Pemberlakuan cukai terhadap makanan dan minuman dengan kandungan gula sudah diterapkan di beberapa negara. Kualitas kesehatan masyarakat sedikit banyak dapat turut dijaga dengan adanya kebijakan ini.
”Sugar, rum, and tobacco are commodities which are nowhere necessaries of life, which are become objects of almost universal consumption, and which are therefore extremely proper subjects of taxation”.
Melalui bukunya, The Wealth of Nations (1776), filsuf Adam Smith menelurkan ide bagi pemerintah untuk memberikan pajak terhadap gula. Pada era itu, komoditas perdagangan utama dunia, terutama adalah produk-produk perkebunan. Perlu diingat pula alasan bangsa Barat berlayar ke Nusantara, yang tak lain untuk mencari rempah-rempah dan komoditas tanaman perkebunan.
Jangan bayangkan posisi komoditas gula dengan komoditas perdagangan dunia saat ini, yang jauh lebih variatif karena perkembangan teknologi dan modernisasi. Karena gula adalah komoditas penting dunia waktu itu, tak heran praktik pemajakan gula telah diterapkan beberapa negara di dunia semenjak 100 tahun yang lalu.
Pada era 1920-an dan 1930-an, negara Eropa seperti Norwegia dan Denmark telah menerapkan pajak terhadap gula. Tujuan mereka tak lain guna mendongkrak pendapatan pajak negara. Kini, pada era modern, lebih dari 20 negara di dunia masih menerapkan pajak atas produk yang mengandung gula. Sebut saja beberapa di antaranya ialah Amerika Serikat, Meksiko, Kolombia, Inggris, Perancis, dan Singapura.
Namun bedanya, bukan hanya untuk meraup pendapatan pajak, kebijakan ini juga ditujukan untuk menekan angka penyakit terkait dengan konsumsi gula berlebih. Pada praktiknya, kebijakan ini dilakukan dengan menarik pajak dari produk makanan atau minuman yang berpemanis.
Besaran pajak
Tiap negara punya ketentuan masing-masing dalam menerapkan pajak gula ini. Bahkan, di beberapa negara seperti di AS, tiap kota punya perhitungan pajak gula yang berbeda. Namun, mayoritas dari negara tersebut menerapkan pajak sebesar 10 persen.
Salah satu contohnya, pajak gula di Berkeley, California, AS. Pada 2015, kota di pesisir barat AS ini menerapkan pajak 10 persen atau sekitar 1 sen per ons cairan. Dengan perhitungan tersebut, minuman kaleng dengan ukuran 354 mililiter mendapat tambahan pajak 12 sen jika harganya 1 dollar AS.
Besaran pajak yang lebih kecil dikenakan oleh Pemerintah Perancis. Di negara tersebut, minuman berpemanis dikenai pajak 7,1 persen hingga 9,7 persen atau berkisar di angka 0,0716 euro per liter produk.
Walau besarannya berbeda, perhitungan pajak di California dan Perancis tidak dilihat dari konsentrasi gula yang terkandung di dalam produk minuman. Beberapa negara yang menerapkan skema pajak yang lebih spesifik di antaranya Inggris dan Irlandia. Kedua negara tersebut menetapkan pajak gula berdasarkan kandungan gula di dalam produk minuman.
Di Inggris, produk minuman yang dikenai pajak ialah produk dengan kandungan gula 5 gram per 100 mililiter atau lebih. Besaran pajaknya 18 sen per liter dan 24 sen per liter jika kandungan gula dalam produk tersebut menyentuh angka 8 gram per 100 mililiter atau lebih. Serupa dengan Inggris, Irlandia hanya menerapkan pajak gula pada produk minuman yang mengandung gula dengan takaran 5 gram per 100 mililiter atau lebih.
Irlandia menetapkan pajak 20 sen per liter terhadap produk minuman bergula. Sedangkan produk yang berkandungan gula 8 gram per 100 mililiter dikenai pajak yang lebih tinggi, yaitu 30 sen per liter.
