan Hindia Belanda. Perjalanan haji yang dilakukan dengan menggunakan kapal mengharuskan jemaah untuk dikarantina selama beberapa hari demi memastikan kesehatan.
Karantina dilakukan saat keberangkatan dan kedatangan dari Tanah Suci. Pada saat keberangkatan, jemaah haji harus menjalani observasi antara tiga hingga empat hari sebelum memasuki pelabuhan di Jeddah. Karantina dilakukan di Pulau Kamaran yang terletak di Laut Merah agar jemaah haji tidak membawa penyakit menular dari daerah masing-masing.
Kisah karantina di Pulau Kamaran ini disampaikan oleh RAA Wiranatakusuma, seorang bupati Bandung saat menunaikan ibadah haji tahun 1924. Menurut dia, Pulau Kamaran adalah sebuah pulau kecil dengan jumlah penduduk sekitar 600 orang.
”Pembela-pembela orang sakit, perempuan bangsa Arab dan Afrika, melimbang kian ke mari. Pakaian mereka kotor. Mayat seorang perempuan Sumatera terbujur di atas tanah di sebelah dokter. Sampai juga ajalnya. Tatkala ia naik ke darat telah payah benar, maka dibawa oranglah ia dengan usungan. Pemeriksaan dokter hanya dapat menyatakan kematiannya saja,” demikian penggalan tulisan RAA Wiranatakusuma yang menggambarkan kondisi di Pulau Kamaran, seperti yang tertulis dalam buku Naik Haji di Masa Silam Tahun 1900-1950 (Chambert-Loir, dan kawan-kawan, 2013).
Setelah melakukan ibadah haji, jemaah kembali ke Tanah Air melalui perjalanan laut. Setibanya di Tanah Air, observasi harus dilakukan sebelum kembali ke daerah masing-masing untuk memastikan bahwa jemaah tidak menderita penyakit menular.
Karantina dilakukan pada dua lokasi, yaitu Pulau Rubiah di Sabang, Aceh serta Pulau Onrust, dan Pulau Cipir yang terletak di Kepulauan Seribu. Kedua lokasi ini dipilih karena terletak cukup jauh dari pusat pemukiman penduduk dan terpisah oleh lautan sehingga aman dari penularan penyakit.
Karantina dilakukan sejak tahun 1911 bersamaan dengan masuknya wabah pes di Pulau Jawa melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Saat itu, dikeluarkan kebijakan karantina melalui Lembar Negara (Staatsblad) Nomor 277 tahun 1911. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk memastikan tidak ada jemaah haji yang berencana untuk memberontak kepada pemerintah kolonial.
Karantina dilakukan selama empat hingga lima hari. Potongan kisah karantina ini dapat ditemui di Pulau Onrust dan Cipir. Kedua pulau ini dipilih setelah memiliki fasilitas untuk menampung karantina jemaah haji.
Pemeriksaan dilakukan secara berlapis yang dimulai dari Pulau Cipir. Setelah mandi dan diperiksa oleh dokter, jemaah yang menderita penyakit menular harus tinggal di stasiun karantina. Setelah itu, pemeriksaan kembali dilakukan oleh dokter dan petugas Belanda di Pulau Onrust. Selama pemeriksaan, pakaian dan kapal jemaah haji harus difumigasi untuk mematikan kuman yang ada (Abdurrahman, 2016).
Karantina ini dilakukan hingga tahun 1933. Setelah itu, pulau ini berubah fungsi sebagai wilayah isolasi pemberontak hingga tahun 1940. Pulau ini sempat dimanfaatkan kembali pada awal periode kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1958 sebagai lokasi rumah sakit karantina penyakit menular. Rumah sakit tersebut kemudian pindah ke kawasan Tanjung Priok. Pada tahun 1994, rumah sakit karantina ini dipindahkan ke wilayah Sunter dan dikenal dengan nama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso.
Covid-19
Pulau khusus untuk karantina kembali menjadi pembicaraan publik saat pemerintah memutuskan melakukan isolasi fisik pada warga negara Indonesia dari China terkait penyakit Covid-19 akibat virus korona baru.
Pulau Natuna di Kepulauan Riau dipilih menjadi lokasi observasi pertama bagi WNI dari Provinsi Hubei, China. Alasannya, wilayah ini memiliki fasilitas rumah sakit dan jauh dari permukiman penduduk.
Sebanyak 238 WNI, 5 orang tim aju (advance) dari KBRI Beijing, dan 42 orang tim penjemput diobservasi selama 14 hari sejak 1 Februari. Seluruh WNI akhirnya dinyatakan sehat dan kembali ke daerah masing-masing pada 15 Februari 2020.
Lokasi observasi selanjutnya adalah Pulau Sebaru Kecil, Kepulauan Seribu, Jakarta. Lokasi ini digunakan untuk observasi 188 warga negara Indonesia awak kapal pesiar World Dream dan 69 anak buah kapal Diamond Princess.
Pulau Sebaru Kecil dipilih karena memiliki fasilitas pendukung setelah sempat dijadikan sebagai lokasi pengobatan pecandu narkoba. Selain itu, pulau ini berada jauh dari permukiman penduduk.
Pemanfaatan pulau khusus sebagai lokasi observasi yang telah dilakukan sejak lebih dari tiga abad silam hingga saat ini menunjukkan bahwa karantina WNI akibat Covid-19 bukanlah hal baru bagi Indonesia. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki satu pulau khusus yang digunakan sebagai lokasi karantina penderita penyakit tertentu untuk jangka waktu yang lama. Tentu, tak ada salahnya pulau khusus dipersiapkan dengan fasilitas lengkap sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu dibutuhkan sebagai lokasi observasi pada wabah penyakit tertentu. (LITBANG KOMPAS)