Meksiko paling berhasil
Di tingkat dunia, Meksiko salah satu negara yang mendulang manisnya keberhasilan pajak gula. Dalam catatan ”The Guardian”, melalui kebijakan pajaknya, Meksiko berhasil mengurangi konsumsi minuman dengan kandungan gula tinggi oleh warganya, bahkan membuat mereka beralih ke produk yang lebih sehat, seperti konsumsi air mineral.
Sebelum penerapan pajak gula, diabetes dan obesitas menjadi persoalan di Meksiko. Di negara tersebut, 73 persen orang dewasa terkena diabetes. Lainnya, terdapat 36 persen anak-anak dan remaja dengan kategori usia 2-19 tahun juga mengalami hal yang sama. Hal ini menjadikan diabetes sebagai salah satu penyebab utama kematian.
Salah satu penyebab utama kondisi ini adalah kebiasaan konsumsi masyarakat Meksiko akan minuman manis yang berlebihan. Setidaknya, 70 persen dari konsumsi gula tambahan diperoleh dari minuman dengan kandungan gula tinggi. Penerapan pajak gula pada 2014 ini ternyata berhasil menurunkan konsumsi minuman bergula di Meksiko.
Pada tahun pertama penerapan kebijakan ini, konsumsi minuman dengan kandungan gula tinggi di negara itu turun 5,5 persen. Capaian ini meningkat pada tahun kedua penerapan kebijakan. Jika di rata-rata, dalam dua tahun penerapannya, pajak gula ini menurunkan konsumsi minuman dengan kandungan gula tinggi sebesar 7,6 persen di negara tersebut.
Urgensi di Indonesia
Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengusulkan dua kelompok minuman berpemanis yang akan dikenai cukai. Keduanya adalah minuman berpemanis gula dan pemanis buatan siap konsumsi serta minuman berpemanis dalam bentuk konsentrat yang perlu pengenceran, seperti kopi bubuk dalam kemasan.
Dari dua kelompok minuman berpemanis tersebut, ada dua klasifikasi jenis produk yang menjadi sasaran penerapan cukai. Pertama, cukai untuk teh kemasan dengan usulan tarif Rp 1.500 per liter. Berikutnya, cukai untuk minuman berkarbonasi dengan usulan tarif Rp 2.500 per liter.
Usulan pemerintah ini dapat dicermati dari beberapa aspek, seperti pendapatan pajak, kesehatan, dan dunia usaha. Dari sisi pendapatan, gagasan ini potensial menjadi sumber pendapatan pajak. Selain itu, pengenaan cukai juga diharapkan menurunkan impor gula mentah.
Tahun ini, pemerintah menetapkan alokasi impor gula mentah 3,2 juta ton, naik dari 2,8 juta ton dari tahun 2019. Melihat dari aspek kesehatan, warga Indonesia juga menghadapi problem dengan diabetes.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018, yang menyertakan data Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), memperlihatkan peningkatan prevalensi diabetes pada penduduk berusia di atas 15 tahun. Prevalensi diabetes naik dari 6,9 persen pada 2013 menjadi 8,5 persen pada 2018.
Namun, daripada negara lain seperti Meksiko atau prevalensi global, angka diabetes Indonesia sebetulnya masih tergolong rendah. Walau demikian, kenaikan prevalensi diabetes di Indonesia patut terus dicermati. Terlebih, tingkat prevalensi diabetes di Indonesia pun kian mendekati tingkat prevalensi global yang berada di angka 9,3 persen pada 2019.
Di sisi lain, kebijakan pajak gula minuman berpemanis itu bisa menekan sektor industri makanan dan minuman, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Ini dikarenakan penerapan cukai makanan-minuman berpemanis bakal meningkatkan harga jual produk.
Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) menilai penerapan cukai minuman berpemanis dapat meningkatkan harga produk 30-40 persen. Penjualan industri minuman dikhawatirkan juga akan turun dan berimbas pada usaha kedai tradisional atau warung kecil sebagai ujung tombak distribusi produk minuman berpemanis siap saji.
Agar berlaku efektif, diperlukan kajian lintas kementerian dan kelembagaan guna merumuskan hal ihwal cukai gula ini. (LITBANG KOMPAS)